RSS

Karung 21

 

Karung 21

Lelaki Lavender

 
 
 

“Apa saja yang kamu temukan di laptopnya?” Mas Dika bertanya.

Aku terdiam beberapa saat, menimbang mana saja yang tepat untuk kubicarakan dengan Mas Dika. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan apa yang terjadi antara Dimas, Mas Dika, dan Mas Awan. Apakah masalah ‘kecemburuan’ itu sungguh-sungguh selesai secara baik? Penyelesaian antara Dimas dan Mas Awan sepertinya masih menggantung. Tapi jika kutanyakan, sepertinya bukan pembicaraan yang nyaman. Dan setelah kupikir-pikir lagi, itu juga bukan masalah utama. Itu tak akan memberi petunjuk tentang keberadaan Dimas sekarang. Lagipula Mas Awan juga sudah membantuku mencari Dimas, mungkin masalah ‘kecemburuan’ itu sudah selesai, atau dilupakan dengan sendirinya. Aku hanya malu saja, dan merasa terusik, jika kedatangan Dimas kemari pernah membuat kacau hubungan orang lain.

“Hei? Mikirin apa?” Mas Dika memecah lamunanku yang rupanya agak kelamaan.

“Eh, anu… ada beberapa catatannya yang sepertinya bisa memberi petunjuk, meskipun nggak terlalu jelas,” sahutku sedikit kikuk, dan cepat-cepat mengalihkan fokus di dalam kepalaku. “Dimas mencatat banyak hal tentang kesehariannya selama di sini. Di dalam catatannya yang paling akhir, dia menulis bahwa dia tinggal di Ubud, di tempat kenalannya yang bernama Mas Angga. Mas Dika kenal?”

Mas Dika mengerling sesaat. “Emm, iya, ingat,” dia menjawab agak ragu. “Kami berkenalan waktu di Bajra Sandhi beberapa waktu lalu.”

“Mas Dika tahu alamatnya?” aku langsung antusias.

Sayangnya, Mas Dika menggeleng. “Sepertinya Dimas lebih kenal, dia yang banyak ngobrol dengannya waktu itu.”

Aku sedikit kecewa, tapi, “Oke, nggak masalah, sih. Soalnya dia sudah membuat petunjuk juga,” gumamku sambil menilik lagi catatan Dimas. “Ubud, jalan Sriwedari, grup Rindik Pager Wangi. Sepertinya bisa dicari, cuma… masalahnya, kayaknya Dimas juga sudah nggak di sana, setidaknya untuk sementara ini.”

“Dia ke mana lagi?”

“Isi catatannya sinkron dengan petunjuk dari Maya, bahwa pada hari Minggu kemarin dia mengunjungi Maya di Bangli. Beberapa hari sebelum ke Bangli, Dimas sudah merencanakan akan piknik ke…,” aku menilik lagi catatan Dimas, “ke Pura Dewa Agni, ke Danau Dewa Wisnu… di mana itu?”

Mas Dika mengerling lagi. “Pura Dewa Agni? Jika dia ada di sekitar Bangli, mungkin yang dia maksud adalah Pura Kehen. Nama ‘Kehen’ artinya ‘bara’, atau ‘api’. Agni adalah Dewa Api. Kalau tidak salah, Maya sudah menyinggung itu, bahwa sebelum ke rumahnya Dimas habis dari Pura Kehen. Kalau benar, berarti sinkron.”

“Oh?” aku bengong, merasa tolol. “Jadi, Dimas memakai bahasa ala-ala sastra, nih? Biar keren, gitu?”, aku garuk-garuk kepala sambil membatin agak kesal.

“Danau Dewa Wisnu, mungkin yang dimaksud Danau Batur,” lanjut Mas Dika. “Di sana ada Pura Ulun Danu, tempat memuja Dewi Air. Hyang Wisnu adalah Dewa Air, tetapi sebenarnya yang dipuja di sana adalah Dewi Air, yaitu Dewi Danu. Mungkin Dimas yang sedikit keliru menafsir saja.”

“Oke,” aku mengangguk selagi menimbang-nimbang. “Itu juga sebelum dia ke rumah Maya?”

Mas Dika menggeleng. “Sepertinya tidak. Kalau dipikir-pikir, jauh lebih mungkin Dimas pergi ke Danau Batur setelah dari rumah Maya. Menurut penjelasan Maya, Dimas bilang padanya akan trekking ke Gunung Batur. Jadi, setelah dari rumah Maya, Dimas pergi ke Gunung Batur, itu jika dia memang jadi menjalankan rencana pikniknya. Dia bisa ke Danau Batur dulu, atau mungkin juga sekalian ke Trunyan, baru kemudian melakukan trekking. Atau bisa juga sebaliknya.”

“Kira-kira dia butuh berapa hari untuk itu?”

“Sehari sampai dua hari cukup,” sebut Mas Dika.

Aku berpikir dan membayangkan bagaimana Dimas melakukannya, berdasarkan gambaran dan prediksi Mas Dika. Rupanya Dimas yang ada di Bali ini memang bukan lagi Dimas yang dulu di Solo, beda! Sekarang, kembaranku yang lemah dan tak suka tantangan itu sudah mulai belajar menjadi laki-laki tangguh. Jadi kuli, jadi artis, jadi pengembara, naik gunung sendirian. Sosok Dimas yang seperti itu belum pernah terlintas dalam bayanganku.

Lalu aku sadar ada petunjuk yang hampir kulupakan. Kutilik catatan Dimas lagi. “Dimas bilang dia akan konser dengan Mas Angga di Amlapura,” cetusku.

“Konser?” Mas Dika sedikit terpana.

“Entahlah konser kayak gimana yang dia maksud, intinya dia akan tampil di sana. Sayangnya dia tak menyebutkan harinya, dia cuma bilang acara itu dilakukan pekan ini. Harinya, mungkin saja kemarin, atau hari ini…”

“Berarti,” Mas Dika sigap menyambungku, “saat ini Dimas di Amlapura?”

“Mungkin,” sahutku agak ragu. “Di mana itu?”

“Karangasem, kabupaten di Bali paling timur. Paling jauh jika diukur dari Solo.”

Aku termangu. Lama.

“Kamu akan ke sana?” Mas Dika melontarkan pertanyaan paling logis itu, disertai sungging senyum tipis.

Aku menggumam ragu, “Apakah petunjuk ini cukup? Kalau Mas Dika jadi aku, Mas Dika akan ke sana?”

Mas Dika tertawa kecil. “Itu sama seperti mendengar, “Awan ada di Solo”. Bagaimana menemukannya di sana, sedangkan aku tak pernah ke Solo?”

Aku memikirkannya sesaat. Lalu berkomentar, “Rada beda, lah, Mas. Mas Dika ke Solo mencari pacar. Jangan dibikin seolah-olah aku juga mau memburu ‘pacar’ ke Amlapura.”

Mas Dika tertawa terbahak. Sekitar sepuluh detik dia tertawa, itu menjelaskan kadar kelucuan kata-kataku.

“Lagian Mas Awan masih ada di Jembrana. Dan dia nggak minggat kayak Dimas,” celetukku. Meleset banget perbandingannya! Atau, memang sengaja?

“Tidak ada keterangan nama konsernya itu?” Mas Dika bertanya sambil menahan sisa tawanya.

Aku menggeleng.

Hmm, sulit kalau begitu,” gumamnya.

“Kalau mencari ke Ubud, sedangkan ternyata Dimas atau temannya itu belum pulang, berarti sia-sia juga, ya?”

“Kecuali jika di sana kamu bisa mendapatkan informasi yang jelas soal acara di Amlapura itu. Kalau kamu bisa dapat nama acaranya, dapat nama lokasinya, mungkin tak sia-sia.”

“Kalau menurut Mas Dika, sebaiknya aku gimana?”

Mas Dika berpikir sejenak. Dia menepuk bahuku. “Sabarlah dulu. Pikirkan lagi besok pagi. Seharian ini kamu tak istirahat, bukan kondisi yang tepat untuk membuat keputusan,” ujarnya menasihatiku.

Kuhela napas. Ffhhhh…. Kulihat jam di laptop, sudah jam setengah sembilan. Dan, ya, badanku terasa letih sekali. Penat sekali.

“Fandy di mana?” Mas Dika bertanya.

“Nggak tahu, tadi dia pergi gitu aja,” jawabku, sambil mengitarkan pandangan. Aku baru sadar, Fandy nggak kelihatan di manapun di sekitar sini.

Mas Dika meninggalkanku sejenak, dia pergi mengecek ke galeri souvenir. Dia kembali lagi dan mengangkat bahu. “Dia tak ada,” ucapnya. “Kamu bisa hubungi dia? Tak lama lagi Nagari tutup, kita pulang ke Mumbul.”

Aku bertindak, menghubungi nomor Fandy. Panggilanku diangkat tanpa menunggu lama.

“Apa?” dia menyapa. Kudengar cukup berisik di sana.

“Kamu di mana? Ini aku sama Mas Dika udah mau pulang. Cepetan balik!” tukasku.

Aku lagi makan, di…” dia menjeda, “di kafe, namanya Kafe Banana. Sekitar satu kilometer dari situ. Tolong jemput aku, ya?”

“Kamu jalan kaki? Niat banget? Nggak pamit lagi?!” aku ngomel.

Tadinya cuma mau jalan-jalan. Tapi tak sengaja ketemu pertunjukan wayang di sebelah kafe, aku nonton, terus sekalian makan di sini. Jemput, ya?”

Langsung kututup HP-ku. Kesal!

“Ada di mana dia?” Mas Dika menanyai.

“Di kafe. Kafe Banana, gitu bilangnya. Jauh nggak, Mas?”

Mas Dika terlihat berpikir, terlihat seperti agak sangsi. “Lumayan dekat, sih. Tinggal ikuti jalan besar itu, ke selatan. Kafenya ada di kiri jalan.”

“Aku disuruh jemput, nih, Mas. Bisa pinjam motor?”

“Boleh. Bawa saja,” Mas Dika menyerahkan kunci motornya.

“Sekalian perlu angin segar sebentar. Baca diary Dimas bisa bikin aku pikun. Dalam dua jam aku membaca cerita dia berbulan-bulan di sini,” celetukku.

Mas Dika menertawaiku. “Kamu jemput saja sebentar, aku masih di sini sampai nanti jam setengah sepuluh. Santai saja.”

Sorry, Mas, takutnya pacarnya Dimas itu ketularan Dimas. Tiba-tiba ngilang tanpa pamit. Soalnya tadi dia juga habis ngambeg, gara-gara nggak kupinjami diary-nya Dimas. Ngerepotin!” aku menggerutu, sambil meninggalkan beranda. “Aku pamit sebentar, ya, Mas.”

Mas Dika cuma mengangguk dan tersenyum santai.

Aku melaju dengan motor, menyusur jalan raya yang padat. Suara bising kendaraan sesekali berbaur dengan gema musik dari kafe dan sanggar. Musik jazz yang sejuk, lalu gamelan Bali yang renyah, lalu techno yang mendentum, bergantian dan beberapa detik saja terdengar. Lalu lenyap tertinggal di belakang. Fade out.

Kutemukan pertunjukan wayang yang tadi disinggung Fandy. Pertunjukan itu ada di sebuah lapangan kecil, tak begitu jelas itu di lingkungan kafe atau apa, yang pasti cukup ramai penontonnya, dan area parkirnya cukup mudah kutemukan. Motor kubawa masuk ke lahan parkir yang dikelola cukup profesional, dilengkapi pos dan beberapa satpam. Aku sempat berbaur ke kerumunan penonton, karena tertarik melihat wayang Bali yang moncongnya bisa bergerak saat bicara. Lucu, meskipun nggak paham bahasanya. Beberapa menit saja aku menonton wayang, lalu segera melanjutkan mencari kafe yang dimaksudkan Fandy.

