RSS

Karung 12

 
 

Karung 12

Menyeberangi Malam, Ketapang-Gilimanuk

 
 

-dengarkan musik-

 
 
 

Perjalanan dengan kereta Sri Tanjung ternyata lebih dari dua belas jam! Kami tiba di stasiun terakhir yaitu Stasiun Banyuwangi sekitar jam sebelas malam. Aku, seperti yang juga terlihat pada teman-temanku, begitu kepayahan. Turun dari kereta, rasa lega dan lesu bercampur.

“Aku lapar,” Fandy mengeluh.

“Kita cari warung yang masih buka,” sahutku. Suara keroncong juga sudah menendang di dalam perutku.

Cecile dan Fillipe sepakat dengan ajakan kami untuk mencari makan. Cecile juga mengeluhkan hal yang sama, lapar.

Stasiun Banyuwangi kira-kira sebesar Stasiun Balapan Solo. Tapi dalam hal keramaian stasiun ini lebih mirip Benteng Vastenburg, malam harinya begini sepi dan remang-remang. Andai tak ada tumpahan penumpang yang baru turun dari kereta, bakal lebih ironis lagi, stasiun ini akan lebih mirip loji Omah Lowo di Laweyan. Sepi banget. Jarak stasiun ke jalan raya kira-kira seratus meter, yang kutahu Pelabuhan Ketapang berada tak jauh dari sana. Lalu-lintas jalan raya di depan sana itu tampak ramai, kontras dengan lingkungan di sekitar stasiun. Kami berlima sedang menuju ke sana, melangkah melewati lahan di depan stasiun yang remang-remang dan berbelukar.

Sembari berjalan, “Daerah ini tidak bagus. Hawanya angker,” tiba-tiba Fandy berceletuk aneh.

“Omonganmu akan ngefek buat nakutin Dimas. Buat aku nggak!” dengusku.

Tak ada yang menanggapi celoteh Fandy yang sok tahu itu. Nggak penting juga.

Belum sampai kami tiba di jalan raya, “Itu ada warung!” Fandy berucap lagi. Kali ini sambil menunjuk ke samping, ke arah sebuah warung kecil yang masih buka.

Erik menawari Cecile lebih dulu apakah ia mau makan di warung itu. Cewek tembem itu tak keberatan. Fillipe ikut saja apa yang disetujui pacarnya. Well, syukurlah mereka bukan bule yang jaim. Kami menuju ke warung. Tampilannya serupa dengan warteg, dengan penerangan yang tak begitu benderang. Tiangnya dibubuhi papan menu ala kadarnya.

“Kare, rawon, mi rebus, nasi goreng…” aku membaca menu-menu yang ditulis di papan itu. “Mana yang kalian doyan?”

Pemilik warung itu seorang mbak-mbak yang tampangnya sudah mengantuk. Kami bergiliran menyebut menu pilihan kami. Aku rawon, Fandy nasi goreng, Erik kare, Cecile dan Fillipe masih perlu berpikir. Karena keduanya masih ragu, Erik menawari mereka untuk memilih kare. Karena kare sudah cukup dikenal dalam kuliner orang Barat, begitu alasannya.

It’s curry, served with rice,” jelas Erik.

Akhirnya Cecile setuju mencobanya. Tapi Fillipe malah memilih nasi goreng. Iya, sih… nasi goreng juga dikenal di mana-mana. Lalu kenapa tadinya Cecile tak langsung memilih nasi goreng saja? Atau, kenapa Fillipe tak mencoba kare seperti pacarnya? Hmm, bukan pertanyaan penting.

Kami tak terburu-buru. Biarpun ini pertama kalinya aku ke Bali, aku sudah mempelajari beberapa hal penting demi perjalanan ini. Salah satunya, kapal ferry untuk menyeberang ke Bali beroperasi dua puluh empat jam. Jadi nggak bakal kami kehabisan kapal. Lagipula, idealnya kami menyeberang menjelang pagi saja. Kalau kami buru-buru menyeberang sekarang, kami akan tiba di Gilimanuk jam satu dinihari. Terus mau ngapain jam segitu di Gilimanuk? Mau langsung cari bus buat ke tujuan berikutnya? Busnya baru ada jam empat pagi!

Kami sudah bahas itu saat masih di kereta tadi. Kami bisa bersantai dulu di sini untuk mengendurkan saraf setelah seharian duduk di kereta. Setelah tiba di Bali nanti, aku dan Fandy akan turun di kota Negara untuk menemui Mas Awan. Sedangkan Erik bersama dua bule itu akan meneruskan perjalanan sampai Denpasar. Rencana mereka berikutnya apa, aku nggak tahu.

Aku tadi sudah menghubungi Mas Awan lewat SMS. Aku bilang akan tiba di Bali besok pagi. Aku bertanya bagaimana aku bisa menemuinya. Dia bilang, SMS saja kalau sudah tiba. Maka dia akan menjemput kami di terminal Negara. Apa saja yang akan kami lakukan selanjutnya, aku juga belum tahu. Tergantung pertemuan kami akan menghasilkan apa. Jika masih belum ada informasi tentang di mana Dimas berada, berarti kami akan ke Badung untuk menemui Mas Dika. Jika Mas Dika juga masih belum memiliki informasi yang kami butuhkan, yaahhhh… kami akan terus mencari selagi masih mungkin.

Sekarang, kami mau mengisi perut dulu. Minuman dihidangkan lebih dulu. Aku dan Erik memesan kopi, sedangkan Cecile kompak bersama Fillipe memilih soft drink. Fandy membuat pilihan paling nyeleneh. Dia mengambil minuman berbotol tambun, mirip botol bir ukuran kecil. Tapi itu bukan bir.

“Kalian ada yang ingat?” lontarnya sambil memamerkan minuman botol itu di tengah meja. “Ini namanya ‘Temulawak’.”

Aku mengernyit. Mengira dia cuma berkelakar secara tidak lucu. Kuraih botol itu untuk kuamati. Ternyata, setelah kuamati lebih dekat logo yang ditempel pada botol itu, di situ memang tertulis: TEMULAWAK. Bahkan gambarnya, biarpun aku belum pernah melihat wujud asli tanaman itu, kurasa itu memang gambar sebongkah temulawak. Kutaruh lagi botol itu di tengah meja.

 

 

What does it mean?” tanya Fillipe masih belum paham.

It’s curcuma,” jelas Erik, menyebut istilah Latin tanaman itu. “Aku ingat, minuman itu pernah populer waktu aku kecil. Kupikir sekarang sudah tidak diproduksi.”

“Dulu di tempatku juga banyak yang menjual,” sahut Fandy. “Seingatku, sejak aku SMP sudah tak pernah melihatnya lagi.”

Kami semua seperti anak-anak SD sedang mengamati semacam benda asing yang sangat memukau. Botol kecil tambun bergambar temulawak itu berdiri di tengah meja, tak ubahnya sebuah lampu jin, atau botol arak yang dipakai pendeta Tao untuk mengurung roh jahat. Atau pesawat antariksa yang dipakai Tintin dan Kapten Haddock untuk ke bulan. Atau menara Eiffel.

“Kenapa namanya Temulawak?” tanyaku.

“Karena memang dibuat dari sari temulawak,” jawab Erik.

“Dengan proses karbonasi,” tambah Fandy. Dia menjelaskan ke Cecile dan Fillipe, “This is soda. Just like cola. But this is curcuma. Today, this has been very rare.”

Aku nggak habis pikir, minuman soda rasa temulawak itu nggak jauh beda seperti pizza rasa pecel. Burger jerohan, spaghetti kangkung, cocktail mengkudu. “Kenapa nggak rasa jeruk, atau jambu, atau nanas? Kenapa temulawak? Kenapa jamu dibikin soda?”

“Karena pembuatnya bukan penganut mainstream,” tukas Erik.

“Tapi Temulawak akhirnya jadi mainstream juga waktu itu. Banyak orang yang suka,” sanggah Fandy. Lalu tampangnya yang culun itu larut ke dalam khotbah, “Mainstream atau bukan, itu bukan masalah. Musik, makanan, minuman, akhirnya selalu kembali kepada hal yang paling esensial: rasa.”

Cieeee…!

“Jadi seperti apa rasanya?” Cecile bertanya, tampak tertarik.

Segera Fillipe mengambil sebotol lagi Temulawak, untuk pacarnya itu. Aku menyambar botol yang di tengah meja, yang seharusnya milik Fandy. Kubuka lebih dulu, kucicipi dengan sedotan. Bersamaan dengan Cecile dan Fillipe yang berbagi sebotol berdua.

Hmmm, not bad,” celetuk Fillipe.

“Ternyata enak juga,” gumamku setelah mencicipi minuman itu. “Tadinya kupikir rasanya pahit.”

Karena ternyata rasa Temulawak ini enak, aku nggak jadi meminum kopiku. Kusodorkan kopiku ke Fandy sebagai barter. Aku minum Temulawak saja. Jadilah dia ngedumel.

Setelah rempong mendiskusikan minuman, barulah menu makan diantarkan ke meja kami. Rawon dan kare lebih dulu. Lima menit kemudian barulah nasi goreng menyusul. Baru makan sesendok, Cecile menunjukkan mimik tak cocok dengan menu yang dipesannya.

If it’s not good, just leave it. Tak perlu segan,” ujar Erik, menyadari Cecile tidak cocok dengan nasi kare ala Jawa.

OK, sorry,” dengan mimik kecewa bercampur sungkan Cecile berhenti memakan karenya. Dia bilang makanan itu terlalu bersantan. Dia nggak cocok.

Fillipe menghibur kekasihnya dengan berbagi nasi goreng. Jadilah seperti lagu dangdut: Sepiring Berdua. Mereka pun sukses bikin cemburu. Aku melirik Fandy dan Erik, tampang mereka galau. Melihat Cecile bermesraan dengan Fillipe, Fandy pasti ingat Dimas. Erik pasti ingat Amanda. Aku? Pingin hajar Amos!

“Aku juga bagi nasi gorengnya, dong…” aku menciduk nasi goreng milik Fandy dengan sendokku. Gantian aku menawarkan rawonku padanya, “Mau?”