Rupanya pertunjukan wayang tadi adalah tempat lain. Maksudku, Kafe Banana tempat Fandy makan berada di lokasi yang berbeda, terletak di deret sesudah lokasi wayang tadi. Kulihat kafe bercat dominan warna kuning, berdinding semi-etalase, penerangan bagian dalam terlihat agak remang sedangkan bagian luar terang-benderang. Yang bikin merinding, neon box kafe di depanku ini berlogo pisang besar dengan bentuk melengkung ke atas, dan warnanya bukan kuning tetapi merah. Fandy ternyata juga kurang ajar, dia bilang nama kafe ini ‘Kafe Banana’, padahal lebih lengkapnya nama kafe ini adalah ‘Red Banana’! Dan gambar itu sebenarnya lebih mirip sosis daripada pisang!

Aku ragu untuk masuk. Tapi sial, nggak ada sinyal di HP-ku! Aku nggak bisa hubungi Fandy untuk minta dia keluar. Benar-benar aneh, seolah aku memang ditakdirkan untuk masuk ke kafe ‘menyeramkan’ ini. Pacar Dimas itu benar-benar sialan!

Bagian dalam kafe cukup luas juga ternyata. Ada live music dengan lagu-lagu yang terdengar ngantuk. Untungnya, dengan penerangan yang agak remang ini aku masih bisa menemukan posisi pacar Dimas itu. Dia sedang duduk menghadapi salah satu meja, bersama dua cowok bule. Nah, kayaknya mulai ganjen lagi dia? Dasar gatel!

Nggak pakai duduk dan basa-basi, kusenggol pundak Fandy. Dia menoleh ke belakang padaku.

“Oh, sudah datang, tho?” dia merespon sok lugu.

He’s your wife?” salah satu dari bule itu, yang badannya gempal, melontarkan kalimat yang potensial untuk kujadikan alasan menimpuknya. Tapi aku nggak mau ribut di tempat yang memang sudah aneh ini.

“Mas Dika sudah nungguin!” tukasku ke Fandy.

“Oke,” dia menghabiskan juice-nya sambil cepat-cepat berdiri. Lalu meninggalkan meja, berpamitan kepada dua bule itu hanya dengan lambaian singkat. Mereka terkekeh, tak terdengar sopan.

“Sudah cipokan sama mereka?” sindirku, sembari melangkah menuju pintu keluar.

Sorry, mereka tak menarik dan bau!” balas Fandy, nadanya sedikit menggerutu.

“Aku hampir menonjok yang tambun itu!”

“Bagus. Dia memang nggak sopan,” Fandy berucap santai membalasku.

“Hei, mau ke mana lagi?” seruku, melihat dia malah nyelonong ke arah lain.

“Tunggu sebentar, aku ke toilet dulu!” sahutnya.

Dia benar-benar menguji kesabaranku! Kutunggu dia di luar. Di luar lebih nyaman daripada berjejal di dalam sana bersama… eh…? Kufokuskan penglihatanku, dan barulah kusadari bahwa sebagian besar pengunjung di dalam sana adalah laki-laki. Sebagian besar dari mereka adalah orang asing, dan… kulihat salah satu bule yang tadi ada di meja Fandy beranjak menuju ke toilet. Mengikuti Fandy?

Batinku tak enak. Itu mencurigakan! Aku sigap menuju ke dalam lagi, langsung menyusul ke toilet. Dan…

“Hei?!” seruku, sontak terkejut melihat bule itu sedang berusaha merebut dan menggeret tangan Fandy.

Fuck off…!” Fandy mengibaskan raihan lelaki bule itu.

Dukkkk…! Kutambah dengan tendangan ke perut bule kurang ajar itu! Lelaki gempal itu tersungkur menghantam dinding. Tanpa pikir lama lagi kutarik tangan Fandy, cepat-cepat membawanya keluar.

What the fuck…?!” bule yang satu lagi sudah berada di ambang pintu, menghardik dan menguarkan aroma alkohol yang pekat.

Catch that bitch, Karl!

Lelaki jangkung di muka pintu itu ancang-ancang menyergap kami setelah mendengar perintah kawannya. Tendanganku melayang lagi, tapi… shit, dia menangkap kakiku!

Nice try!” dia menyeringai dan tertawa.

Bukkk! Fandy menonjok mukanya! Si jangkung itu tak sampai jatuh, tapi pegangannya pada kakiku terlepas. Tak kusia-siakan kesempatan emasku untuk melayangkan tendangan kedua padanya. Kali ini tendanganku akurat, si jangkung itu terpelanting, jatuh!

Aku dan Fandy cepat-cepat kabur dari toilet. Tapi sial, teriakan bule-bule bajingan itu memancing kawan-kawan mereka! Pintu keluar bagian depan sudah dihadang, dari beberapa sudut mereka bergerak mau menyergap kami.

“Anjing…!” umpatku.

“Pintu samping!” Fandy berseru.

Kami menembus padatnya ruangan, menghempaskan meja-kursi, menerjang apapun dan siapapun yang menghalangi! Termasuk sosok besar yang tiba-tiba muncul menghadang di pintu samping… bruukkk, aku dan Fandy kompak menerjangnya! Kami bertiga tersungkur jatuh di luar pintu.

“Cepat!” seruku, sigap bangun seraya menanting Fandy, menariknya lari mencari gerbang keluar.

Kudapati gerbang samping terbuka lebar, pintu penyelamat kami! Di belakang kami hiruk-pikuk, beberapa orang masih mengejar. Aku lari lebih kencang bersama Fandy, mengambil arah secara spontan di sebuah gang yang kami temui.

“Mereka masih mengejar!” seru Fandy.

“Lari terus!”

Kami tak peduli menuju ke mana. Yang penting tak tertangkap oleh mereka, itu artinya harus terus lari sampai mereka berhenti mengejar kami.

Setelah sekitar lima menit kami berlari,

“Mereka sudah nyerah…,” lenguh Fandy, melambatkan larinya. Lalu dia berhenti, memegangi rusuk, terengah-engah.

Aku pun ikut menghentikan lariku, berhenti dan mengatur napas. “Lagian lu ngapain, sih, ke kafe homo seperti itu?! Kegatelan banget lu! Suka banget bikin repot!” akhirnya aku punya kesempatan memuntahkan emosiku.

“Kamu ikhlas nggak, sih, nolong aku?” dia balik menukas.

“Aku nggak ikhlas Dimas dapat pacar yang gampang gatel sama cowok lain kayak lu!”

“Aku sudah jadi mantan,” dia menggerutu sambil nggeloyor, jalan lagi sedikit sempoyongan.

“Tapi lu masih pingin balikan sama dia, kan? Tunjukin, dong, kalau lu memang layak balik sama dia!”

Dia balik badan, menghentikan langkah seraya menatapku dengan tampang melas. “Kalau kamu bisa bilang gitu, seharusnya kamu juga tunjukkan sikap support-mu!”

Jidatku langsung mengkerut. “Lho, jadi usahaku nolong kamu dari bule-bule brengsek tadi nggak dianggap, nih?”

Dia gelagapan. Tapi kemudian ngeyel lagi, “Harusnya kamu tak memonopoli diary Dimas! Seharusnya aku juga membacanya!”

Aku tertawa sinis, sambil melanjutkan langkahku menduluinya. “Aku telanjur baca semuanya. Kalau kubiarkan kamu baca juga, nanti kamu malah malu padaku. Hahaha!

“Dia ngomongin apa?” selidiknya, setengah menghardik. “Dia nulis apa saja di sana?!”

“Ada, deh….”

“Den?!”

“Kalau kuceritakan, nanti kamu malu!” tukasku enteng.

Buk! Aku dilempar mengkudu busuk.

Aku balik badan berkacak pinggang. “Salah satunya, dia menulis kalian masih virgin. Kamu pernah ngajak dia ML, tapi dia nggak mau. Nah, puas sekarang?!”

“Nggak mungkin! Dia yang suka ngajak, bukan aku!” bantahnya gelagapan. Tengsin!

“Kamu juga pernah ngajak, nggak usah ngeles!” tukasku, sambil melanjutkan langkah lagi. “Tapi aku juga nggak percaya, sih, kalau kalian sungguh-sungguh masih perjaka.”

Dia malah tertawa meledek. “Maksudmu, Dimas berbohong di diary-nya sendiri? Ngawur!”

“Maksudku, setidaknya kalian pasti sudah pernah petting, tidur bareng, mandi bareng, coli bareng, mungkin.”

What?! Wow, dugaan yang kasar, cabul, dan tak berdasar, tak kusangka itu keluar dari kepala orang yang sok beretika sepertimu!”

“Dasarku tulisan Dimas sendiri, kok.”

“Bohong!”

“Terserah. Sudah kubilang, kamu pasti malu kalau kuceritakan. Aku ngerti kalau kamu tengsin untuk ngaku,” timpalku dengan tawa puas. “Sekarang, lu boleh penasaran selamanya, aku nggak akan pernah pinjamkan diary Dimas! Aku telanjur kesal!”

Srrrkkkk! Dia menyerokkan kakinya ke tanah, melontarkan kerikil-kerikil padaku.

“Moga-moga karma menimpamu!” dia mulai menyumpahiku.

“Sudah tertebus malam ini juga, karena aku sudah nyelamatin kamu dari bule-bule brengsek itu! Aku kurang baik apa coba?” sahutku.

Dia kelihatannya sudah malas melanjutkan pertengkaran, karena pasti tahu dia nggak mungkin menang. Bermenit-menit kami tak bicara lagi. Cuma jalan, terus jalan, berharap jalan kampung ini bermuara ke jalan raya lagi; atau kami bisa bertemu penduduk setempat dan minta tolong agar menunjukkan jalan. Berulang kali aku sudah mencoba menggunakan HP-ku untuk menghubungi Mas Dika, tapi sinyal masih mampet! Fandy juga melakukan hal yang sama, dan sepertinya HP-nya juga mengalami masalah yang sama denganku. Huh, nasib apaan ini?!

Alih-alih bertemu jalan raya, jalan yang kami lalui malah semakin sepi. Tak terlihat pemukiman, yang tampak cuma kebun-kebun lebat di kanan-kiri. Serasa memasuki lorong besar yang gelap dan panjang. Kugunakan sorot layar HP yang tak seberapa terangnya sebagai senter darurat. Untunglah terbantu juga oleh langit yang kebetulan cerah. Cuma, aku bukan orang yang bisa membaca bintang sebagai pedoman arah. Inilah sekarang masalahnya!

“Kita tersesat,” cekatku, menghentikan langkah.

Di saat yang sama, tiba-tiba tengkukku merinding, seperti ada yang meniup di belakangku. Cepat-cepat aku menoleh ke belakang, dan…

“Fan, lu di mana…?!” aku berseru panik, saat menyadari bahwa ternyata Fandy sudah tak mengikuti di belakangku!

What…?!

Aku sendirian…?!!

Gkkkk… gkkk… gkkkk…. Terdengar suara burung dari balik pepohonan yang lebat, membuat jantungku makin berdesir-desir.

Fuck! Fan, lu di mana?!” kuperkeras suaraku, seraya menyusur mundur lagi, terpaksa!

Tersandung-sandung langkahku, kehilangan ritme saking bingung! Akhirnya kutemukan dia, di tengah keremangan kulihat sosoknya sedang duduk di sudut tikungan.

“Lu ngapain malah bengong di situ?!” tukasku menahan jengkel, seraya menghampirinya. Saat tiba di hadapannya, aku terkesiap melihat wajahnya yang pucat. Kuguncangkan bahunya, “Lu kenapa, sih?”