Fandy jaim tak menjawab. Dia menjauhkan piringnya dariku.

Ada lebih dari sejam kami bersantai di warung. Makan-minum sambil mengobrol hal-hal tak serius. Cecile sempat agak mengulik soal keluargaku yang ‘tinggal’ di Bali. Memang, aku tak mungkin membicarakan soal Dimas ke dua bule yang baru kami kenal itu. Erik cukup paham itu, makanya dia tak mendahuluiku bicara soal alasan kenapa aku dan Fandy akan turun di Negara. Aku bilang ke Cecile dan Fillipe, bahwa aku akan mengunjungi keluarga. Saat Cecile menguliknya, aku sempat agak gugup memberi jawaban. Tapi, aku bukan orang yang nggak bisa bohong. Kalian tahu itu.

 

-dengarkan musik-

 

Selesai makan dan meninggalkan warung, kami melanjutkan perjalanan untuk menuju pelabuhan. Tiba di jalan raya, papan penunjuk lokasi pelabuhan dengan mudah kami temukan. Tapi waktu masih begini longgar, kami melangkah dengan santai sambil menikmati suasana malam di Ketapang. Di sini begitu kontras dengan suasana di stasiun tadi. Sepanjang jalan raya yang mengarah ke pelabuhan ini tampak jauh lebih terang, dan masih cukup ramai meski sudah dinihari. Ada pos ojek dan becak. Ada beberapa toko yang masih buka. Ada beberapa warung gerobak dengan penerangan lampu minyak. Kami sempat berfoto-foto dengan beberapa latar belakang, termasuk gapura yang tulisannya terpampang jelas: ‘Selamat Datang Di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang’.

Fillipe pamit mau membeli sesuatu di sebuah mart yang ada di sebarang jalan. Aku, Erik, dan Cecile, sepakat menunggu di dekat gapura pelabuhan. Sedangkan Fandy mengikuti cowok bule itu, katanya dia juga hendak beli sesuatu.

Is this your first time to Bali?” Cecile bertanya padaku.

“Ya,” jawabku. “Maybe that’s funny for you. Jawa sangat dekat dengan Bali. Tapi nggak semua orang Jawa pernah ke Bali. Nggak semua orang Indonesia pernah. Padahal semua orang dari penjuru dunia datang ke Bali.”

Cecile tertawa kecil. “Kamu ada keluarga di Bali. Seharusnya kamu sering ke sana,” celetuknya.

Kulirik raut muka Erik seperti ingin menertawaiku, tapi dia nggak berani. Sedangkan Cecile berucap tampak tanpa praduga. Dia cuma cewek bule yang ramah, tak bermaksud menyindir kebohonganku.

“Kamu tidak ingin bergabung, setelah dari tempat keluargamu?” Cecile bertanya.

“Emhh, ingin. Tapi kita lihat saja nanti,” jawabku. Tak bisa berjanji apa-apa, meski sebenarnya aku sangat ingin.

Maybe next year, saya ingin study music di Bali. Setelah di Jogja selesai,” gumam Cecile setengah beranda-andai.

Nice plan. Gamelan Bali juga enak didengar,” sahutku.

“Dan dia juga punya keunikan sendiri,” sambung Cecile dengan aksennya yang kaku. “Mereka membuat gamelan dari… bamboo. Gamelan Jawa tak memakai itu.”

“Sebenarnya ada juga musik bambu di Jawa,” Erik menyanggah. “Hanya saja kurang populer.”

Cecile manggut-manggut. Matanya yang biru terang seperti menyorotkan rasa ingin tahu yang lebih. Seperti dia akan selalu senang tiap kali mendengar sesuatu tentang gamelan.

“Di sini, Banyuwangi juga punya gaya gamelan sendiri,” Erik meneruskan ulasannya. “Sangat unik. Gamelan Banyuwangi adalah paduan musik Jawa, Bali, dan Cina.”

“Wow! Apa benar?”

“Ya. Gamelan ada banyak gaya. Gaya Sunda, Bali, Jawa…”

And as I know, Jawa juga ada variasi lagi. Ada Jogja, Solo, Banyumas… tapi saya baru dengar sekarang ada Banyuwangi,” Cecile menimpali begitu antusias, membuat Bahasa Indonesia-nya yang kaku jadi terdengar tambah lucu.

“Kesimpulannya, satu-dua tahun nggak akan cukup buat mempelajari gamelan,” ceplosku.

Cecile tertawa lebar. “I guess you right. Satu tahun di sini sangat tidak terasa. Dan saya masih belum cukup pintar dengan yang saya pelajari.”

“Apakah menurutmu kamu akan betah?” pancing Erik.

Cecile tertawa lebih pelan. Mimiknya berubah lebih roman. “Kalian tahu Claude Debussy?” lontarnya.

Debussy? Aku tak terlalu asing dengan nama itu. Sepertinya cukup sering dengar, tapi aku nggak tahu siapa dia.

“Komposer Perancis. Aku tahu beberapa lagunya,” Erik ternyata lebih tahu.

“Saya mengerti, kalian lebih tahu Mozart atau Chopin,” seloroh Cecile menyidir kami. “Tetapi, Debussy adalah komposer pada jaman itu yang…” dia kesulitan menjelaskan dalam Bahasa Indonesia, “…maybe he was the first known, who used gamelan scales for his classical music.

Kuperjelas, “Does it mean his classical music was influenced by gamelan?”

“Ya. He did. Tepatnya, music-nya adalah Impressionist,” tandas Cecile dengan anggukan tegas. “Saya menyukainya sejak kecil. Saya tahu dia gunakan music Jawa sebagai inspirasi. Tapi saya belum mendengar gamelan sampai teman saya mengenalkannya. Tiba-tiba… I felt a connection. Saya putuskan untuk ke Indonesia. Saya tak memikirkan tentang saya akan betah atau tidak. I am just connected. Saya jatuh cinta dengan music ini.”

Ulasan Cecile membuatku tersenyum. Rupanya, begitu banyak keputusan yang diambil seseorang kemudian disimpulkan ke dalam satu alasan: cinta. Cinta memang bisa terhadap apapun, musik adalah salah satunya. Cinta terhadap seseorang, itu juga salah satunya. Seseorang itu bisa kekasih. Seperti Fillipe yang menyusul ke Indonesia demi Cecile.

Bisa juga cinta itu tentang keluarga. Seperti…? Kalian tahu sendiri.

 

-dengarkan musik-

 

Maka isi kepalaku kembali dipenuhi pertanyaan: Jadi sesungguhnya apa yang membuat Dimas pergi? Benarkah hanya karena merasa terusir? Benarkah karena tersingkir? Seperti apakah cinta yang dia pikirkan ketika membuat keputusan untuk pergi? Dia menyurati Fandy. Tapi tidak ke keluarganya sendiri. Aku semakin merasa tak sungguh-sungguh mengenal saudaraku itu. Tapi aku tetap yakin, ini semua bukan karena tak ada cinta lagi. Jadi, apa yang ada di pikirannya? Hmmfff….

Fandy dan Fillipe sudah keluar dari mart. Mereka menyeberang menghampiri kami. Lalu berlima kami masuk ke pelabuhan. Kusangka kami bakal antre untuk beli karcis, ternyata tidak. Sepi. Erik bertanya ke penjaga karcis, apakah boleh kami tak langsung ke kapal, karena mau menunggu pagi dulu. Penjaga bilang boleh. So, kami akan lakukan sesuai rencana. Menyeberang saat subuh nanti.

Rupanya kami memang berada di titik yang lebih lengang. Sedangkan di beberapa titik lain tampak kerumun kendaraan dari motor sampai bus, sebagian diparkir, sebagian mengantre di dermaga. Kerumun orang juga tampak di sekitar dermaga. Ramai, meski tak seramai yang kubayangkan.

Aku nggak tahu di mana tepatnya posisi kami ini, ada taman kecil dengan beberapa bangku panjang yang kami pakai untuk duduk. Kurasa kami tadi tak masuk melalui jalan masuk utama, begitu juga loket tadi bukan loket utama. Makanya kami nggak perlu antre. Tampak bangunan lain yang lebih besar dan lebih mirip untuk disebut entrance utama, ada agak jauh dari tempat kami duduk. Tampak ada lalu-lalang orang di sana, meski nggak terlalu ramai juga.

“Ini terlalu sepi. Padahal seharusnya ini sudah high season di Bali,” Erik berujar.

“Mungkin karena ini jam dua dinihari,” sahutku sambil rebahan di bangku panjang. “Nanti pagi mungkin akan membeludak.”

Fandy pamit mencari toilet. Fillipe mengikutinya. Cecile pilih rebahan saja di bangku sepertiku, menjaga bawaan. Erik duduk-duduk bermain gadget.

“Dapat sinyal radio,” gumam Erik. “O my God, you want to listen this!”

Omongan Erik membuat Cecile cepat-cepat bangun lagi. Dengan antusias dia mendekat ke Erik untuk mendengar siaran radio di gadget itu. Suara gamelan. Biar kutebak, itu gamelan Banyuwangi! Keduanya segera larut membicarakannya.

Aku bangun dari rebahan. Bukan untuk bergabung dengan Erik dan Cecile. Aku menengok ke arah di mana bisa kulihat Fandy dan Fillipe sedang berjalan di kejauhan. Mereka masih mencari toilet. Akhirnya, kurasa mereka berhasil menemukannya.

“Aku juga mau ke toilet,” ucapku, pamit ke dua orang yang tersisa di taman ini.

“Kenapa nggak tadi sekalian?” sahut Erik acuh tak acuh.

“Aku malas mondar-mandir,” balasku sambil jalan.

Aku menuju ke tempat yang sudah ditemukan oleh Fandy dan Fillipe. Toilet dengan penerangan yang cukup baik, tapi sepi. Setidaknya tampak bersih, jauh lebih layak daripada semak-semak.

Kudengar suara Fandy dan Fillipe bercakap-cakap di dalam. Disertai tawa-tawa. Saat aku masuk, mereka tampak kaget. Kurasa mereka sudah selesai kencing, berdua sedang di depan wastafel.

Now you get out, I wanna pee,” tukasku, berjalan cuek mencari ceruk yang paling aman untuk kencing. Aman dari mata usil.

You are too shy!” Fillipe mencibirku sambil tertawa. Mereka berdua keluar.

Beberapa menit kemudian aku juga sudah selesai. Di luar toilet, kulihat Fandy dan Fillipe sudah berjalan kembali ke taman tadi. Tapi aku belum ingin kembali ke sana.

 

-dengarkan musik-

 

Aku berjalan sendiri. Melihat-lihat suasana Pelabuhan Ketapang. Menghampiri lebih dekat suara riak air laut yang menyepak-nyepak di bawah tanggul. Sesekali suaranya disahut oleh dengung kapal. Mencuat aroma minyak, bahan bakar, atau entah apa. Tak ada angin sejuk, sepertinya udara sudah disumpali karbon mesin kapal dan bus-mobil yang setiap hari hilir-mudik di sini. Jika ada dermaga, itu juga bukan dermaga kayu yang indah seperti di film-film. Yang ada dermaga besi, kaku dan tak romantis sama sekali.

Hmmhhh. Laut memang tak selalu romantis. Dermaga juga tak selalu cantik. Pelabuhan ini tak manis sama sekali. Ini bukan tempat yang cocok untuk menggugah cinta dalam diri seseorang. Seharusnya begitu. Meski setahuku cinta itu memang sulit ditebak. Antara cinta atau nafsu kadang juga rancu. Huhhh…. Aku gundah. Benar aku gundah. Kenapa?!

Menunggu terasa panjang. Aku melewatinya dengan mencari apapun yang bisa kunikmati di pelabuhan yang hambar ini. Ya, tiba-tiba saja semua terasa hambar. Aku menonton orang memancing, menonton kapal bertambat dan berlabuh, melihati bintang dan kerlap-kerlip lampu di kejauhan. Tak terhibur. Hingga akhirnya aku kembali ke taman agar bisa berbaring lagi di bangku panjang. Menyusul teman-temanku yang sudah tepar duluan.

Erik yang pertama kali membangunkanku. Lalu membangunkan yang lain. Sudah jam empat pagi. Saatnya menuju ke kapal, dan menyeberang. Ya, akhirnya menyeberang juga.

Kapal tak terlalu penuh. Nggak ada kursi empuk, bahkan kursi taman tadi jauh lebih nyaman karena bisa untuk berbaring. Belum lagi di sini berbau sedikit pesing. Aku duduk masih dengan sisa letih dan kantuk. Kurasa yang lain juga. Kecuali Fandy, dia tampak berdiri menyendiri di balkon kapal. Cari angin, atau menikmati pemandangan mungkin. Aku berdiri, menyeimbangkan sejenak dengan goyangan kapal yang telah bergerak membelah air selat. Aku menghampiri Fandy.

“Fajar sudah terlihat,” dia menggumam.

Ya, kami semakin mendekati Pulau Dewata. Pulau itu terlihat hanya semacam gundukan besar yang hitam, dihiasi kerlap-kerlip lampu. Tak terlihat istimewa sama sekali, tak memberi tanda sedikitpun bahwa itu adalah Pulau Bali yang punya reputasi sebagai biang wisata kelas wahid di dunia. Yeah, kurasa pulau apapun akan tampak seperti itu ketika jarak pandang masih cukup jauh dan dilihat saat pagi buta.

Tapi itu bukan untuk menyangkal pesona fajar yang mulai menyembul di balik pulau. Ada berkas tipis di beberapa sisi gundukan besar itu, terang samar-samar dan sedikit kekuningan. Air laut masih terlihat hitam. Tapi udara terasa lebih bersih, tak seperti ketika masih di pelabuhan tadi. Sepantasnya udara pagi di atas air, sejuk semilir oleh hempasan laju kapal. Fajar yang tadinya masih mengintip, sekarang kian terbeliak mengganti cakrawala dengan cahaya pagi. Ya, cukup sebagai alasan untuk membuatku puitis lagi.

“Sebentar lagi kita akan berpisah dengan mereka,” gumamku, mengacu pada tiga teman kami yang duduk terkantuk-kantuk di kursi sana. Mereka melewatkan sesuatu yang seharusnya mereka nikmati.

“Bukannya masih jauh untuk ke Negara?” sahut Fandy.

“Sekitar satu jam, kalau nggak salah,” jawabku.

Kapal telah merapat ke Pelabuhan Gilimanuk. Pagi sudah cukup terang, meski mentari masih di kaki pepohonan. Kami turun dari kapal. Kini telah menapakkan kaki di pulau yang berbeda.

Welcome to Bali!” Erik berseloroh.

Cecile dan Fillipe ber-‘whoohoo‘ bersahutan. Bertingkah seperti anak kecil yang baru saja menjejakkan kaki di arena bermain. Berkicauan dalam Bahasa Perancis dengan ekspresi mereka yang riang. Keluar dari pelabuhan, kami dapati sebuah gapura besar dengan corak yang khas. Corak Bali pastinya. Cecile mengajak berfoto-ria. Seratus meter kemudian kami tiba di pos pemeriksaan KTP. Cecile mengajak berfoto lagi, dengan background pos pemeriksaan itu. Ya ampun, kali ini dia lebay!

Sambil melangkah santai, kukirim SMS ke Papa. “Br turun dari ferry. Skrg sdh di Bali. Smua lancar.”

Papa membalas singkat. “Sip!”

Tak sampai setengah kilometer dari pelabuhan, lokasi terminal Gilimanuk berada. Situasi terminal sudah cukup ramai. Kicau orang-orang semakin campur aduk di sini. Ada yang berbahasa Jawa dengan logat Jawa Timur. Ada yang berbahasa Bali, dengan aksen ‘th’ dan ‘a’-nya yang khas. Di sini juga tampak beberapa bule, bicara dengan bahasa mereka. Banyak pula sosok-sosok dengan penampilan khas, misalnya para pria dengan ikat kain di kepala, atau lelaki tua yang berjanggut dan bergelung dengan pakaian serba putih. Hmmm, ternyata Bali memang hanya ada di Bali. Bangunannya bisa dicontek di tempat lain. Tarian dan musiknya bisa dimainkan di manapun. Tapi suasana seperti ini, kurasa tak bisa diduplikasi di tempat lain. Sekarang, Bali tak lagi hanya gundukan hitam di ujung selat. Inilah Bali yang mengesankan!

Kami naik ke bus berukuran medium, jurusan Gilimanuk-Denpasar. Formasi kursi dipasang dua-dua di kanan-kiri. Kecuali deret belakang, ada enam kursi. Karenanya kami memilih duduk di deret belakang, biar bisa duduk berjajar. Fandy kudorong ke kursi paling pinggir bagian kanan, lalu aku duduk di sebelahnya. Di kananku duduk berurutan: Fillipe, Cecile, Erik. Tak menunggu lama, bus berangkat. Jam enam lebih seperempat.

Cecile dan Erik yang lebih banyak mengobrol. Fillipe sesekali menanggapi mereka. Aku tak antusias untuk menimbrung. Karena Fandy berada di sudut dan terhalang aku, kalaupun dia ingin menimbrung juga nggak bisa. Dan dia kelihatan kesal. Akhirnya dia memilih diam saja melihat pemandangan di luar jendela.

“Ini juga pertama kalinya kamu ke Bali?” aku mengajaknya ngobrol.

“Kedua. Sudah pernah waktu kecil,” jawabnya agak malas.

“Sekarang masih berkesan?”

“Nanti saja kalau sudah selesai.”

Oke. Dia nggak ingin mengobrol denganku. Aku tak meneruskan obrolanku dengannya. Aku juga tak memindah obrolan ke tiga temanku yang lain. Biar mereka saja yang mengobrol.

Kondektur menarik ongkos kepada kami. Aku sudah belajar sedikit pedoman tentang membayar ongkos. Jika kamu sedang pergi ke tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya, kamu jangan malas memanfaatkan internet! Sebelum pergi, carilah info berapa ongkos perjalanan yang seharusnya. Kenapa? Karena kondektur bus terlatih untuk menilai penumpangnya. Saat kamu bertanya ke kondektur, “berapa?”, maka dia akan tahu bahwa ini pertama kalinya kamu pergi dengan bus itu. Dia akan membuat ongkos yang lebih mahal. Karena kamu belum pernah naik bus itu maka kamu tak tahu berapa ongkos yang benar. Maka kamu tak bisa menawar.Kamu jadi korban kondektur!

Jika kamu sudah dapat info yang benar tentang ongkosnya, bayarlah dengan uang pas! Buatlah kondektur itu menjadi yakin: Oke, penumpang ini sudah tahu ongkosnya. Maka dia nggak bisa mark-up ongkosmu!

Kusodorkan uang dua puluh ribu kepada kondektur. “Turun Negara. Dua orang sama dia,” jelasku sambil menunjuk Fandy. Kondektur itu mengangguk, meninggalkan kami. Nah, begitu caranya!

“Kamu bayar berapa?” lontar Erik padaku.

“Dua puluh ribu, berdua sama Fandy,” jawabku.

“Nggak dikasih kembalian?”

Aku menggeleng. “Ongkosnya memang segitu.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Internet.”

Erik tertawa masam. “Aku tahunya dari teman-temanku di komunitas backpacker. Seharusnya kamu masih dapat kembalian lima ribu. Penulis di internet yang kamu baca itu mungkin seorang kondektur.”

“Atau sama-sama korban kondektur,” Fandy menyahut.

Lidahku seperti digigit kucing. Damn!

“Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?” tukasku.

“Kamu nggak tanya.”

“Dan setelah aku bayar, baru kamu tanya?”

Erik malah tertawa saja. Kampret! Terus aku harus minta kembalian lima ribu rupiah ke kondektur tadi? Huh, ambil saja, Bli! Semoga harimu menyenangkan!