Dia diam, bibirnya bergerak-gerak kaku tapi tak berucap. Kondisinya terlihat benar-benar shock! Mampuslah aku, benar-benar celaka…! Hatiku tak pernah seciut ini, sumpah!

“Fan?” kupertajam suaraku, kugoyang-goyangkan pipinya. “Lu jangan nakut-nakutin! Lu kenapa?!”

“Kamu nggak lihat…?” dia balik bertanya, dengan mata nanar padaku.

“Lihat apa?!”

Dia terbata-bata, “Ya sudah, lebih baik kamu nggak lihat…”

“Lu ngomong apa, sih?”

“Dia tadi tiba-tiba ada di depanku. Makanya aku berhenti di sini. Lalu dia mengikutimu….”

 
celuluk
 

Tengkukku kembali meremang. “Yang kamu bicarakan ini apa?” tukasku bingung campur cemas. “Hantu?!”

Perlahan dia tersenyum, kaku, dingin.

Antara takut, kesal dan bingung, aku ingin mengumpat sejadi-jadinya! Ingin menyalahkan Fandy, awal dari masalah ini, tapi nggak akan bikin masalah jadi selesai juga.

“Kita balik saja,” ucapnya pelan.

Aku menggeleng. “Mereka pasti masih siaga di sana, nungguin kita balik. Kita cari rumah terdekat saja, kita tanya cara untuk balik ke jalan raya lewat arah yang lain.”

“Aku tak ingat ada rumah yang kita lewati. Kalaupun ada, agak jauh di belakang sana, saat belum jauh dari kafe tadi.”

“Kalau begitu kita terus,” tandasku, “nggak mungkin jalan ini dibangun tapi tak menghubungkan ke pemukiman. Pasti ada rumah yang bisa kita temui.”

Ggkkk… ggkk.. ggkkkk….

“Anjrit! Itu burung apaan, sih?!” seruku, emosi mendengar suara menggidikkan itu lagi!

Fandy mengulurkan tangannya padaku, minta ditanting untuk berdiri. Huh…! Aku punya dosa apa, sih, ke Dimas? Sampai-sampai harus semenderita ini mengurusi masalahnya? Mengurusi pacarnya pula?!

“Itu bukan suara burung,” Fandy berucap, sambil berdiri dengan bantuanku. “Itu suara makhluk itu….”

“Udah diam! Aku nggak percaya hantu!” gertakku.

“Bohong,” balasnya. Mukanya masih pucat, tapi kali ini dia bisa tertawa pelan.

Kutabok punggungnya, kutandaskan, “Apapun yang terjadi, jangan diam-diam ninggalin aku lagi! Pokoknya terus jalan!”

Kami menyusur lagi, mengandalkan langit yang terang untuk melihat di antara keremangan. Dalam hati aku berharap, dan berdoa, semoga yang kutandaskan tadi benar, kami akan bertemu penduduk sekitar. Agar kami bisa bertanya, dan mungkin juga bisa minta segelas air… haus sekali rasanya setelah berlarian.

Setelah beberapa puluh meter berjalan, kulihat di depan sebelah kiri sepertinya ada semacam pagar bangunan. Tapi gelap sekali, tak terlihat ada lampu atau penerangan yang menyala.

“Apakah ada penghuni di sana? Semoga ada,” bisikku, membesarkan harapanku sendiri.

Semakin dekat, aku pun ternganga…. Di balik pagar itu, berdiri pohon besar di tengah pekarangan, tapi tak terlihat ada bangunan rumah di sekitarnya. Yang ada adalah… gundukan-gundukan dengan tiang-tiang pendek tertancap di atasnya…. Langkahku benar-benar terhenti tanpa bisa kuayunkan lagi. Aku tercekat, hanya bisa diam nanar menatap pemandangan di tengah keremangan itu. Darah di wajahku rasanya seperti terhisap, wajahku terasa beku….

“Den…,” tangan Fandy menggapai pundakku, suaranya gemetar dan dingin, “ini kuburan….”

“Kuburan?! Shit…!” cekatku, antara percaya dan tidak. “Bukankah di sini biasanya dibakar?”

“Mereka menguburnya dulu, sampai beberapa tahun…”

“Oke, oke, apapun itu, kita terus! Jalan terus!” tegasku bercampur gugup, melanjutkan langkah sambil menggamit tangan Fandy erat-erat agar dia tak tertinggal lagi. Gigiku gemerutuk, menahan kesal setengah mati karena harus menemui pengalaman konyol seperti ini! Rentang langkahku kuperpanjang dan kupercepat, agar dapat cepat berlalu dari pemandangan seram di balik pagar itu.

Gggkkk… ggkkkk… ggkkk… ggggkkkk…! Glaagg… glaagggglaglagagagaga…! Suara seram itu tiba-tiba mengeras dan mendekat dari arah belakangku…!

“Den!” Fandy setengah berteriak, tangannya terlepas dariku dan dia tiba-tiba sempoyongan sambil memegangi tengkuknya….

“Fan, kenapa?!” seruku panik. Kupegangi tubuhnya, yang hampir terpelanting seolah ada yang menghempasnya. Dia terjongkok, merintih sambil terus memegangi tengkuknya.

“Sakit sekali, berat sekali, Den…,” rintihnya.

Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi naluriku berkata harus pergi dari sini secepatnya! Meski harus memapah Fandy sekalipun, harus! “Masih bisa jalan, kan? Ayo!” aku menantingnya.

“Dia menyerangku,” rintihnya.

“Nggak usah banyak bicara, pokoknya tahan, harus tahan! Kita jalan balik saja!”

Menghadapi keadaan yang berubah menakutkan ini, lebih baik mengambil jalan untuk berbalik saja. Lebih baik menghadapi bule-bule brengsek di kafe itu, daripada setan-setan pengecut yang menyerang tanpa menampakkan diri… di tempat angker sialan ini!

Gglaakkkglaglagalagagagaga… ggkkk… ggkkkk…! Suara itu menggema lagi di belakang kami.

“Pergi lu, setan pengecut!” hardikku keras-keras.

Tiba-tiba Fandy tersungkur, lepas dan terjatuh dari papahanku.

“Fan, ayo, dong… lu harus kuat! Ayo bangun!” kuguncang tubuhnya, dan mencoba mengangkatnya untuk berdiri lagi. Tapi…, ya Tuhan…, kali ini dia benar-benar tak sadar lagi…. Pingsan.

Aku terduduk, lesu, menghadapi Fandy yang sudah tak bisa bertahan lagi. Aku masih sulit percaya ini benar-benar kualami. Ini mimpi buruk. Sangat buruk! Kukepal tanganku, menghantam tanah keras-keras, mengumpat dan mengutuk! Sampai tenagaku luluh, terkuras sia-sia.

Aku tak tahu harus apa lagi. Buntu. Sedangkan suara itu masih terus berkeliaran dengan gemanya, seperti mengolokku. Pikiranku gelap…!

Tapi kemudian aku ingat, aku masih bisa melakukan satu hal: mengucap doa. Kuucapkan dalam hati, berperang dalam batin melawan suara astral yang terus berderai di belakangku. Suara itu kian keras, seperti ingin memakan kewarasanku. Aku tak mau menyerah!

Perlahan, suara itu mulai menjauh…. Akhirnya tak kudengar lagi suara astral itu. Yang sekarang kudengar adalah suara menyapa, suara orang dengan bahasa yang aku tak paham. Aku menoleh. Kulihat dua orang, yang satu berbaju dan berikat kepala putih, yang satu lagi berpakaian warna gelap. Mereka berjalan dari arah makam, menghampiriku…. Terima kasih, Tuhan…. Dadaku tak pernah merasa selega ini!

“Tolong, kami tersesat, dan teman saya pingsan…,” seruku terengah-engah.

Mereka langsung bergegas, setengah berlari.

“Dia kenapa?” tanya pria berbaju gelap.

Aku menggeleng, sulit menjelaskannya. “Ada yang mengganggu kami,” itu saja yang sanggup kujelaskan, dengan perasaan bergidik.

Pria berbaju putih, yang sudah agak tua, menggumam dengan bahasa yang tak kumengerti. Temannya yang lebih muda manggut-manggut, tampak mengerti, lalu segera membantu menopang tubuh Fandy. Aku juga ikut membantu.

“Kita bawa temanmu ke Pura. Kita rawat di sana,” kata pria berbaju gelap, yang lebih muda itu.

Aku menurut saja. Fandy, yang tak sadarkan diri, digendong oleh ‘mas’ yang kebetulan berpostur besar tegap. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan, diam dan tegang, melangkah dengan terburu. Kami melewati kuburan itu lagi. Degup jantungku masih kencang, hatiku masih waswas, tapi setidaknya tidak separah tadi. Kupercayakan saja kejadian ini pada pria-pria tak kukenal itu, aku yakin mereka benar-benar bermaksud menolong, bagiku tak ada tindakan yang lebih masuk akal dari ini.

Ternyata, hanya sekitar tiga puluh meter dari makam tadi ada sebuah cabang jalan di sebelah kiri. Kami berbelok. Deretan pohon yang rimbun masih di kanan-kiri jalan, tapi samar-samar mulai kulihat sinar lampu sekitar dua puluh meter di depan. Semakin dekat, semakin tampak tujuan kami… seperti kata mas berbaju gelap tadi, sebuah pura, kelihatannya.

“Ini pura mana, Pak?” tanyaku, ketika memasuki gerbang.

“Pura Dalem Pemuputan,” jawab pria berbaju putih, agak dingin.

Mereka membawa dan meletakkan Fandy di bale. Mas berbaju gelap mengatur dan menopang agar Fandy dalam posisi duduk, sedangkan pria yang berbaju putih diam seperti tengah mengatur konsentrasi. Aku tak berani ikut campur ataupun bertanya-tanya, cuma duduk dan melihat saja, menyaksikan wajah-wajah yang tegang dan dingin itu tengah berbuat sesuatu untuk mengobati Fandy. Pak tua berbaju putih duduk bersila di belakang Fandy, membuat gerakan-gerakan tangan seperti layaknya orang sedang mempraktekkan ilmu tenaga dalam. Semua tanpa suara, hanya suara burung yang terdengar dari arah pepohonan di luar pura. Kali ini aku yakin itu benar-benar suara burung, bukan makhluk lain. Tapi tetap saja terasa mencekam!

Hanya beberapa menit saja, pak tua berbaju putih itu sepertinya sudah selesai mengeksekusi ilmunya. Kulihat tubuh Fandy seperti melunglai, kudengar dia menggumam tak jelas. Mas berbaju gelap yang sedari tadi menopang, perlahan membaringkan Fandy ke lantai bale. Pacar Dimas itu sedikit menggeliat, menumpangkan tangannya menutupi muka. Pertanda siuman. Aku lega. Lega sekali!

“Sudah bersih,” ucap pria berbaju putih.

“Apakah dia tadi… semacam kerasukan…?” kuberanikan diri bertanya. Diam-diam juga menahan miris, membayangkan ini benar-benar kejadian mistis.

“Hampir.”

Keningku mengerut. “Hampir?”

Pria tua yang sedari tadi wajahnya tampak dingin, kali ini sedikit tersenyum padaku. “Ada kekuatan kotor yang mengganggu, tapi hanya menempel, tak sampai masuk,” jelasnya.

Kucerna penjelasan itu baik-baik. Aku merinding sendiri. “Ada alasan kenapa dia yang diserang, Pak? Kenapa saya tidak?” pertanyaanku terlontar, dengan mulut agak gagu.

Lelaki tua itu cuma tersenyum lagi. Tak memberiku jawaban. Dia cuma mendongak sesaat ke langit, lalu berucap sesuatu ke mas berbaju gelap, yang bahasanya lagi-lagi tak kupahami. Pak tua sakti itu turun dari bale, meninggalkan kami bertiga. Dia melangkah memasuki gerbang lainnya, ke bagian yang lebih dalam, mungkin bangunan utama.