Jembrana, kabupaten yang kami lewati. Gilimanuk adalah bagian dari Kabupaten Jembrana. Negara adalah pusat kotanya. Perjalanan Gilimanuk-Negara, beberapa kali melewati kawasan hutan. Fandy menyinggung, ini mirip dengan perjalanan memasuki daerah Ngawi dari arah Sragen, katanya juga melewati kawasan hutan yang amat panjang. Tapi di Jembrana ini sepertinya lebih aman, tak ada bus ugal-ugalan jurusan Jogja-Surabaya yang suka menjajah jalanan.

Pastinya, pemandangan yang kami lewati di Jembrana ini juga lebih bisa dinikmati. Karena Jembrana tak melulu hutan. Beberapa kali tampak juga pemandangan laut agak di kejauhan. Saat melewati kawasan permukiman, terlihat bangunan-bangunan dengan arsitektur tradisional yang kental. Di Jawa, mungkin hanya satu persen saja arsitektur tradisional yang bisa ditemukan di pinggir jalan. Di Bali, bisa dilihat arsitektur tradisional itu bertebaran dengan rapi di pinggir jalan yang kami lewati. Khas Bali pastinya, meski katanya Jembrana adalah kabupaten yang punya penduduk migran dari Jawa paling banyak. Jembrana tetap terasa Bali, setidaknya itu yang kurasakan dari balik jendela bus.

 

-dengarkan musik-

 

Jam setengah delapan, kami tiba di terminal Negara. Saatnya untuk berpisah dengan tiga kawanku yang lain. Berat hati? Sedikit.

“Kita pisah di sini, Rik,” ucapku seraya mengulurkan tangan. Tak banyak basa-basi.

Erik membalas. “Oke. Goodluck, ya!”

Aku juga menjabat Cecile dan Fillipe. Fandy melakukan hal yang sama.

We’ll be waiting you to join with us,” ucap Fillipe.

We’ll see then. We’ll text you,” Fandy membalas.

Jalan-jalan bersama mereka memang menggoda. Apalagi ini Bali, siapapun ingin jalan-jalan di sini dengan siapapun yang bisa menjadi kawan yang asyik. Tapi mengingat tujuan utama kemari, itu lebih penting. Ketika waktu untuk pamit tiba, kami pamit.

“Tetap kontak, ya!” pesan Erik.

“Pasti, lah. Katanya kamu siap bantu kalau ada apa-apa. Aku pegang omonganmu!” ucapku sambil turun dari bus.

Mereka melambai dari balik jendela. Kulihat, kurasa raut muka Fandy menunjukkan hati yang lebih berat dariku untuk berpisah.

“Mereka memang asyik. Sayang kita kemari bukan untuk itu,” ujarku sambil menggamit pundak Fandy, meninggalkan bus di belakang. Move on. “Kalau nanti memang masih ada kesempatan buat ketemu mereka, kita pasti gabung lagi dengan mereka.”

“Kamu ngomong seolah aku terlalu cengeng dengan perpisahan ini,” gumam Fandy, balasan yang tak terpikir olehku.

“Aku nggak ada maksud gitu. Tapi karena kamu bilang begitu, aku malah jadi yakin kalau perpisahan ini memang bikin kamu sensitif.”

Dia tak membalas. Cuma tertawa tipis sedikit mendengus. Sambil menggoyangkan punggungnya, menepis tanganku dari pundaknya. Padahal aku nggak bermaksud romantis.

Kami singgah di sebuah warung di depan terminal. Kami pesan dua gelas teh hangat, sambil mencomot beberapa potong roti. Kami duduk di bangku depan warung, aku sengaja tak ingin duduk di dalam. Aku dan Fandy tak bicara apa-apa. Cuma diam menikmati teh hangat, untuk pagi hari di kota Negara yang baru pertama kali kusinggahi ini. Kota Solo lebih ramai dari kota ini. Tapi sejujurnya, suasana ini lebih kucari saat ini. Tenang, sejuk, tidak terlampau bising. Bus yang tadi kami tumpangi sudah mulai bertolak dari terminal, melanjutkan rute ke Denpasar. Kulihat mereka tampak melambai lagi dari dalam bus. Kami berdua membalas dengan lambaian, melepas kawan-kawan kami meneruskan perjalanan mereka.

“Hmmhhh. Ada komentar?” cetusku mengakhiri kebisuan.

“Apa?” Fandy belum tanggap maksudku.

“Akhirnya kita sudah di Bali. Aku mau memastikan, apakah kamu masih pada tujuan utama kita?”

“Aku tahu tujuan kita. Makanya aku nggak ikut mereka.”

Aku tersenyum masam. Sebenarnya agak enggan untuk mengungkit, tapi kurasa ini harus dibicarakan.

“Kamu cerita, cinta itu soal pembuktian,” singgungku. “Terus, apakah ini masih termasuk pembuktianmu?”

Aku mendapati raut yang bingung, sedikit tak nyaman. Lalu dia tertawa hambar. “Ini masih pagi. Mau ngomongin yang berat-berat?”

Hmmm. Dia mencoba berkelit.

Setelah meminum teh, dia berucap lagi, “Berapa kali harus kubilang, aku dan kakakmu bukannya sudah nggak ada perasaan lagi. Masih! Pertanyaanmu itu seperti nggak ada juntrungnya.”

“Kalau begitu, kuubah pertanyaanku,” sahutku. Minum teh sejenak. Kemudian, “Semalam kamu melakukan sesuatu dengan Fillipe di toilet. Itu pembuktian atas apa?”

Dia seketika tampak tersentak. Terpaku tak bergerak, tak berani memaling untuk menatapku. Tampangnya yang biasanya lugu, atau sok lugu itu, perlahan tampak memerah. Kaku membisu. Beberapa detik, setengah menit mungkin.

Dia masih sempat minum tehnya lagi. Kemudian, “Kamu…?!”

“Ya, aku mengintip,” aku langsung menyahut. “Ada lubang kunci yang cukup untuk mataku. Kutangkap bayangan kalian di cermin wastafel. Kalian berciuman. Oke, itu membuktikan kelancanganku. Tapi untukmu, itu membuktikan apa?”

Kekasih Dimas itu terdiam lagi. Lalu, dia tak bisa menjawab selain umpatan, “Shit!”

Aku menghela napas. Beberapa kali.

Sorry,” ucapku pelan. “Tenanglah, aku nggak sedang marah, kok.”

“Aku yang sedang marah!” tukasnya gusar. Tepatnya mati kutu.

“Aku perlu pastikan situasi kita saat ini,” jelasku datar. “Kita sudah jauh-jauh kemari. Tujuanku jelas, mencari saudaraku. Tujuanmu?”

Dia terdiam lagi. Membuang arah matanya jauh-jauh dariku. Aku mendengus, tertawa pahit melihat bahasa tubuhnya yang salah tingkah itu. Sekarang, dia sama sekali tak terlihat lugu. Memang, tentu saja dia bukan Fandy yang sama dengan ketika pertama aku mengenalnya. Kepribadian orang pasti berkembang. Hanya saja, aku tak sampai menduga akan melihatnya bertindak seperti tadi malam di toilet…. Aku shock saat melihatnya!

“Lu bilang demi orang yang lu cintai. Tapi tiba-tiba semalam lu ciuman sama cowok bule yang sudah punya cewek,” dengusku. Datar, menekan emosi.

Kami terdiam. Hampir semenit cuma termangu, menatap suasana kota Negara yang tampak semakin ramai. Dengan gelas teh di tangan yang kian surut hangatnya.

“Aku bingung mikirin tingkahmu itu,” aku lagi yang mengakhiri kebisuan. “Demi kebaikanmu, Fan, benar kamu masih pada tujuanmu yang semula? Mencari Dimas? Orang yang kamu bilang masih kamu cintai?”

Dia meremas-remas rambutnya. Raut marahnya perlahan pupus. Berubah menjadi entah rasa bersalah, atau cuma malu saja karena aku sudah mencuri adegannya.

“Ayolah, aku nggak marah. Tapi aku tetap ingin kamu jawab,” tandasku.

Dia mendesah singkat. “Aku tergoda.”

Aku tertawa sinis. “Sejauh mana?”

“Sejauh ciumanku dengannya.”

Aku tertawa tersenggal. Ingin rasanya mengumpat. Tapi aku ingat tadi sudah bilang bahwa aku nggak marah.

“Apa yang ada di pikiranmu waktu ciuman sama dia?”

“Den, jangan menghakimiku!”

“Aku nggak menghakimi. Aku cuma perlu tahu.”

“Tapi kamu bertanya dengan nada sinis!”

“Bukankah sebenarnya wajar kalau aku sinis?” tukasku, mulai sulit menahan kekesalanku. “Aku sudah baik hati buat nggak marah. Karena aku tahu nggak mungkin buat ngatur-ngatur kamu. Cuma, aku berharap kamu paham perbuatanmu. Apa arti ciumanmu dengan Fillipe? Atau, apa arti pencarian kita sekarang?”

“Nggak ada yang berubah. Kita tetap akan cari Dimas!”

“Karena terpaksa?”

“Aku mencium Fillipe cuma beberapa detik, nggak bisa gantikan dua tahun-ku dengan kakakmu!” Fandy berusaha keras meyakinkanku.

Aku mengangguk-angguk, tapi tetap sangsi. “Jadi, boleh kusimpulkan: semalam kamu cuma bersikap oportunis?”

Sepertinya Fandy tersinggung dengan kesimpulanku. “Aku laki-laki!”

Aku tertawa hampir tersedak. “Wow! Jadi lu pikir gue cewek?”

“Tapi kamu belum menemui godaan sepertiku!”

Kali ini akulah yang agak tersinggung. “Kamu ingat cewek yang kutinggal di stasiun?” tukasku, membuka kartu. “Dia mantanku. Dia jauh-jauh dari Medan ngajak balikan. Di hari yang sama aku ditolak Misha. Aku bisa manfaatkan mantanku buat pelampiasan. Aku punya kesempatan, aku punya godaan. Tapi tak kulakukan!”

Si Lugu Yang Tidak Polos itu kembali buang muka. Beberapa saat dia terlihat menyedihkan. Tapi sepertinya dia semakin bisa menguasai diri. Diambilnya sesuatu dari dompet. Disodorkannya benda ber-sachet warna oranye itu padaku. Semula kukira permen vitamin C, ternyata….

Aku terpana.

“Sejak di Ketapang, waktu belanja di toko, dia sudah menggodaku,” jelas Fandy, menceritakan seluk-beluk benda ber-sachet yang kini di tanganku.

Mulutku gagu. “Dia ngasih kamu ini?”

“Ya!” tukasnya ketus. “Dia bilang, what do you think if I give you this?

Keningku berkerut. “Terus, kamu jawab dengan ciuman?”

“Aku nggak senekat itu! Aku masih memikirkan Cecile, bagaimana dengannya? Fillipe jawab, we always do much funs, now why don’t you with me?

Aku ternganga. “Edan!”

Fandy tertunduk menopang keningnya. “Saat dia bilang begitu, aku tahu itu artinya bukan soal cinta. Tentu saja.”

Having fun.

“Ya. Aku jawab, aku nggak bisa.”

“Tapi akhirnya tetap saja lu cium dia!” tukasku. Kembali tertawa. Melihatnya kini menjadi tampak polos lagi. Naif. Bodoh!

“Dia bilang, I know you do flirting with me. Terus terang, aku nggak bisa bilang dia jelek,” Fandy mengaku, setengah curhat. “Tapi bukan berarti aku akan lakukan apa saja sama dia.”

Aku menyimak. Tak menyela. Sebenarnya ingin tertawa lagi, antara kesal dan geli. Juga kecewa.

“Dia bilang, Oke, simpan saja kalau kamu tak mau. Tapi tiba-tiba dia duluan me…” dia tak melanjutkan kata yang terpenggal itu.

“Nyipok lu?” aku yang melanjutkannya.

Dia tertawa. Menyedihkan!

“Aku berusaha menghindari kejadian seperti itu. Tapi, aku nggak bilang ‘aku nggak ingin’. Dan dia tahu itu. Dia lebih berani, aku terseret.”

“Dia predator. Lu korbannya, yang dengan senang hati menjadi santapannya! Terus, sekarang lu menyesal?”

Sekarang dia kembali menunjukkan mimik kesal padaku. “Menurutmu?”

Aku memandanginya sejenak. Aku menggeleng. “Nggak, kamu nggak menyesal. Kamu cuma kesal karena ketahuan,” cetusku datar, apa adanya yang bisa kunilai. “Lu punya sisi brengsek juga, Fan.”

Dia terdiam. Seperti menyerah saja apa kataku.

“Tapi sebenarnya,” kulanjutkan ucapanku, sedikit galau, “andai aku bisa sebrengsek kamu, bisa melupakan apapun soal masa lalu sesaat saja, untuk bisa mengambil keberanian mencium seseorang, atau tindakan apapun yang bisa mewakili pernyataan bahwa ‘ya, gue suka lu’… aku mungkin sudah jadi dengan Misha sejak dulu.”

Dua ekor ayam lewat di depan kami. Ayam jago mengejar ayam babon. Lalu kawin. Tak ada semenit. Lalu berpisah. Ayam jago berkokok, ayam babon kembali mencari makan. Intermeso selesai.

“Faktanya, biarpun lu masih cinta sama Dimas, tapi dia nggak ngasih kejelasan ke kita,” ulasku, berusaha ringan hati. “Gue ngerti posisi lu. Sebenarnya lu bisa lupakan Dimas kapan saja. Gue salut, karena pada akhirnya lu tetap pada rencana kita. Nggak sama bule-bule itu.”

Dia tersenyum sayu. Tertawa tipis. “Tapi Cecile orang baik,” gumamnya.

“Aku nggak bilang dia jelek. Cecile menyenangkan. Si Fillipe yang brengsek. Sudah punya cewek, masih godain lu! Jelas aja lu mau!”

Dia tertawa lagi, kali ini terdengar lebih baikan. Mengerti dia sekarang, aku memang tak bermaksud menghakimi. Aku cuma kesal benget sama dia. Oke, gue juga iri!

“Mau tahu pendapatku soal kamu sama Misha?” dia gantian menilaiku. Tanpa menunggu ijinku, dia berkata, “Aku ikut berdukacita atas penolakan Misha terhadap dirimu. Tapi, jadikanlah ini kesempatan bagimu untuk membuat dia menyesali penolakannya. Bukan untuk menghukumnya, tapi untuk membuatnya lebih mencintaimu dibanding sebelumnya.” Tiba-tiba dia terdengar seperti psikolog. Motivator.

Aku tertarik. “Oh, ya? Terus, caranya?”

“Pikir sendiri,” tukasnya. Kini menjadi Si Lugu Yang Menyebalkan.

“Nggak lagi-lagi, aku curhat ke seorang homo soal cinta,” celetukku. Kembali membicarakan perkara semalam, aku bertanya, “Dengan perbuatanmu semalam, bagaimana kamu memikirkan Cecile?”

“Den, orang nggak jadi biseksual hanya karena pertemuan sehari. Fillipe sudah biseksual sejak belum kenal aku. Bukan salahku kalau Cecile punya pacar biseksual.”

“Bukan berarti tindakanmu nyium Fillipe jadi benar, kan?”

“Itulah kenapa aku cuma menciumnya. Nggak sampai ML sama dia.”

Huh, kalimat ngeles yang basi banget!

Tapi, sekarang pikiranku sudah lebih ringan. Biarpun masih kesal, setidaknya masalah sudah menjadi jelas. Fandy mengakui perbuatannya, dengan segala alasan yang dia punya. Aku menerima ‘kebrengsekannya’. Sebab itu terjadi juga karena Dimas ‘menelantarkannya’. Aku tak akan mencecar lagi soal perbuatannya dengan bule gatel itu.

Tapi,

“Mana!” dia meminta lagi kondom yang masih ada di tanganku.

Aku segera waspada. “Buat apaan?”

“Nha kamu sendiri buat apaan?”

“Yang pasti bukan untuk ngasih kesempatan lu sama Dimas!”

Dia berani ngeyel, “Kalau kamu kasih, paling tidak kamu memberi kesempatan aku dan kakakmu untuk melakukannya secara lebih terpuji.”

“Beuh!” aku mengumpat. “Tujuh tahun lagi baru gue ikhlas!”

“Kenapa selama itu?” dia menawar dengan nada memelas yang terdengar palsu.

“Karena dua lima adalah usia paling pas buat kawin! Bukan sekarang!”

“Kolot!” dia menggerutu.

“Nggak usah pasang tampang sok polos! Nggak ada anak polos merengek minta kondom!”

Setelah tadi kubuat dia mengakui perbuatannya dan terlihat begitu bodoh, sekarang tiba-tiba raut mukanya berubah kurangajar menatapku. Lebih dari itu, dia berani mengancamku. Dan kalimat ancamannya terdengar mengerikan! Dia menuding, “Kalau kamu nekat menyitanya, aku akan berasumsi bahwa kamu ingin memakainya sendiri dalam eksperimen seksualmu.”

What?!” aku tersentak.

Sorot matanya makin mengintimidasiku, “Aku akan berasumsi, kamu mau mencoba masturbasi dengan itu.”

Duk! Kusepak kakinya. “Selama kita kenal, lu nggak pernah bicara sekurangajar ini!”

“Selama kita kenal, kamu nggak pernah sejauh ini mencampuri privasiku.”

Mukaku sampai tersentak ke belakang karena kaget mendengar balasannya. “Mencampuri privasimu? Perasaan malah kamu yang mengeksplotasi privasiku?! Kenapa tiba-tiba lu jadi psycho gini, sih?”

“Kamu tidak senang jika aku mengeksploitasi privasimu?” dia terus menyerang dengan bahasa formalnya itu. “Kamu lebih dulu mengeksploitasi privasiku! Kamu menguntitku. Kamu mengintipku. Kamu menyuruhku mengaku dosa di depanmu. Itu pelanggaran privasi yang parah. Dan mencampuri privasi adalah tanda orang posesif. Kenapa kamu jadi posesif padaku?”

Aku terperangah kehilangan kata-kata mendengar semua ucapan Fandy, Si Polos yang tiba-tiba getol mengintimidasiku. Kok dia jadi gini?

Tiba-tiba dia tertawa lebar, sampai menyipitkan mata. “Kamu tak menyangkalnya? Berarti benar, kamu memang posesif padaku!”

Dia melanjutkan tawanya, seolah merasa menang dan senang atas kesimpulan yang dia buat sendiri itu. Aku baru sadar, dia telah mengerjaiku! Oke, akting yang bagus. Kampret!

“Okelah, terserah kamu kalau mau menganggap begitu,” timpalku, mengalah saja. Kuhabiskan tehku yang sudah dingin. Lalu sedikit mengerling, “Tapi sekarang aku jadi penasaran dengan kata-katamu tadi. Benarkah tak cukup hanya sehari untuk membuat orang jadi biseksual?”

Seketika raut senangnya mengerut.

“Dan korelasinya dengan pembicaraan kita saat ini?” selidiknya, dengan tampang berubah waswas.

Aku tersenyum. “Aku mengenalmu lebih dari sehari. Lebih dari setahun.”

Dia terlihat mulai takut. “Maksudnya…?”

Kutunjukkan padanya, hasil jepretan di HP-ku. Dia tersentak melihatnya!

“Apaan, nih?!” sergahnya, terbelalak memandangi foto itu.

Sekarang, akulah yang tertawa lebar. Hahaha…!

“Ini keterlaluan!” umpatnya. Tapi kemarahannya terlihat palsu bagiku. Aku tak percaya dia sungguh-sungguh marah.

“Jadi kamu lebih ingin kepalamu kubuang dari pundakku? Aku baik hati, aku tahu kamu capek,” sahutku santai.

“Masalahnya adalah: kenapa harus memotretnya? Kamu posesif, dan oportunis!” tukasnya.

Aku merebut HP-ku sebelum dia menghapus foto itu.