Adi datang dari mana?” mas berbaju gelap menanyaiku. Nadanya santun dan santai, setelah menit-menit yang menegangkan tadi.

“Ohh… saya dari Badung. Maksud saya, di Badung sedang mengunjungi saudara. Saya dan teman saya ini dari Jawa,” jelasku.

Dia tersenyum datar. “Sepertinya tersesat kemari?”

Dengan malu aku mengangguk pelan. Aku enggan menjelaskan soal kejadian di kafe. Memalukan untuk diceritakan.

“Sebelum tersesat kemari, sepertinya sudah ada masalah?” dia memperjelas penyelidikannya, dengan sebuah dugaan yang jitu!

“Iya,” dengan berat aku mengangguk. Tak mau berkutat di permasalahan itu, cepat-cepat kualihkan dengan bertanya, “Ini berada di daerah mana, Mas?”

“Ini desa Pemuputan. Kami menjaga Pura Dalem di sini. Bapak tadi Ida Mangku Sakti, guru saya. Beliau harus buru-buru ke dalam, karena sudah kebiasaan beliau melakukan samadhi tiap menjelang tengah malam. Nama saya Bagus Sumantra. Adi siapa?”

Kusambut uluran tangannya, berjabatan. “Nama saya Denis. Dia Fandy.”

Mas yang mengaku bernama Bagus ‘Siapa Tadi’ manggut-manggut, mengamati Fandy yang rebah pulas. Aku ikut mengamati keadaan Fandy. Pacar Dimas itu, setelah tadi siuman, sekarang sudah ‘bablas’ lagi. Tapi kali ini dia terlihat tenang, seperti orang tidur, tak seperti orang kesambet.

“Sebenarnya apa yang terjadi padanya, Mas?” aku bertanya lagi pertanyaan yang tadi belum dijawab secara jelas oleh ‘Bapak Sakti Berbaju Putih’.

“Ibaratnya, dia ini seperti magnet,” gumam Mas Bagus, menjelaskan sesuatu yang masih saja membingungkan.

“Magnet? Maksudnya?”

“Tadi saat masih trance, auranya berwarna merah. Tapi sekarang sudah jernih. Aura utamanya terlihat biru… agak ungu.”

Aku mengernyit, mencerna maksudnya. “Aura?”

Mas Bagus mengangguk tanpa mengalihkan pengamatannya pada Fandy. “Menurut karakter auranya, dia memiliki bakat supranatural.”

“Supranatural? Biru agak ungu?” aku mengulik. Dengan agak sangsi sekaligus merinding, aku menebak, “Indigo…?”

Mas Bagus tersenyum padaku. “Bukan. Yang ini lebih jarang. Biasanya yang seperti ini disebut Lavender.”

“Lavender?” aku terkesima.

“Ada orang yang berjiwa seni, ada yang tidak. Indigo adalah karakter supranatural, tapi tidak serta merta memiliki jiwa seni. Lavender, adalah aura yang terpancar ketika seseorang menjadi pertemuan bagi dua karakter: jiwa seni, dan supranatural. Orang dengan aura Lavender memiliki bakat supranatural layaknya orang Indigo, tapi dia lebih imajinatif, lebih kreatif, dan… kadang-kadang sisi buruknya adalah tampak seperti, maaf, orang dengan kewarasan yang tidak normal.”

Aku termangu mendengar penjelasan Mas Bagus yang terdengar tidak masuk akal, terdengar antah-barantah. “Kewarasan yang tidak normal, maksudnya ‘gila’?” aku mengklarifikasi.

“Karena dia memiliki bakat melihat alam lain, makhluk-makhluk dari alam lain, kadang kita menganggap orang seperti itu ‘gila’,” jelas Mas Bagus, terdengar agak sungkan ketika mengucap kata ‘gila’.

Perlahan-lahan aku mulai memahaminya. Kuingat-ingat lagi apa saja yang kadang kuanggap aneh soal Fandy; saat keluar dari stasiun Banyuwangi, tengah malam, dia berceletuk bahwa daerah itu penuh hantu; di rumah Mas Awan, dia juga berceletuk bahwa tempat itu mistis; merujuk yang ditulis Dimas di diary-nya, Fandy juga beberapa kali bicara tentang hantu; aku sendiri juga pernah mendengar cerita dari Fandy, bahwa dia pernah tersesat di sebuah candi di gunung Lawu, dan bertemu sesuatu yang mistis di sana; dan yang paling baru adalah, kejadian malam ini…

Lagi-lagi aku bergidik. “Apakah itu juga alasannya dia diganggu oleh makhluk ‘lain’ itu, sedangkan saya tidak?” selidikku, setengah membuat kesimpulan.

Mas Bagus mengiyakan. “Seperti yang saya umpamakan, teman Adi ini seperti magnet bagi dimensi yang tidak kasat mata. Auranya mudah menarik hal-hal astral padanya. Tapi makhluk tadi tidak sampai merasuki, karena teman Adi melawan, perlawanannya membuat auranya sempat berubah menjadi merah. Hanya saja, energi negatif makhluk itu telanjur menempel. Itu yang tadi kita bersihkan.”

Sesaat sunyi. Aku termenung mencerna cerita Mas Bagus. Sayup-sayup, aku kembali mendengar suara tawa menakutkan itu di kejauhan, menggema menembus keheningan malam. Tengkukku merinding. Darahku seperti mau membeku tiap kali mendengar suara itu….

“Sebenarnya, makhluk apa itu…?” tanyaku, setengah tercekat di kerongkongan.

“Kami menyebutnya Celuluk. Sebangsa roh jahat yang suka menjahili orang. Biasanya menghadang di tempat-tempat sepi. Tapi sebetulnya itu termasuk mudah diatasi, kadang digertak saja dia lari. Dia cuma ingin menakut-nakuti saja.”

“Tapi nyatanya dia sudah bikin teman saya celaka, Mas?”

Mas Bagus kembali mengamati Fandy yang tertidur. “Teman Adi ini memang tidak dalam kondisi kuat. Batinnya sedang menyimpan banyak masalah, dan menanggungnya sendirian. Dalam keadaan seperti itu, secara supranatural dia seperti benteng yang rapuh; auranya menarik energi-energi astral yang kadang tak selalu positif, menyelamatkan orang-orang di sekitarnya, tapi mencelakai dirinya sendiri.”

Aku termangu mendengar kata-kata Mas Bagus. Terlebih pada kata-kata, “…dia menyelamatkan orang-orang di sekitarnya, tapi mencelakai dirinya sendiri; dia menanggungnya sendirian….” Kata-kata itu membuatku terpekur lama, seraya memandangi Fandy yang sekarang pulas, terlihat tenang. Damai.

“Tapi auranya tidak terlalu pekat. Warnanya terlihat muda,” Mas Bagus kembali berkata, sambil menggerakkan tangannya seolah sedang meraba udara di sekitar Fandy. “Sepertinya warna kuning sering bercampur dengannya, selain warna merah. Artinya, dengan bakat seni dan supranatural yang dia miliki, dia tetap atau sedang belajar bersikap realistis, dan periang. Kepribadian yang menarik.”

Lalu Mas Bagus beralih menatapku.

Adi dekat dengannya?” dia bertanya.

Aku terkesiap. Gugup. “Eemmh, ya, akhir-akhir ini saja, Mas. Kan, kami kemari berdua.”

“Soalnya aura Adi lebih dominan merah, indikasi terlalu mudah emosi, berwatak keras dan tak suka diatur orang lain,” tunjuk Mas Bagus padaku, seraya tertawa singkat. “Pergaulan dapat berpengaruh pada perubahan aura seseorang. Kalau teori psikologisnya, pergaulan mempengaruhi karakter. Yang minder bisa jadi percaya diri, yang penakut bisa jadi pemberani, baik bisa jadi nakal, dan sebagainya.”

Aku manggut-manggut. Tapi, kurasa Dimas-lah yang lebih banyak mempengaruhi Fandy, dibanding aku. Fandy yang sekarang lebih keras kepala dan lebih nyebelin dibanding yang dulu, pasti karena dia pacaran sama Dimas. Dimas jadi suka beli buku sastra, suka menulis cerita, dan… lebih berani ngomongin hantu, pasti karena dia pacaran sama Fandy. Dan, sekarang aku mulai paham juga, sepertinya bukan kebetulan dan bukan lebay kalau Dimas sering menyebut Fandy mirip peri. Si Unyu itu ternyata memang ‘makhluk setengah-astral’.

Makhluk Setengah-Astral yang menyimpan beban, dan hampir tak ada orang mau mengerti bebannya….

Sejenak saja, dan aku tak pernah merasa begini sebelumnya, aku bisa merasa ikut lega saat melihat dia tertidur sepulas itu. Aku tak pernah memperhatikan dia tidur, tak pernah peduli dia mau apa selama tak menyusahkan aku. Ya, aku tak pernah peduli. Tapi sekarang, aku senang melihatnya bisa beristirahat. Aku tenang.

Aku berganti mengamati Mas Bagus sejenak, orang yang seolah-olah dapat mengetahui sesuatu sebelum diceritakan. Dia seperti tak butuh mengejarku untuk membuatku mengaku, dia hanya cukup membaca. Aku jadi segan. Juga merasa malu seandainya dia benar-benar bisa membaca semua masalahku, dan masalah Fandy. Di samping itu, yang pasti dia telah berhasil membuatku lebih paham dan percaya pada teorinya soal aura. Beberapa analisanya memang tepat. Dan, yang terutama, dia sudah menolong kami berdua.

“Mas, maaf, baru sekarang aku ingat kalau aku belum bilang terima kasih,” ucapku dengan segan. “Terima kasih, ya, Mas, sudah menolong kami….”

Aku menjabat tangannya lagi.

“Istirahat saja dulu di sini, teman Adi masih perlu memulihkan tenaganya. Tunggu saja sampai dia bangun sendiri, jangan dibangunkan, nanti bisa down lagi,” Mas Bagus menasihatiku.

Itu berita yang tak terlalu baik, karena seharusnya kami berdua cepat-cepat pulang ke Nagari. Kami sudah merepotkan Mas Dika. Seharusnya aku bisa memberi tahu bahwa ada kejadian ini. Tapi sinyal di HP-ku sedari tadi masih kosong. Sedangkan waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Mas Dika pasti sudah kesal sekali menunggu kami. Benar-benar malam celaka!

Eh, tunggu, kenapa cuma HP-ku yang kupikirkan? Bagaimana dengan HP-nya Fandy? Oh! Nekat, kurogoh kantong celana Fandy, mengambil HP miliknya. Kulihat sinyalnya.

“Ah, thanks God!” aku setengah berseru, melihat ada sinyal di HP Fandy! Tolol sekali aku, kenapa baru sekarang?!

Meskipun sinyal di HP Fandy cuma satu bar, setidaknya bisa diharapkan dan harus dicoba. Cepat-cepat kuhubungi nomor Mas Dika lewat HP Fandy. Nah, tersambung!

“Halo?”

“Mas, ini aku Denis!” sapaku sedikit nervous.

“Kamu ke mana saja?” suara Mas Dika terdengar agak cemas, campur kesal.

“Maaf, Mas, ada kejadian yang nggak terduga…”

“Ada apa?”

Aku gugup, “Emmh, anu… mungkin sebaiknya, maaf, Mas Dika bisa jemput aku? Aku sama Fandy tersesat…”

“Tersesat?”

“Iya, tapi aku sudah bersama penduduk sekitar sini, aku istirahat di pura.” Lalu aku melirik Mas Bagus, bertanya nama pura ini lagi. Mas Bagus memberi tahu, kusampaikan langsung ke Mas Dika, “Aku di desa Pemuputan, istirahat di Pura Dalem…”

“Pura Dalem? Sebetulnya ada kejadian apa?”