“Siapa yang mengutukmu jadi begini?” lontarnya. Mimiknya lagi-lagi tak mirip orang marah, lebih mirip orang yang sedang tersanjung.

“Ben bilang, perjalanan ini akan menjadi petualangan yang bisa mengubah diri kita. Sepertinya kutukannya itu telah terjadi,” candaku, menikmati raut muka Fandy yang berubah acak-acakan. Si Unyu Yang Penuh Kepura-puraan!

“Apa maumu?” dia sok-sokan menantangku.

Oke, lu jual gue beli!

“Aku nggak akan ceritakan ke Dimas soal ciumanmu dengan Fillipe. Aku akan jadi adik ipar yang toleran,” aku berseloroh dengan tenang. “Tapi, kamu harus menuruti syaratku!”

Dia menelan ludah. Sepertinya sadar, bahwa dia tak cukup pintar memainkan bumerang. Tapi sudah terlambat. Makanya, jangan mengerjai orang yang lebih jahil darimu!

Kujelaskan padanya rencana yang ingin kumainkan.

Tersentaklah dia, memaki-maki. “Kamu gila!”

“Hahaha…. Sedikit.”

Tampaknya menggerutu, tapi aku yakin dia tak sekesal kelihatannya. Malah, dia tampak seperti tersipu. Setelah menimbang-nimbang, dia akhirnya sepakat juga.

“Terus, di mana?” tanyanya.

Aku menengok ke beberapa arah. Observasi.

“Kulihat ada beberapa. Kita cari yang nyaman dan tarifnya murah,” gumamku. Lalu kulontarkan sachet kondom ke atas, seperti melontarkan koin. Kutangkup dengan telapak tangan. “Kalau sisi oranye, aku yang bayar. Sisi putih, lu yang bayar!”

Kubuka tangkupanku. Yang muncul oranye.

“Oke, gue bayarin!” cetusku sambil tertawa ringan.

Aku bangkit, ke dalam sebentar membayar teh dan roti. Lalu mengajak Fandy, berjalan menuju ke tempat yang sudah kubidik. Melancarkan sebuah improvisasi yang kuyakini bakal berjalan asyik!

Dia mengikuti di belakangku sambil terus menggerutu. Pura-pura komplain, “Gimana kalau Mas Awan datang? Bukannya dia mau jemput kita?”

“Kebetulan aku lupa SMS kalau kita sudah tiba di sini.”

“Kamu nggak pikirkan perasaan Misha?”

“Dia cuma menganggapku teman. Jadi dia nggak berhak cemburu! Tapi kurasa dia juga nggak bakal tahu.”

“Kamu gila!”

Aku tertawa.

Ya. Dan gue yang pegang kartu lu. Hahaha…!

 
 
 
 

 bersambung…

 
 
 

 

97 responses to “Karung 12

  1. noelapple

    26 April 2014 at 12:36

    Terima kasih sudah membaca. 🙂

     
  2. AditaKID

    26 April 2014 at 15:32

    Demi apapun gak nyangka pake banget kalau fandy bakal ngelakuin kaya gitu.. dan bener2 saya ngumpat2 gak jelas sepanjang baca yg fandy ketauan ciuman sma si bule itu.. ah fandy tega, fandy brengsek TTATT
    Dan apa pula itu yg bakal di lakuin fandy sma Denis?
    Owalah.. dimas cepatlah ketemu.. jangan sampe fandy makin galau karena telantarkan.. bisa2 dia berpindah kelain hati TTATT
    Oke.. nice story..
    I like it.

     
  3. rega

    26 April 2014 at 15:36

    Wah2, denis sm fandy mau ngapain nih, mas noel? Hahaha.

     
  4. geni

    26 April 2014 at 16:08

    walaupun udah nebak2 soal flirting fandy-filippe, tapi ga nyangka kalo fandy bakal tergoda sampe sejauh itu n mepetin filippe mulu .. bener2 unexpected 😀

    nunggu kejutan baru nih.. bakal diapain tuh kondom oleh si denis n fandy?? hahahaha

     
  5. Arya

    26 April 2014 at 16:52

    Ceritanya makin naughty 😀

     
  6. emyu

    26 April 2014 at 18:17

    itu mereka mau ngapain? –“

     
  7. dorr_fa69

    26 April 2014 at 20:01

    penyebrangan ketapang-gilimanuk mengingatkan moment perjalanan ke lombok pertama kali saat acara di universitas mataram… aku nyebrangnya juga sekitar jam segitu dan selama penyebrangan di posisinya fandi terus gak di kursi penumpang…
    #upss jadi curhat
    tapi jadi penasaran apa yang sebenarnya direncanakan denis sama fandy itu? jadinya berpikir aneh2 nih.. 😀 tapi denis gak gitu lah aku yakin…

     
  8. kandi

    26 April 2014 at 22:45

    Waaaaahhh mau ngapain tu…

     
  9. Guntur Iqbal Kelana Suryadi

    26 April 2014 at 23:27

    Kalau menurut runtutan cerita, dan beberapa kata yang diragukan denis, berarti Denis sama Fandy bakalan……. Eh, yakin kak Noel, nanti Dimasnya gimana? Atau nanti hubungannya lebih kompleks lagi?

     
    • Guntur Iqbal Kelana Suryadi

      26 April 2014 at 23:33

      Atau aku saja yang berprasangka buruk?

       
      • Key Vidzy

        27 April 2014 at 06:29

        Tenang.. Bukan kamu saja yang berprasangka seperti itu

         
  10. Aaron Steve

    27 April 2014 at 08:23

    Wah wah Denis bisex toh? Masa iya sih? Kok sama Fandy juga? Kalo iya bakal perang saudara nihh…

    btw salut sama part ini. Selama ini CRA selalu menceritakan tokoh2 protagonis yang bisa dikatakan ‘perfect’ dan memiliki prinsip, contohnya Fandy yg selalu dikisahkan memiliki prinsip hidup yg kuat. Tapi di part ini dikisahkan kalau si Fandy juga bisa keluar dari prinsip ‘hidupnya’ itu dengan melakukan kissing dgn Felipe, yg jelas dia masih mencintai Dimas dan Felipe masih berpacaran dgn Cecile. Entah bagaimana pandangan para pembaca CRA setelah ini? Yang jelas menurutku kisah ini menjadi sangat ‘manusiawi’ karena tidak ada yg sempurna di dunia ini. Kadang orang yg baik memiliki sisi jahat (atau nakal tepatnya) karena berbagai alasan.

    Keren bang Noel!!!!!!
    sekalian buat si Denis ngapa2in aja sama si Fandy biar tambah asyik dan komplek

     
    • noelapple

      27 April 2014 at 12:59

      Soalnya mereka sudah tambah gede. Mereka tak bisa terus bermain di zona aman.

       
      • Aaron Steve

        29 April 2014 at 05:21

        Ada beberapa hal yg mengganjal yg ingin aku keluarkan dari uneg2,

        1. Itu kok ditulis mart, bukan mini market saja, seakan2 seperti semi-iklan
        2. Kenapa bungkus kondomnya berwarna oranye? Apa ini semi-iklan lagi untuk sebuah produk kondom rasa jeruk? Atau oranye warna dari jeruk yg bisa berarti ‘jeruk makan jeruk’?

         
      • noelapple

        29 April 2014 at 23:25

        mart bukan nama produk, knp dicurigai iklan? faktanya mmg ada toko di depan pelabuhan, yg memakai embel2 mart.

        kalau warna kondomnya hijau misalnya, Denis tak akan menyangkanya vitamin c. kenapa hal2 remeh harus dicurigai?

         
      • Aaron Steve

        30 April 2014 at 13:47

        Karena yg ku tahu setiap penulisan bang Noel setiap detail2nya tersimpan maksud tertentu. Inilah keasyikan membaca CRA karena selain ceritanya memang asyik ada sesuatu maksud yg tersimpan di setiap detailnya

         
      • noelapple

        1 Mei 2014 at 09:16

        Tak selalu begitu. Saya tetap butuh menulis secara bebas, tanpa harus memasukkan banyak ‘rahasia’ di dalam cerita. Karena nggak mau nulis yang selalu berat.

         
  11. Kang Zaen

    27 April 2014 at 10:56

    Aku dah naruh curiga sama gelagat Fandy dan merk lampu itu, tepatnya pas mereka ke toeilet bareng. Bukan karena ketoilet bareng lantas gue naruh curiga, tapi lebih kare mereka dah jalan bareng dua kali. Sesuatu yang janggal selalu berjalan berdua dengan orang baru sementara disekitar kita ada orang yang lebih lama kita kenal.
    Btw aku penasaran apa yang bakal dilakuin Dimas ke Fandy, jangan lama-lama ya Bang Noel updatenya… Hehehe

     
    • noelapple

      27 April 2014 at 12:57

      Denis akan memperkosa Fandy.

       
      • Ari

        29 April 2014 at 16:34

        Heehhh???? Seriusan kaa??? Oh my god😥

         
      • noelapple

        29 April 2014 at 23:29

        serius.

         
      • yanz

        5 Mei 2014 at 14:49

        di episode karung brapa mas noell?????/?

         
  12. luminociouz

    27 April 2014 at 11:07

    Kalo w jadi fandy sih g yakin bakalan bisa nolak godaan didepan mata.
    Hahahaha

     
  13. wiikun

    27 April 2014 at 12:41

    hahaha mamam tuh si fandy udah berulah sama cowok bule, siap2 aja di apa2in sama denis *evil smirk*

     
  14. kazekage

    27 April 2014 at 12:44

    Eh ngapain sih mas? Mikir jorok nih aku. Ngapain ngomongin biseksual segala, campur2 pake condom plus losmen.. Hahaaaa.

    Mas ini cerita bagus, sama indah banget mungkin.. Yg jelas bagus, aku ngerasain banget feel perjalanannya.. Sampe aku mabuk darat sendiri dikamar.. Hahahaaa

    Kasih tips dong mas, gmn cara bikin feel cerrita kayak gitu..