Aku bingung harus menjelaskan sekarang atau tidak.

“Pura Dalem dekat setra?” Mas Dika menyambung lagi, kedengaran agak panik.

“Dekat apa, Mas?” kebingunganku tambah bercabang.

“Setra? Kuburan?”

Aku ternganga. “Iya, dekat makam…. Jadi Mas Dika tahu tempat ini, kan?”

“Tadi namanya desa apa?”

“Pemuputan, jalan masuknya dari sebelah Kafe ‘Red Banana’, ada jalan di situ. Kami tadi lewat situ, sampai tersesat di sini,” jelasku.

“Motornya masih kamu bawa?”

“Motornya… aku titipin di tempat parkir dekat pertunjukan wayang, di sebelah kafe, Mas,” jelasku susah-payah. “Maaf, Mas, aku sulit jelasin lewat telepon. Ceritanya… agak panjang.”

“Ya sudah, aku ke situ.” Lalu Mas Dika langsung menutup telepon.

Benar, didengar dari suaranya, Mas Dika kesal sekali. Hmmh. Aku siap dimarahi. Siapa yang sengaja cari-cari kejadian seperti ini? Kalau Mas Dika marah, aku akan dengarkan.

Mas Bagus sempat meninggalkanku di bale, aku cuma ditemani Fandy yang lagi menjelajahi alam mimpi. Tapi untunglah tidak lama, beberapa menit kemudian Mas Bagus sudah kembali lagi. Rupanya dia membawakan kopi untukku.

“Wah, makasih, Mas,” ucapku, sambil menyesap sedikit kopi yang disuguhkan untukku. Aku lantas bertanya, “Di sini jauh dari pemukiman warga, ya, Mas?”

“Tidak terlalu jauh, tapi rumah di sekitar sini memang jarang. Jika lewat jalan tadi terus, bisa bertemu pemukiman yang lebih padat, mendekati jalan raya.”

“Oh, jadi, kalau tidak berbelok kemari, maka akan tembus ke jalan raya lagi?”

Mas Bagus mengiyakan. Jadi memang betul feeling-ku, seharusnya aku dan Fandy bisa bertemu jalan raya lagi dengan terus menyusur jalan itu. Tapi jadi terhambat gara-gara setan sialan! Sekarang beginilah jadinya, merepotkan Mas Dika!

“Berhubung ini daerah setra, pemakaman, jadi rumah-rumah warga tidak mendekat kemari,” tambah Mas Bagus.

“Tapi malah ada pura di sini?”

“Iya, yang namanya Pura Dalem, pasti berada di sekitar makam. Fungsinya untuk mengurusi hal-hal yang menyangkut soal pemakaman. Semua banjar atau desa di Bali seperti itu, kurang-lebih.”

Aww, menyeramkan. Intinya, ini tak jauh beda beristirahat di rumah dinas juru kunci kuburan. Andai HP-ku tidak blank, pingin banget ngetik status di Facebook: “Malam ini menginap di kuburan. Masih dalam rangka mencari Dimas. Laporan selesai!” Atau kukirimkan saja SMS ke Papa, biar dia shock!

Untung, Mas Bagus tuan rumah yang bisa diajak ngobrol enak. Orangnya santai, ya, orang sakti yang santai. Ini mengurangi suasana seram yang kurasakan di tempat ini. Dan, ngomong-ngomong, aku sudah nggak dengar lagi suara makhluk gaib itu.

Setengah jam kemudian, Mas Dika datang bersama Durus. Dia mengucap salam di gerbang pura, Mas Bagus segera turun dari bale untuk menyambutnya. Mereka sempat bercakap-cakap, entah sekadar beramah-tamah atau apa, dengan bahasa yang aku tak paham. Bahasa Bali.

“Jalan kaki, Mas?” aku menyapa dengan sungkan, sekaligus agak tercengang.

“Tidak, mobil diparkir di depan sana,” jawab Mas Dika. “Fandy di mana?”

Aku menunjuk ke bale, tempat Fandy tidur. Lalu kami sama-sama menghampirinya, duduk bersama di bale, melihat kondisi Fandy.

“Ada kejadian apa, Bli?” Durus lebih dulu melontarkan pertanyaannya. Sedangkan Mas Dika tampak tenang meski rautnya serius

Aku menjelaskan ke semuanya. “Ada insiden di kafe, Mas. Ada orang-orang asing yang reseh waktu aku menjemput Fandy, mereka sudah mengarah mengganggu secara fisik. Singkatnya, kami terlibat perkelahian. Aku dan Fandy cuma membela diri. Tapi teman-teman mereka lalu ikut-ikutan, jadi… kami kabur, tanpa sempat berpikir matang ke mana kami lari. Kami tiba di sini.”

Sejenak semua diam. Mas Dika yang lebih dulu berkomentar, “Seharusnya dia memang tak ke sana sendirian. Kalian juga kelihatan masih umur belasan, pantas jadi sasaran.” Mas Dika berkomentar seolah dia sudah paham dan tak heran dengan insiden yang kami alami di kafe itu.

“Telanjur. Kalau saja dia pamit mau ke mana, tahu mau ke situ, pasti kami cegah,” Durus ikut berkomentar.

“Dia terlalu sembrono,” tambah Mas Dika.

“Aku yang salah, Mas,” ucapku. “Aku. Bukan dia.”

Mereka memandangiku.

“Dia pergi karena kesal padaku.”

Lalu kami semua terdiam.

Mas Bagus yang pertama kali kembali bicara. “Sebetulnya, kejadian seperti ini bukan cuma sekali terjadi di sini. Pernah beberapa kali,” ujarnya.

Mas Bagus yang menjelaskan ke semuanya, tentang kejadian yang menimpa Fandy. Dia bicara bahwa, intinya, tempat ini memang angker. Mas Bagus dan Gurunya keluar dari pura, karena mendengar suaraku saat melawan setan itu, dan Fandy sudah pingsan saat mereka tiba.

Baik Mas Dika maupun Durus tak terlihat mempunyai sesuatu untuk membantah. Mereka percaya. Seolah-olah mereka menganggap bahwa kejadian seperti ini memang sering terjadi di sini, di Bali, pulau yang angker ini.

Di tengah pembicaraan, Fandy tampak siuman. Dia menggeliatkan tangannya. Matanya terbuka, memicing. Kami semua membiarkan dia beberapa saat, sampai dia sendiri yang membuka suara.

“Ini ada di mana?” suaranya pelan.

“Tempat yang aman. Tenang saja, Bli,” sahut Durus sambil menepuk-nepuk kaki Fandy.

Pacar Dimas itu bangun, mendudukkan dirinya, bersedekap dengan muka masih bingung. Kami biarkan dia mengumpulkan ingatannya sendiri. Mas Bagus memberinya air putih.

“Sekarang gimana rasanya?” aku bertanya, setelah beberapa menit dia terpekur.

Dia tersenyum sayu. “Badanku rasanya letih sekali.”

“Sudah ingat, tadi kita kenapa?”

Dia mengangguk pelan.

“Oke. Semuanya sudah beres, kok. Setannya sudah pergi,” ucapku, menepuk-nepuk punggungnya.

“Sebaiknya istirahat di rumah saja, di Mumbul,” sahut Mas Dika. “Biar lebih pulas, besok bisa sehat lagi.”

Fandy mengangguk.

Akhirnya, kami tak berlama-lama lagi di sini. Kami berpamitan ke Mas Bagus, juga sekalian menitipkan pamit kami kepada Gurunya yang tak bisa diganggu. Kami berterima kasih atas pertolongan mereka, atas kebaikan mereka. Mas Bagus yang berbadan kokoh laksana pendekar itu mengantar kami, sampai ke mobil yang diparkir di ujung pertigaan. Kami berpisah.

Perasaan lega begitu melonggarkan dadaku. Rasanya seperti meningalkan kamp pengungsian, karena keluarga telah datang menjemput. Di dalam mobil, akhirnya aku bisa menyandarkan dudukku dengan empuk, setelah pengalaman luar biasa yang terjadi secara tiba-tiba malam ini. Kulihat di luar jendela, pohon-pohon pekat itu berkurang, rumah-rumah muncul sedikit demi sedikit, memadat… hingga kami tiba di jalan raya, meninggalkan jalan desa yang sempit dan sepi di belakang. Sekarang kembali kulihat cahaya-cahaya kota yang bergemerlap menyoroti malam. Hmmmhh…. Akhirnya.

Tiyang dengar sudah lama, setra Pemuputan itu memang angker. Banyak celuluk di sana,” Durus angkat bicara, setelah kami sudah meninggalkan desa itu.

“Mana ada kuburan yang nggak angker?” celetukku.

“Di sini beda, Bli. Di Badung, kuburan bisa dibuat lomba.”

“Lomba?”

“Ya. Tiap tahun ada lomba setra paling bersih. Betul.”

Lomba Kuburan Paling Bersih? Ada-ada saja!

“Kalau lomba setra paling angker, Setra Pemuputan bisa menang, lah. Tapi kalau lomba angker-angkeran, mana ada yang mau jadi juri?” Durus berkicau sambil tertawa sendiri.

Kami berhenti sebentar di lokasi pertunjukan wayang. Mas Dika menyuruh Durus mengambil motor yang kutitipkan di tempat parkir. Kuberikan kunci dan kartu parkir ke Durus. Durus mengambil motor itu tanpa masalah. Selanjutnya, Durus mengendarai motor milik Mas Dika itu. Karyawan gendut itu akan membawanya pulang ke Nagari. Sedangkan aku, Fandy dan Mas Dika akan pulang ke Mumbul.

Sempat kutengok ke belakang, ke arah kafe berlogo pisang warna merah yang menjadi awal masalah kami. Ingin lihat saja. Cukup, selanjutnya lupakan.

Tiba di rumah Mas Dika di Mumbul, kami bertiga tak banyak saling bicara. Mas Dika mengerti kami sudah sangat lelah malam ini. “Cepat tidur saja,” ujarnya. Kurasa Mas Dika juga sudah lelah, oleh pekerjaannya seharian, juga oleh aku dan Fandy yang merepotkan ini.

Fandy menyempatkan mandi terlebih dulu sebelum tidur. Begitu juga aku. Ada shower dengan air hangat, sangat membantu meringankan rasa letih ini. Hanya ada satu selimut di kamar kami. Kuberikan ke Fandy. Terakhir yang tertangkap mataku, jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setelah itu, aku tak ingat lagi….

Pertama kali yang tertangkap mataku saat membuka mata, adalah langit-langit kamar yang terang. Bukan terang oleh lampu, tapi berkas sinar matahari pagi yang masuk lewat celah angin-angin di jendela. Pukul tujuh pagi. Fandy sudah tak ada di sebelahku.

Aku meninggalkan kamar, menuju ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Sekeluarnya, kulihat Fandy sudah duduk di meja makan bersama Mas Dika. Mereka tampak bercakap-cakap, tersenyum-senyum hangat sambil menikmati teh dan beberapa roti. Wajah Fandy terlihat cerah.

“Sini bergabung, sarapan!” Mas Dika menyapaku.

Kulihat sarapan sandwich telur matasapi sudah tersiap di meja.

“Aku cuma bisa masak ini,” kata Mas Dika terdengar ringan, seperti sudah tak terbawa lagi oleh peristiwa semalam.

“Makasih, Mas. Ini sudah keren, kok, kayak makanannya orang Barat,” sahutku sambil duduk, dan mengambil sarapanku.

“Dia punya sesuatu yang kamu harus dengar,” ucap Mas Dika padaku, seraya menunjuk Fandy.

Kupandangi pacar Dimas di sebelahku. Dia tersenyum, mengawali ceritanya.

“Tadi malam, di pura itu, aku bermimpi,” kisahnya. “Aku melihat Dimas. Dia terlihat duduk di pelataran sebuah pura. Dia memegang semacam tongkat, ujungnya berapi menyala, semacam suluh. Dia memandangi bintang-bintang di langit…”

“Kamu terlalu kangen sama dia, dan tidurmu terlalu pulas karena kelelahan,” cetusku memotong. Aku tak tertarik jika dia cuma bermaksud mendongeng fantasi romantisnya bersama Dimas.

“Tapi kemudian aku terbangun karena mendengar suara kalian,” dia masih meneruskan dongengnya. “Anehnya, sewaktu tiba di sini, lalu aku tidur lagi, mimpi itu tersambung. Aku melihat Dimas sedang meniti tangga yang jumlahnya mungkin ribuan. Dia masih membawa tongkat penerangan itu. Ketika tiba di atas, bersamaan dengan hari sudah pagi. Aku merasa seperti di sampingnya, berdua melihat matahari terbit. Kulihat, tangga itu menuju ke sebuah pura yang lebih besar. Kulihat pura itu berwarna putih, gerbangnya dihiasi pahatan-pahatan berbentuk naga.”

“Fan, aku juga pernah mengalami mimpi secara bersambung seperti itu. Itu memang bisa saja terjadi,” sanggahku, skeptis. “Dan, tempat di mimpimu itu lebih mirip dunia fantasi. Yaa, aku tahu kamu punya daya imajinasi yang bagus. Tapi, bukankah itu cuma bunga tidur? Mimpi tak selalu harus punya maksud. Kalaupun ada maksudnya, kurasa karena kamu sedang kangen saja sama Dimas.”

Fandy melontarkan pandangannya ke Mas Dika. Mas Dika melontarkan pandangannya padaku, lalu berkata, “Den, masalahnya, tempat yang didiskripsikan Fandy itu memang benar-benar ada.”

Kali ini aku tercengang, rotiku tertahan di mulut.

“Fandy bilang, dia belum pernah melihat tempat itu sebelumnya. Tapi berdasarkan mimpinya dia bisa menggambarkan tempat itu dengan baik. Ini bukan hal biasa,” tandas Mas Dika, berusaha meyakinkanku.

“Terus… tempat apa itu?” cekatku, akhirnya jadi terusik untuk mendengar lebih lanjut.

“Sebuah pura besar berwarna putih, berornamen naga, terletak di atas bukit, dengan anak tangga berjumlah ribuan,” Mas Dika mengulang diskripsi itu, “itu salah satu pura tertua dan paling keramat di Bali. Itu adalah Pura Lempuyang.”

Mulutku berhenti mengunyah. Ludahku tertelan bersama lumatan roti, mendengar penjelasan Mas Dika. Aku sempat berpandang-pandangan dengan Fandy; pagi ini aku kembali mendapati pengalaman yang hampir mirip dengan semalam… cerita supranatural yang membuatku merinding!

“Kalau pura itu memang ada, terus… di mana tempatnya?”

Mas Dika tersenyum sedikit lama sambil menatapku lekat-lekat, sebelum dia menjawab.

“Pura itu ada di Karangasem.”

 
 
 

bersambung…

 
 
 

 

82 responses to “Karung 21

  1. firgyawanz

    28 November 2014 at 00:27

    Thanks For this Story writer…

     
  2. Onky Sandithya

    28 November 2014 at 00:54

    Huuuuuaaa ceritanya serem amat 😦

    tapi seru :3 Karangasem deket ubud kah???

    hemb ceritanya seru :3 sempet berfikir ini salah fandy krn terlalu gampang kenalan ma bule -_- sampe” kejadian gini tp maklum namanya anak muda :v

     
    • noelapple

      28 November 2014 at 01:18

      Jauh. Ubud ada di Gianyar, untuk ke Karangasem masih harus melompati Kabupaten Bangli.

      Dia cuma cari makan & refreshing, karena disia-sia terus sama Denis. Disamperin bule itu di luar kesengajaan. Nggak pernah disamperin bule, ya? 🙂

       
      • Leo Verry

        16 Desember 2014 at 21:50

        mas noel, novel dalam bentuk buku baru ada 1 ya mas noel? klw boleh tau untuk yg 2 dan 3 ada rencana bikin buku? soalnya mau beli sekalian semuanya. makasih infonya,

         
  3. alvian reymond

    28 November 2014 at 01:12

    aku suka…
    Mungkin sampean cari waktu yang pas kali yo mas, malam jum’at .. Ceritanya berbau mistis ..

     
    • noelapple

      28 November 2014 at 01:16

      Memang, hari Senin gagal tayang, berarti malam Jumat harus!

       
  4. eryd

    28 November 2014 at 01:42

    asem tenan kw noel.
    Pinter kw upload chapter 21 ini tepat mlm jumat…

    meskipun aq bukan cwo penakut, tp merinding jg baca nya.
    Wkwkwkwkw

    tp keren lah chapter ini,
    jd lbh tau tentang fandy,
    pokok e keren lah. Wes..

     
  5. Razor

    28 November 2014 at 02:28

    Ceritanya agak membosankan di karung ini, lalu dg ini mlm jum’at ditambah cerita mistis yg membuatku rasanya ingin menyalakan lampu sebanyak-banyaknya, mas noel memang tega, bulu kudukku tak henti untuk merinding, tuhaaan aku takut.

    Ya ampuuunnn semakin hari semakin dekat aja waktu untuk bertemu dg dimas, aku rindu chemistry antara dimas dan fandy, hehehe dan juga berharap pas sewaktu denis itu, sih fandy mencium denis dan membuat denis berasa bermimpi kalo dia sedang dicium seseorang hahahahaha,
    Dan satu hal mas noel, anda tahu getul tentang bali, setra, aura dan semacamnya…..
    Dan satu lagi aku baru sadar kalau tanggal lahir mas noel sama tanggal lahir dimas dan denis itu 19 september….

     
    • noelapple

      28 November 2014 at 02:42

      Bosan, dan takut, hihihi.

       
  6. Yaomi

    28 November 2014 at 02:35

    Merinding abis gua,

    Mas jgn dicampur mistis gini dong….
    Tapi good job aja deh, sumpah masih gondok saya sama mas noel ” knapa gua harus baca malem” gini sih ” aihhhhh

     
  7. krisna saputra

    28 November 2014 at 04:03

    Akhirnya tayang juga 😄 ditunggu kelanjutannya mas Noel 😄😄😄

     
  8. FA

    28 November 2014 at 07:30

    sempet gak jadi nglanjut baca tadi malam, udah parno duluan, terpaksa nunggu pagi buat nglanjut baca…

     
  9. hary092

    28 November 2014 at 07:40

    Karung 20 itu seolah2 DeFan (denis fandi) sudah tau tujuan untuk menemukan dimas. di karung 21 ini, agak selingan, tapi selingan yang sangat ada hubungannya dengan dimana dimas. Dan yang lebih menyebalkan, dimana dimas di karung 20 & 21 itu berbeda…
    Kalau dari ubud ke karang asem melewati 1kabupaten, berarti mungkin masih berkarung2 lagi nunggu DeFan ketemu Dimas…

    Terimaksih

     
  10. galih105

    28 November 2014 at 09:10

    Wkwk seru ceritanya mas. Terjebak di kafe gay, dihadang dan berkelahberkelahi. Cukuo menegangkan. Dan terlebih adegan di setra. Sebenernya klo punya aura, klo disalurkan bisa berinteraksi sama makhluk astral buat percakapan aja. Kadang ga semua hantu itu usil, tp klo mereka udah usil bisa ngeselin juga. Bentrok aura aja bisa ngerasa panas bgt di tubuh. Nice story lahhlahh: D

     
  11. kazekage

    28 November 2014 at 16:13

    Wah mantep mas. Dari awal baca ga nyangka ceritanya bakal jadi mistis.. Eee buseet sereem banget. Tengah hutan, ada kuburan, dibali lagi.. Waaah mati aku kalo jadi denis.. Wkwk .. Tp rasanya jadi Haru. Keinget pengalaman kesesat ditengah alam..
    Tapi masih blum ngerti ciluluk tuh apa sih mas?? Roh orang mati yang ga tenang? Bedanya sama Leak apa ?

     
    • noelapple

      29 November 2014 at 10:36

      Celuluk adalah sebangsa jin (menurut istilah Timur-Tengah). Jadi bukan roh orang mati. Ia tergolong makhluk astral yg jahil. Di Jawa bisa disamakan dengan Genderuwo. Di Bali, jenis makhluk astral yg lebih tinggi dan lebih berbahaya dari Celuluk adalah Rangda. Rangda adalah makhluk menyeramkan berambut panjang yg biasa diperankan dlm tari Barong, konon ia mampu mencabut nyawa seseorang, bahkan bisa membuat jiwa orang itu tak bisa bereinkarnasi. Kalau Celuluk kerjanya cuma menjahili dan menakut-nakuti saja.

      Sedangkan Leak adalah salah satu jenis ilmu spiritual di Bali, yg membuat penganutnya memiliki kesaktian, salah satunya beralih wujud. Jahat atau tidaknya Leak, kembali ke tujuan orang yg menganutnya. Di Jawa, itu mirip dengan praktik mistik seperti ilmu Pancasonya, Rogosukmo, Palimunan, dsb.

       
      • kazekage

        29 November 2014 at 19:28

        Ih ngeriii.. Aku denger2 Leak itu kalo ngelangkahin badan kita pas tidur, kita bisa ikut jadi kayak mereka ya mas??

        Tari barong tuh baruu sereeem. Kostumnya wujud setaaan banget, gigi lancip, mata belo, kuku runcing.. Ngebayangin dia segede genderuwo. Idiiiih. Inget film thailand Phobia 2. jadi raksasa ditengah Alam..
        Rangda itu ngebunuh karna jahil juga po mas?? Ih kejeem banget..

         
      • noelapple

        2 Desember 2014 at 11:28

        Rangda adl salah satu makhluk astral jahat dgn derajat paling tinggi di Bali. Dia tidak membunuh hanya untuk jahil, itu bukan levelnya. Konon peran Rangda dalam suatu perang spiritual lebih bermotif sehubungan situasi politik dan kekuasaan.

         
  12. joko supeno

    28 November 2014 at 16:15

    untung bacanya siang2.. hahahaha.. bagian horornya nyelip gtu.. ditambah ada gambarnya begitu..:| dan ternyata sosok fandy emang misterius ya.. dan sepertinya masih banyak hal belum keungkap tentang fandy.. chapter ini kayak pengen nunjukin sisi lain fandy.. nice mas noel.. ditunggu lanjutan berikutnya.. 😀

     
  13. Fahmi Aldana

    28 November 2014 at 17:42

    Wah…ini bang noel sengaja posting malam jumat biar nyambung sama gambarnya po? itu juga gambarnya jebakan batman banget, scroll scroll scroll, eh malah disambut gambar kayak gitu, hampir aja layar laptopku kupatahin…bedanya celuluk sama leak apa bang noel? apa bang noel punya pengalaman sendiri sama makhluk celuluk itu sampe tau benar suaranya? oh ya, thanks udah posting karung 21, walaupun waktunya ngaret (banget) dan ceritanya agak datar (dan sangat menjebak), so far saya masih senang dengan cek cok ringan denis sama fandi, kind of sweet moment lah, hihi…semangat bang!!!

     
    • noelapple

      29 November 2014 at 10:25

      tak pernah lihat langsung, yang kutahu konon suara tawanya menyeramkan.

       
  14. Yulius

    28 November 2014 at 21:31

    Mas salam kenal saya Yuli,
    Bukannya Denis ke Kute dengan Maya dengan motornya Maya? Motor Mas Dika dipakai Fandy nonton mepantingan? jadi logisnya kunci motor Mas Dika ada di Fandy dong…….