     
    • noelapple

      27 April 2014 at 12:57

      Kalo aku bagi-bagi tips soal nulis cerita nanti blogku tenggelam. Didepak para pesaing. 🙂

       
  15. Emanona

    27 April 2014 at 13:56

    Mencurigakan… hahahaha…

     
  16. rega

    27 April 2014 at 14:27

    Kalo mereka tambah gede, bukannya justru mereka yg makin neguhin ‘prinsip’ mereka masing2 ya mas? Justru kalo masih lebih muda, mereka akan lebih ‘nyoba-nyoba’ atau lebih ‘pengen tahu rasanya’.

    Kalo sy sih nangkapnya denis sm fandy lagi sama2 ‘galau’ sm keadaannya masing2. Denis yg lebih galau dan ingin mencari pelampiasan, iri sm fandy yg dgn mudahnya mendapat ‘pelampiasan’ itu (di samping dia kesal dgn sikap Fandy yg awalnya dia pikir ‘main-main’ itu).
    Dan entah kenapa, denis tiba2 jadi sedikit ‘gila’ dan penasaran dengan yg namanya ….. (you know lah, haha)

    Kalau Fandy sih awalnya ragu, tp menurut sy kalo Denis ngajak dia, bagi dia itu lebih ‘menggoda’ lagi, karena Denis itu saudara kembarnya Dimas, pasti mirip bgt sama Dimas.
    (Jadi ngeres gini mikirnya yah haha…)

     
    • noelapple

      27 April 2014 at 19:50

      meski tambah gede, usia mereka tetap masih di zona yg sangat dinamis. tambah gede tambah berani, tp belum masuk pada fase mapan soal prinsip. prinsip masih dapat dgn mudah dipengaruhi sesuatu, terlebih krn spirit adrenalin khas remaja yg sedang menggebu.

       
  17. Sidharth aaman

    27 April 2014 at 15:05

    Wah masih berlanjut

     
  18. Guntur Iqbal Kelana Suryadi

    27 April 2014 at 19:15

    Tapi kak, ditunjukin gak ‘adegannya’ di karung berikutnya? (Aman, gak aman tetep dibaca kok…. 🙂 )

     
  19. Erik

    27 April 2014 at 20:14

    Hahha emejing , gag nyangka fandy ciuman sma felipe -_- Dan apakah yg akan di lakukan denis dngan fandy ?? Dari percakapan mereka seprti nya bakal ada sex scene 😀 hahha berharap ,, jngan lama-laman yg bang noel karung 13 nya 😀

     
  20. inhael kazikage

    27 April 2014 at 22:38

    3 partanyaanku ke mas noel:
    -Knp fandy setega itu ngehiyanatin cinta dimas,apa karna galau kah?.
    -Di dalam hp denis ada gambar apaan sampe buat fandy tersipu?
    -Mereka berdua mau ngelakuin apa?
    Cuma mas noel saja yg tau..

     
    • noelapple

      27 April 2014 at 22:50

      kamu harus lebih dari sekadar membaca. kamu harus memikirkan yang kamu baca.

       
  21. nurcahyobudi

    27 April 2014 at 23:20

    fandy masih abege, jadi gak nyalahin dia juga sih
    tapi beneran loh yg part terakhir itu bikin penasaran (pake banget), secara sifat seseorang ntuh bisa berubah
    (dan apel itu terjatuh lagi)

    hemm jd mikir ngeres nih 😀

     
    • noelapple

      28 April 2014 at 16:21

      Denis juga masih ABG. Fifty-fifty.

       
  22. imt17

    28 April 2014 at 01:17

    ayam babon kawin ama ayam jago = . . .?
    hahahahahaha intermezzo yang aneh. .

    gw yakin rencana yang dilontarkan denis cuma twist doank,
    gak mungkin,denis yang sejak awal mengibarkan bendera straigh bisa tergoda,mengingat denis lah yang paling ngerti perasaan dimas sejak awal konflik dibangun.

    semoga next up gak ampe 2 minggu ya mas,pegel nunggunya heheheh

     
    • noelapple

      28 April 2014 at 16:23

      intermeso itu tdk harus dipahami secara kasat mata. 🙂 apa yg membedakan hewan dan manusia soal cinta dan sex?

       
      • imt17

        28 April 2014 at 17:27

        hewan gak punya cinta kali ya,cuma punya naluri kebinatangan yang baik dan bener mas hehehe
        sedangkan sex,mungkin ada kesamaan diantara keduanya,kecuali babon dan si jago hahahaha

         
  23. biyan

    28 April 2014 at 02:26

    Karung 13 cepetan di release..penasaran…

     
  24. dontbesyai

    28 April 2014 at 12:09

    😱 Oh My GOD!!! Saya. Tidak. Bisa. Berkomentar. 😶

     
  25. dontbesyai

    28 April 2014 at 13:38

    Gak tahan juga pengen komentar. Tadi kepala masih panas dan hidup masih mimisan.

    Right, now what do we see here is that Noel menepati janjinya bahwa Denis memang twisting. Jika pembaca berharap akan terjadi sesuatu antara Denis dan Fandy, maka siap-siap aja kecewa (Sekecewa saya waktu Denis mau buka celana di hadapan Dimas yg ternyata cuma godain aja).

    Motif? Denis masih perlu kejelasan alasan Fandy ikut ke Bali, apalagi setelah Denis memergoki dia ‘accidentally’ kissing cowok lain selain Dimas. Yg jelas Denis masih butuh pembuktian. Bukan pembuktian cinta Fandy ke Dimas, tapi pembuktian yg bisa mementahkan alasan Dimas kabur ke Bali at the first place, sehingga Denis tidak perlu susah payah cari alasan untuk meyakinkan Dimas balik ke Solo.

    Tapi mudah-mudahan saya salah dan Denis beneran memperkosa Fandy. Ha ha ha ha….

     
    • noelapple

      28 April 2014 at 16:24

      Kita lihat nanti. 🙂 berhubung kondomnya juga sudah ada.

       
  26. dian kusuma

    28 April 2014 at 19:30

    hahaha pretty nice piece of story this time. Tapi saya nggak lantas serta merta percaya akan terjadi apa apa antara Denis dan Fandy. Kenapa, karena itu sebuah penyelesaian cerita yang sangat sederhana dan sangat “pasar oriented. Well jujur saya mengharapkan terjadi apa-apa antara Denis dan Fandy, tapi saya yakin itu nggak bakalan kejadian.

    C’mon terlalu mudah untuk membuat cerita Denis tiba-tiba jadi biseks lantaran ditolak Misha. Memangnya semudah itu apa orientasi seksual seseorang menjadi berbelok lantaran ditolak cewek? Dan saya yakin mas Noel akan tergoda untuk penyelesaian cerita yang sangat mudah seperti itu.

    Saya malah kepikiran si Denis ngajak Fandy yang akhirnya berbelok jadi biseks dengan menyodorkan wanita, walaupun agak kecil kemungkinannya karena ada kata kata Fandy “Apa kamu nggak pikirkan perasaan Misha?”

    **bahkan dulu saat membaca fandy dan dimas jadian pun saya nyaris tak percaya koq dengan lika liku cinta mereka seperti itu. Yang ada dalam pikiran saya, penyelesaiannya adalah seperti The Love of Siam. hehehe. Tapi ternyata Mas Noel masih berbaik hati memberikan penyelesaian yang diinginkan pembaca.

    Jadi saya tidak yakin akan terjadi apa apa yang ada urusannya dengan ranjang, antara Fandy dan Denis.

    Mau taruhan?

     
  27. yusuf

    28 April 2014 at 20:38

    nice story… bkin pnasaran lanjutanya …. makin kreatippp dahhhh

     
  28. biyan

    29 April 2014 at 00:45

    Setuju…gw sama dian…hehehee…tp klo hrs ada hot scene ya gpp jg. Yg penting halus kata2nya.

     
  29. devan

    29 April 2014 at 14:08

    sebenernya cerita di part yg ini makin realistis sih.. karna pd dasarnya dalam dunia kayak ‘gini’ sulit banget nahan yg namanya godaan dan rasa pengen coba2.. tapi entah kenapa gw jadi kehilangan cerita tulusnya CRA.. kayak ada bagian yg hilang.. dan ini yg membuat gw makin kangen dimas dan lebih tertarik sama CRA season 2… maaf bang noel cman komenter.. but overall keren bingitss 🙂

     
    • noelapple

      29 April 2014 at 23:32

      lantas, adakah jaminan bahwa Dimas lebih tulus? hidup penuh eksperimen. nakal kadang diperlukan.

       
  30. rendyyi

    29 April 2014 at 17:42

    saya langsung berasumsi fandy bukan orang tepat dan baik buat dimas..

     
    • noelapple

      29 April 2014 at 23:28

      berasumsi atau menghakimi? atau keduanya memang beda tipis?

       
      • rendyyi

        30 April 2014 at 14:18

        berasumsi
        kalau masalah perbedaan, mungkin berasumsi adalah bahasa ‘halus’ dari menghakimi..
        jadi ya, ga ada bedanya

         
  31. kim juliant

    30 April 2014 at 11:13

    Ceritanya srmakin seru…
    Aku yakin denis ngak akan belok kayak dimas..
    Ini trik mas noel bikin pembaca semakin tegang….
    Enak jga ya fandy sempat2 ciuman sama bule…
    Mau dong ciumanya….
    Hahaha….

     
  32. Sidharth aaman

    30 April 2014 at 12:52

    Kapan nih karung 13 nya, makin pensaran, dimas pulang donk guah ikut kangen 😥

     
  33. Raja Ampat

    30 April 2014 at 15:36

    waahhhhh jadi mkain stalking nih ttg content karung 13 nih :3 :/
    apa mungkin Denis hanya mau ngtest si Fandy doank sjauh mana ketulusan & prinsip yg dipertahanin “cowo unyu” sejak awal (Cowo Setia) ???
    terus apa bnerrr nih si Dimas pernah “nakal” ama si Awan & Dika.?? cz kasihan bngt dia koq ngilang..?? Ohhh iya apa si ricky jga sperti Fandy & Dimas.???
    hahahahahaha 😀
    kayaknya bakal ada kepelan asap tebel dari hidung & kuping nih kalo baca karung 13 :v

     
  34. Raja Ampat

    30 April 2014 at 16:16

    Ohhh iya mas Noel kira2 karung 13 kapan nih.?? cz lagi UTS nih biar gak beban nungguin kisah slanjutnya 😀 #sorry bawel nih

     
    • noelapple

      1 Mei 2014 at 09:15

      kalau gitu habis UTS saja ya. biar kamu fokus UTS dulu.