     
    • noelapple

      29 November 2014 at 10:52

      Terima kasih atas kejeliannya. Betul, itu kekeliruanku. Menyusun cerita Dimas berbulan-bulan di Bali, dalam satu bab, ternyata akulah yg dibikin pikun. Bagian itu sudah diperbaiki, sehingga sinkron kembali.

       
  15. sasadara

    28 November 2014 at 22:44

    gambar diatas itu,, gambar celuluk bang???.. kalo iya… bertambah satu karakter horor yg aku takuti… setelah pocong dan suzanna… hiishh…

    episode ini berasa kayak nonton mister tukul jalan-jalan… heheheh

    bang noel punya bakat itu kah???

     
    • noelapple

      29 November 2014 at 10:53

      Dulu punya, sekarang sudah pudar karena tidak diasah.

       
  16. ara

    29 November 2014 at 01:18

    Untung aja mas noel ga posting hari senin kemaren kalau tiga malam berturut2 horror 2an … *Sigh

    Tetep dapet feel nya walau ga baca d malam jum’at, seru mas ampe merinding liat gambar leak itu….

    CRA tiga ini ngebahas abis ttg bali, dan ngeliat sisi lain dari bali .

    Dan yang pasti makin deg – degan mau ketemu Dimas,,, kuangenn ne poll.

    Anyway, klw Dimas kan cowok apel, fandi cowok lavender ,,, truss Denis jadi cowok apa dong ??
    Cowok aku aja kali ya… Hahahahahaa …… #dilemparinSepatu

     
  17. safiixiao

    29 November 2014 at 06:36

    menanti cerita romantis, dapetnya cerita serem.. ternyata si Fandy itu makhluk setengah-Astral.. haha
    Seru mas… ^_^
    Seru banget…

     
  18. awan

    29 November 2014 at 10:35

    Crtnya hampir mirip sama pengalaman sy waktu liburan ke bali 2012….hahahaha…bedanya sy nyaris kesurupan plg dr tanah lot…waktu itu ditawari megang ular putih suci,sy bc bismillah n selawat…pendetanya marah2 dlm bhsa bali lumayan keras….hbis tuh ga ada yg boleh pegang ularnya setelah sy pegang…pendeta nya bawa masuk ke dlm goa…stlh itu sy sibuk lagi foto2…krn mrsa ga ada yg salah….trus lanjut lg d tawari cuci muka d mata air tawar suci yg d karang/tanah lot itu….saya pake buat wuduk…kembali 2 pendetanya bicara keras dlm bhsa bali…..ya namanya juga pengunjung…pura2 ga tau aja…ga lama stlah itu lsg dtg ombak gede…smua pengunjung kaget…tmsuk saya lari kocar kacir ke atas….hbis itu lsg demam plg ke penginapan dipapah….untung dtg bli pijat keliling ngobati….hme…hampir di setiap pantai sy d gempur ombak besar…..hahahaha…bali penuh mistis….walopun begitu pesonanya sgt indah…walopun sudah dua kali ke bali…tetep aj masih pengen ksna lagi…2mggu waktu yg ga cukup…pengen napak tilas perjalanan dimas n denis d sana…..hahahaha….mas noel promo wisata d bali ya???dpt feet dr dinas pariwisata harusnya….:)

     
  19. imt17

    29 November 2014 at 11:14

    sempat mikir fandy cuma ngerjain denis buat bales dendam, dengan cara ngumpet, eh gak tau nya memang ceritanya mengarah ke mistis, gak heran sich mengingat “cra rumah jahat”,
    tapi tetep aja bikin perut mules, abis adegan fighting, lanjut ke ciluluk sepupunya leak. . .

    keseluruhan seru, inilah yang sempet bikin gw mikir gak sabar, pengalaman2 anak2 cra tak biasa, bisa buat belajar, bisa buat ketakutan, sedih, tertawa, dan banyak lagi lah, sesuai lah ama themanya “cerita sederhana dari seseorang yang berhati rumit”.

    “pelangi” satu nama dengan banyak warna, gitu lah kira2. .

     
  20. awan

    29 November 2014 at 11:33

    Mas….klo mahluk tinggi besar smpi plafond,kulit ijo berlendirt,rambut gimbal spt ijuk…mata melotot merah…taring kluar dgn tetesan darah ujung bibirnya…cuma pakai cawat spt barong di ogoh2 gtu…apa namanya???…plg dari tanah lot mahluk ini buntutin sya smpi penginapan..apa itu yg d sebut rangda???…ih seremmmmm…..untung ga dead waktu itu ya….hme….

     
  21. astRA

    29 November 2014 at 15:09

    setelah selesaikan baca marathon keranjang, kantong sampe karung
    ngerasa berdosa kalo cuma jadi silent reader XD
    sudah masuk bookmark dan bakal jadi pembaca setia setiap update-an nya

    berharap Dimas dgn Maya, Denis dgn Misha, Ben dgn Leah
    loh inikan LGBT? hahahaa.. apapun ending yg kamu rencanakan, saya yakin pasti berbekas di hati ini

    terimakasih untuk suguhan menarik nya,
    kamu berbakat bgt

     
  22. wiikun

    30 November 2014 at 09:39

    jadi… fandy bisa astral projection nyampe karangasem, nemuin dimas, di pura lempuyang? hebat banget 😮

     
  23. teyo

    1 Desember 2014 at 05:32

    Bumbunya pas banget mas noel abis adegan berantem”an eh ketemu celuluk hahaha :v
    Tapi kurang greget horornya baru bisa bacan pas senin pagi -_-

     
  24. Lian

    2 Desember 2014 at 01:00

    apes bnget gw bru sempat baca kantong 21 taunya seram banget, ditambah gw sendirian di mess kntor yg konon berhantu.
    mau brhenti baca tpi tanggung rasa penasaran gw lbih gede dri rasa takut.
    thx kak noel udah berhasil bikin gw merinding disko.
    sekali lgi thx kak noel untuk karyanya yg slslu menghiburq n salam kenal.
    GBU

     
  25. Androgenic

    2 Desember 2014 at 02:26

    Wah.. luar biasa!
    Rumah Jahat udah bikin aku smp jalan berjingkat2 dan tengak tengok di rumah sendiri!! Lol

    Dan krn ada yg komen merasa berdosa udah baca dari keranjang, kantong, sama karung masa ngga ninggalin jejak.. akhirnya ikutan ^^
    Haha

    Cerita ini sukses bikin temen aku ngakak geli. Katanya.. “lesbian baca cerita homo! Wkwkkwk”

     
    • noelapple

      2 Desember 2014 at 11:24

      Salam untuk kawanmu yang lesbian itu. Apakah Anda juga lesbian?

       
      • Androgenic

        5 Desember 2014 at 01:36

        Oh.. Noel.. it s me that i mean for “lesbian bca cerita homo..”
        Dan yg ketawain saya jg sama XD

        Sdkt trenyuh baca kisah Dimas.. krn dasar2nya hampir sama sih..

        Good job Noel.. i wish someday i’ll read one great story of my kind 😀

         
  26. FKB

    2 Desember 2014 at 17:16

    Kangen sama Ricky si asem gurih..
    Mas Noël, munculin lagi dong sequel, atau part, atau apapun itu yang bisa ngobatin rasa kangen pembaca ke cowok-cowok musik hehe…

    Udah masuk tahun kabisat nih 😀

     
  27. ZeroZoro

    2 Desember 2014 at 17:48

    Serem juga ><
    dan akhirnya dapet petunjuk baru :v
    and btw maaf baru kasih riview

     
  28. odhee (@dheeotherside)

    3 Desember 2014 at 16:08

    ceritanya masih berlanjut kah??? baca yg CRA 1 & 2 kirain stuck sampe yg ada dsna, ternyata postingannya ada dilink2 yg beda, agak ga ngerti sih awalnya kenapa dibuat seperti itu, but ya sudah lah ya, da dikasih tau juga petunjuknya (awalnya baca lewat Handphone) tpi pas coba buka di desktop ternyata ada rule nya.

     
  29. HamidPRASETYA

    3 Desember 2014 at 23:04

    di karung ini horornya kuat,buat bulu kuduk merinding serasa ada bersama denis dan fandi di kegelapan malam.so fandy rela berkorban demi denis>>>>gmn ya klanjutanx .
    kalo dimas cowok apel,si fandi cowok lavender>…trus denis cowok apa ya ?????

     
  30. Andriyani

    5 Desember 2014 at 20:25

    Makasih Mas Noel bikin cerita yang hebat, Salam kenal saja ya, Dan menunggu Karung selanjutnya dengan sabar. aku love banget sama DIMAS Dan Dennis Dan juga Fandy

     
  31. aldian

    6 Desember 2014 at 16:30

    kak kok ngak dapat dilihat blogya di internet hp. apa ada masalah ya.

     
  32. dian kusuma

    7 Desember 2014 at 16:49

    Mas, agak oot dikit. Karena barusan baca CRA2 lagi. Tapi masih merasa ada missing link. Sejak kapan sih sebenarnya fandy ‘suka’ atau jatuh cinta sama Dimas?
    Apakah ketika Fandy menerima Dimas sebagai pacarnya, perasaan cinta itu belum sepenuhnya ada?

     
    • noelapple

      11 Desember 2014 at 08:12

      Cintanya sebuah proses yang tidak panjang, tetapi sangat berkesan. Waktu Dimas bermain ke desanya, tepatnya. Momen pasar malam.

       
  33. juliant

    8 Desember 2014 at 22:50

    petunjuk satu2 tlah terbuka…
    mkin seru ne….
    jujur ne part yg salah satunya membuat merinding.
    mas noel thanks ya…
    saya sgt terhibur…
    meski agak tlat bacanya.

     
  34. Vino

    9 Desember 2014 at 09:57

    suguhan mngejutkan, campur horror! jgn campur kekerasan ya mas, hehehehe

     
  35. Vino

    9 Desember 2014 at 10:00

    salam kenal mas,, malu udh lama ngikutin baru ninggalin jejak,, kesengsem karo cerito iki,

     
  36. putri pratiwi

    11 Desember 2014 at 10:32

    keren nih ceritanya,,,ketagihan buat baca teruuuuss hehehe

     
  37. Obipopobo

    11 Desember 2014 at 16:19

    Whoaaa \(^0^)/, Abang \(^0^)/! Makasi udah berbagi cerita sama kita yah bang! Obi seneng banget baca baca karya Abang \(^0^)/. Obi berharap semoga Abang bisa mendapat kelancaran dalam membuat lanjutannya yah bang! Obi janji bakalan baca terus \(^0^)9!

    Nanti malem kayaknya Obi engga berani kedapur sendirian dulu ~(>_<)~

    Salam 'nananina' yah bang!

    -GBU-

     
    • noelapple

      12 Desember 2014 at 21:42

      Nananina artinya apa, Obi?

      Kenapa harus dapur? Di kamarmu pun hantu bisa nyamperin kok. Hihihi….