       
      • Raja Ampat

        1 Mei 2014 at 14:49

        -__________-
        yah jgn lah gak serruuu tuh kalo bisa hari Minggu tgl 4 ni yah Bang Noel 🙂

         
  35. yusuf

    30 April 2014 at 18:12

    kyaknya si dennis dan fandy nyari losmen untuk istrahat deh… jelas mereka kelelahan setelah perjalan dari solo ke bali….

     
  36. Freya

    30 April 2014 at 19:13

    OH GOD HELP ME.
    Such a hardcore Cliffhanger I got here. Suer, nggak pernah saya gulung-gulung dikasur bermenit-menit cuma karena mikirin nasib dua orang tokoh fiksi yang nggak nyata di dunia ini. Denis, Fandy, kondom. Lagi-lagi pembaca dilempari kepingan puzzle.

    Tapi saya setuju sama komentar-komentar pembaca lainnya, Sumupeng apapun saya ngelihat Fandy dan Denis anu-anuan, kayaknya ini cuma twist. Tapi gimanapun, pembaca hanya bisa menebak-nebak. Konklusi akhir ada ditangan penulis. Jadi, pasti… Looking forward to the next karung.

    Oh iya,kalau saya boleh saran, kalau nanti sudah ketemu dengan dimas dan konflik sudah berakhir, ada baiknya merka liburan dulu di bali. mampir desa saya di blangsinga daerah gianyar sono. Suasananya cocok buat honeymoon mereka, masih sepi khas desa, banyak sungai-sungai jernih yang di sepanjang jalan riaknya terdengar. udaranya bersih, bebas asap. Belum terekspos wisatawan sih. Tapi saya yakin, mereka berdua pasti suka banget disana. Haha.

    PS. A little Fandy-Filippe moment nggak membuat saya berubah memandang fandy. Itu nggak membuat fandy jadi orang brengsek, itu membuat fandy jadi manusia.

     
    • noelapple

      1 Mei 2014 at 09:14

      Saya di Penglipuran. Kalau di suatu tempat sana gantian Dimas nyium cewek gimana?

       
    • Raja Ampat

      1 Mei 2014 at 14:52

      lah terus si Denis.a gmna kalo Dimas ma Fandy honeymoon.??? mereka honeymonn.a di karung yng lain aja saat CUMA MEREKA BERDUA AJA TANPA DENIS
      hahahaha 😀

       
  37. Zhian

    30 April 2014 at 20:20

    Paling mereka cuma mau pijit – pijitan. Hiya to 😀

     
  38. segoro

    1 Mei 2014 at 07:26

    Ha..ha..ha.. setelah membaca karung 13 ini baru saya merasakan benar-benar ruh dari cerita CRA3 ini. Awal baca cerita ini sih tetap menarik tetapi kerasa ada yang kurang saja, apa.. gitu. Dan selalu ada ‘koq gini?! koq gitu?!’. Bahkan saya sempat menjugde mas Noel (he..he..) mulai terjebak dengan memaksakan karakter denis dan ben yang harus “laki” banget yang malah jadi kelihatan ga banget. Tapi setelah baca karung 13 saya baru benar-benar menyadari bahwa Mas Noel benar-benar jenius. Ini sudut pandang Denis, bukan Dimas. Angkat topi mas! Terlepas nanti di episode selanjutnya Denis atau bahkan Ben terbukti biseks atau bukan, mereka tetap laki banget. Dan saya ulangi baca dari karung 1 lagi… keren, keren pake banget.

     
    • noelapple

      1 Mei 2014 at 09:12

      kenapa malah jadi ngarep kalau mereka biseks? kasihan pembaca cewek dong.

       
  39. segoro

    1 Mei 2014 at 07:32

    Dan perjalanan melewati kota Solo, Sragen adalah perjalanan yang paling menyenangkan bagi saya. He..he.. ini kotanya Dimas/Denis tho?! Berharap tanpa sengaja berjumpa mas jenius, berharap ‘orang’nya ramah, tidak ketus dan jaim…. peace!! he.. he..

     
    • noelapple

      1 Mei 2014 at 09:11

      kamu akan kecewa.

       
      • segoro

        2 Mei 2014 at 00:42

        namanya juga cuma fans, sedekat apa pun sudah ada sekat. ya sadar diri ga mungkin jadi teman baik yang bisa sharing dan jadi mitra sejajar. Sragen ne pundi kang Noel?

         
      • noelapple

        2 Mei 2014 at 14:50

        makanya, saya benci kata ‘fans’.

         
  40. bannybaladewa

    1 Mei 2014 at 07:39

    Satu hari tidak.bisa membuat seseorang menjadi bisex itu kata yg dilontarkan oleh fandy..simple tapi jelas .

    Apa yg akan dilakukan dengan sarung pengaman.
    Denis mau coli pakai condom?
    Denis mau memperkosa fendi? Hahaha
    Gak sabar nunggu lanjutan ceritanya.

     
  41. Adjie

    3 Mei 2014 at 21:19

    Mereka mau buat balon dari kondom ya?

     
  42. teyo

    4 Mei 2014 at 00:45

    Paling kindonnya di pake buat plendungan bukan di pake sebagai mana mestinya hahaha :))

     
  43. marion

    4 Mei 2014 at 11:23

    apa yang aka terjadi ??? gua jadii penasaran .. sumpahh cerita nya keren pake bgt makin nge HIts aja ni CRA …

    keep writing ya mas noel

     
  44. Gabriel

    4 Mei 2014 at 22:25

    TEMULAWAK!!!

     
  45. afandyhr

    5 Mei 2014 at 02:26

    bang nuel, tlng tinggalin kontak yg bisa aku hbungin 🙂 aku btuh informasi ttng crita ini, hehe

     
  46. elnada

    6 Mei 2014 at 01:04

    Kolom komentar gk kalah dgn cerita intinya,segitunya ya pada komentar seakan2 denis dimas dkk bnr2 nyata. Si Noel nanggepinnya judes2 pula makin bikin ngakak..santailah para pembaca sekalian seandainya dimas dibikin jd cwok normal denis jdi gay,itu urusan & suka2 Si Noel itulah,ibarat kata Si Noel penentu jalan hidup mereka. Buat Si Noel,teruskan judesmu tuh cos itu tengil,belagu tp keren & cool…

     
  47. pam

    6 Mei 2014 at 07:50

    Akhirnyaaaa setelah lama vakum un baca cerita ini lagi… hahaha

    Di karung ini saya sebagai pembaca (bahasanya :p) bener” di bikin mati kutu -_-

    Mau mikir kaya gini tapi kayanya bukan mas Noël banget, mau nikir kaya gitu tapi mas Noël kan suka bikin kejutan. Jadi serba salah, tapi seruuu 😀
    Para pembacanya di bikin ga bisa tenang gara” mikirin Denis sama Fandy hahaha

    Keep up the good work mas 😀

     
    • noelapple

      6 Mei 2014 at 22:05

      ngeres itu asyik. yg penting tidak disalurkan ke dalam kejahatan.

       
      • arga

        7 Mei 2014 at 02:01

        Bang noel saya nunggu ceritanya kelamaan, kalau pengen beli novelnya gimana caranya? Terus dalam bentuk apa? Apa berbentuk buku atau lainnya? Kalau berbentuk buku sekalian minta tanda tangannya mas noel tks ya mas 🙂

         
      • noelapple

        7 Mei 2014 at 10:07

        dalam bentuk mimpi.

         
      • arga

        7 Mei 2014 at 23:01

        Yaaahhh jd gak di perjual belikan nih novelnya?

         
      • noelapple

        8 Mei 2014 at 18:42

        mau tau aja, apa mau tau banget?

         
  48. pol

    10 Mei 2014 at 18:41

    nih baca cerita …………. ada masalah ma anak basket jadi lebih rilex mikirinx……. lanjut y mas……

     
  49. Rifu

    10 Mei 2014 at 19:20

    Baru baca dari awal, dan ternyata benar-benar keren 😀

     
  50. echo

    11 Mei 2014 at 13:46

    wahanjrit…. abang gw kenapa jd serong jg. masa jd omnivora gitu hahahhahahahha… semoga cuma sekedar akting aja tuh si Denis.

     
  51. yoga

    11 Mei 2014 at 19:45

    bang noel di tunggu kelanjutanne

     
  52. Nait

    23 Mei 2014 at 14:29

    Dari awal sampe akhir, memang saya akui tokoh Denis ini seorang ahli siasat, hmmm
    Pengembangan karakternya bagus mas, kerasa banget bedanya, salut
    *numpang belajar y

     
    • noelapple

      23 Mei 2014 at 18:54

      Dimas jg pintar bersiasat. Tapi Denis lebih nekat dan berani curang.

       
  53. prasetya

    14 Juni 2014 at 00:26

    deniiss pacar guee dia mau ngapain sama fandi *jadi makin sebel sama fandi

    hahaha

     
  54. purie

    4 September 2015 at 19:07

    ihh apaan sih fandy udah gk polos lagi…bisa2nya dia bgtu astagaaaa dia brengsek dah!!! *upsss

    mit amit jgn ada ahem diantara mereka…krna trauma denis jdi nikung kan bahaya mit amit dahh
    mlah bkin ruwet dah ah!!!denis ngerencanain apa lu????

     
  55. Sam

    19 September 2015 at 09:31

    masyaallahhhhhhh kaget bgt denger fandy ciuman sama fellipe haaaa…. that innocent fandy has gone way too badass. antara shock sama kagum sama iri. claps

     

Tinggalkan Balasan ke dontbesyai Batalkan balasan