       
  38. mukamurka

    12 Desember 2014 at 20:15

    Wao, saya baru sadar klu yg membuat saya trs baca serial ini slah satunya adalah kandungan unsur2 spt ini~

    Tengkyu oom

     
  39. SilentReader89

    13 Desember 2014 at 17:03

    thanks noel …. inpirasi dan tata penulisan sangat kreatif …. hanya menebak saja . pembawaan alur cerita ini menceritakan banyak detil dan seluk beluk ttg bali . tidak mungkin sebatas wikipedia bisa menyuguhkan sebegitu detailnya . pastinya half of half ini ada sedikit pengalaman perbadi yg terdampar di dalam alur cerita :p

     
  40. Leo Verry

    15 Desember 2014 at 10:16

    Mas Noel yg baik, sy baru mulai membaca CRA dari keranjang sampe karung pada tgl 13 Desember 2014, dan karung 21 ini selesai saya baca tadi malam. saya sudah banyak baca cerpen, novel bahkan roman, seumur hidup saya yang paling berkesan dan membuat saya menunggu kelanjutan dari sebuah cerita adalah Buku Harry Potter karangan J.K. Rowling, bahkan buku terakhir saya rela antri berjam-jam di Toko Buku Gramedia untuk sekedar memiliki buku itu (meski saya bukan satu2nya yg begitu), itu terjadi 8 tahun lalu ketika saya masih berumur 14 tahun. Tapi 2 malam lalu, saya sedang pulang ke rumah ortu di desa, karena bete di kamar gak ada kerjaan, mau tidur belum ngantuk, jadi saya iseng cari2 bahan bacaan lewat android, dan ketemulah Cowok Rasa Apel. Setelah saya membaca tulisan mas Noel, saya berkesimpulan bahwa inilah bacaan yg melebihi Harry Potter yg merupakan my favorite book, karena bukan hanya saya sangat menunggu dan bertanya2 akan kisah selanjutnya, terutama karung 22, dimana petunjuk dari “penglihatan” Fandy akan keberadaan Dimas membuat saya semakin penasaran, bahkan 2 hari ini saya tidak konsen menjalani aktivitas saya, karena merenungi kisah mas Noel ini (wkwkwkwkwk lebay ya..).

    Tapi Jujur saja mas Noel, diary yg ditulis Dimas terutama tentang kepedihannya berpisah dari Fandy mungkin sebagian orang akan mengganggap itu hanya tulisan, tapi ketika membaca diary itu saya dapat merasakan kerinduan mendalam, gejolak jiwa yang sangat kuat, keinginan, ambisi, cinta, rindu, semua bercampur. dan perjalanan yang Fandy lakukan untuk mencari Dimas, dengan sedikit bumbu godaan dari Filipe sangat natural, dan sering terjadi dalam realitas dunia Gay. menurut saya pribadi kisah Dimas dan Fandy melebihi kisah Romeo dan Juliet (pendapat pribadi ya, tidak ada tendensi apapun). Yang membuat saya terkesan dan sangat membekas dalam hari2 saya setelah membaca cerita ini adalah kisah ini seakan nyata, atau bahkan saya berkesimpulan itu adalah kisah yang nyata yang telah terjadi, sedang atau bahkan akan terjadi dari kisah seseorang. Bahkan setelah membaca karung 19-21 saya termenung dan memikirkan dimas dan fandy sampe jam 4 pagi, seakan2 mereka adalah bagian dari kehidupan yg pernah saya alami (lebay,com).

    Yang jelas mas Noel, ini sangat berkesan dan sangat indah. seandainya Indonesia negara yg lebih sekuler, katakanlah seperti Thailand atau Filipina, mungkin Cowok Rasa Apel bisa di filmkan, bahkan akan lebih melegenda ketimbang Love Of Siam (saya juga penggemar Love of Siam). mungkin juga kalau dibuat per episode akan mengalahkan rating dari Harmones, serial yg sangat digandrungi di negeri gajah putih. tapu saya tetap berharap dapat difilmnkan di Indonesia (tanpa sensor sana sini kalau bisa hehehe).

    terimakasih atas cerita ini mas Noel, memberi Motivasi dan sangat Inpiratif. ditunggu kelanjutannya.

    NB: Saya mengenal dunia Gay ketika berumur 14 tahun ketika kelas 2 SMP, karena saya bersekolah di sekolah Asrama yang semua siswanya cowok. bayangkan 2.000 orang siswa SMP dan SMA hidup dalam 1 kampus, 24 jam tanpa pernah melihat wanita kecuali mbok dapur. Tapi apakah itu dunia Gay beneran atau hanya pelampiasan saya tdk tahu persis, di dalam kampus berasrama anak SMP yang “cakep” akan menjadi sangat populer terutama bagi anak2 SMA yg notabenenya adalah kakak senior. itu pernah saya alami, bahkan saya pernah terlibat hubungan yang serius ketika saya kelas 3 SMP (15 tahun) dengan kakak tingkat kelas 1 SMA (16 tahun). dan ketika saya kelas 1 SMA (16 tahun) Bf saya dikeluarkan dari sekolah karena pelanggaran berat, dia kembali ke kota asalnya di Bekasi, tahun itu menjadi tahun yg sulit bagi saya itulah mengapa saya sangat mengerti dengan perasaan Fandy yg dikisahkan oleh mas Noel, sekolah saya berada di salah satu Kota di Jawa Tengah. saya sendiri bersal dari Bandar Lampung. saya pernah berfikir untuk berhenti sekolah dan pindah ke Bekasi juga, tapi mana mungkin? saya tidak punya saudara di Bekasi, bahkan belum pernah ke Bekasi. dan apa alasan saya ke ortu untuk minta pindah ke Bekasi, Bf saya tetap berkirim surat, setiap surat yg saya terima hanya membuat saya rindu dan sedih. kami dipisahkan karena keadaan. ketika kelas 2 SMA (17 tahun) saya menjadi pengurus di Asrama, dan kisah berlanjut seiring hidup saya di sekolah itu pun berlanjut, saya menyukai adik tingkat saya kelas 3 (SMP) anak yang manis berasal dari kota baru, batulicin di daerah Kalimantan Selatan. hal yang sama terjadi ketika orang tuanya sakit, saya berhubungan dengannya sampe kelas 3 SMA, dia 1 SMA. dia pulang untuk menjenguk orang tuanya, orang tuanya meninggal beberapa saat setelah dia tiba di kota baru. Dia tidak pernah kembali ke sekolah, membawa cinta dan setengah jiwa ku. jadi curhat ya, sory. tapi itulah alasan saya merasa kisah mas Noel ini memberi keberanian untuk saya, terimakasih mas Noel, semoga saja saya belum terlambat.

     
    • noelapple

      18 Desember 2014 at 13:06

      Terima kasih untuk review-nya. Dan sudah berbagi ceritamu.

      Harry Potter adalah cerita yang bagus, aku juga mengikutinya. Dan dalam hematku, sesungguhnya kurang etis jika membandingkan ceritaku dengan cerita JK Rowling. Tak bisa menyangkal bhw Harry Potter adl influence yg sangat massive di seluruh dunia. Sepatutnya CRA belum dibandingkan dengan karya besar Rowling itu. Belum sepadan sama sekali. Tapi terima kasih sudah mengapresiasi.

       
  41. el vian

    15 Desember 2014 at 22:26

    Ka noel… Aku pernah denger (red; baca)… CRA itu sudah jadi novel ya ka?… Terus novelmya sudah dijual belum? Maaf pengen beli novelnya ka.. Kalo di novelnya sampai tamat gk ka?… Soalnya aku di omelon mama terus baca ngebut CRA.. Dari dari pagi sampe malam melototin layar tablet trus …. Hehehe…. Sekalian kalo punya novelnya bisa ikut menghargai karya bang noel.. Tanks ka noel.. Semuga tuhan memberkati

     
  42. Denias Alexandrite

    17 Desember 2014 at 21:54

    Gak sabar ni nunggu kelanjutan cerita CRA 3 ny… aduh udah lumayan ni nunggunya mas Noel..
    Semangat mas.. di tunggu karung 22 ny 😀
    Ditunggu kejutan kejutan di setiap karungnya kali ini..

     
  43. fajar

    17 Desember 2014 at 22:50

    Gila abis deh mas noel… uda lama gak baca lanjutan CRA, tau2 pas baca karung 21 isinya,,, jiahhhhh merinding… jujur saya habis camping minggu kemarin, n ngalamin yang namanya ketemu sama penampakan, ditambah lagi sama ceritanya mas noel yang serem,,,
    thanks mas noel, ceritanya menghibur & bikin nyali tambah ciut….

     
  44. iyant

    18 Desember 2014 at 11:03

    wah seru nih……..
    lanjut dong ?
    jadi terasa di bali.
    gak perlu ke bali tapi lumayan tau tentang bali 😀
    makasih banyak nih 😀

     
  45. rizwar

    19 Desember 2014 at 11:10

    Saya membaca novel ini sejak 2012 lalu. saya selalu menunggu kelanjutan setiap episode demi epidode CRA ini. sebelumnya saya tdk pernah suka membaca novel tetapi ketika menemukan novel ini secara tak sengaja 2 th lalu saya lngsg penasaran. Seolah saya bisa melihat dan merasakan sendiri setting tempat2 yg diuraikan. sangat detail penguraianya setting dan tempat lokasinya.. jd sangat gampang masuk ke pikiran saya tanpa harus berusaha untk membayangkan tmpat2 yg disebutkan di cerita ini. Aku tunggu ya kelanjutanya. Sukses selalu salam dari Denpasar Bali.

     
    • noelapple

      20 Desember 2014 at 01:51

      Terima kasih. Salam untuk Denpasar.

       
  46. kyuanjani

    19 Desember 2014 at 22:18

    Mas…. itu kok si Denis nggak bisa hubungin Fandy di kafe banana gara – gara nggak ada sinyal, tapi Fandy masih bisa nangkep sinyal panggilan Denis dari Kafe???

     
    • noelapple

      20 Desember 2014 at 01:55

      Ada dua hal:
      1. Fandy bs nangkap sinyal ketika Denis call dr Nagari, bkn saat Denis di sekitar Banana.
      2. Operator Fandy berarti lbh bagus di area tersebut, menjangkau lbh luas.

       
      • Leo Verry

        20 Desember 2014 at 20:42

        mas Noel, thx ceirtanya. ditunggu karung 22 yang tambah bikin penasaran.
        n boleh saran gak mas Noel, krn para pembaca disini kan tidak dikenakan biaya apapun. bagaimana bila ada pembaca yang ingin memberi apresiasi berupa donasi atau lain sebagainya, seperti WIKIPEDIA kan, boleh kasih donasi. Tentunya formulanya, tidak ada perbedaan bagi pembaca yg ingin memberi donasi maupun yang tidak, kecuali yang membeli novelnya. bukan bertujuan macam-macam, hanya sekedar apresiasi atau support agar lebih maju lagi, hitung-hitung ceritasolitude bisa beli domain sendiri, hehehe. hanya saran mas noel, sukses selalu, dan ditunggu karya-karya indah selanjutnya. (khususnya kelanjutan CRA 3 n HBR)

         
      • noelapple

        28 Desember 2014 at 12:58

        Meminta donasi artinya kita berkekurangan. Saya merasa tak perlu melakukannya.

         
  47. Lorenzo Alfredo

    21 Desember 2014 at 02:11

    Mas noel, lomba setra paling bersih itu beneran?

     
  48. Lian

    24 Desember 2014 at 00:31

    kak noel ada bocoran g rencana publikasi karung 22
    tak sabar menunggu, penasaran lanjutannya sama penasarannya dengan sosok kak noel hehe,,

    oh yah ada koment tgl lhir kak noel 19 september sama dngan denis dan dimas, kalo aku sih kayak bln 12 sesuai dngan namanya NOEL tp entalah hehehe

    slmat hari natal kak noel

     
    • noelapple

      25 Desember 2014 at 17:53

      Selamat Hari Natal juga.

       
  49. Lorenzo Alfredo

    25 Desember 2014 at 21:57

    Merry Christmas Mas Noel

     
  50. fahrul

    28 Desember 2014 at 10:34

    Ceritanya berkesan bgt, pdahal aku baru tau cerita ini 3 hari yg lalu, aku baca dari keranjang 1 sampe karung… keren deh,

    kayanya ceritanya udh dari tahun 2011, tapi aku baru tau sekarang, kudet -_-, tapi setiap chapter, ku lihat jarak waktu komentarnya jauh jauh, contohnya dari chapter ini bulan ini, chapter yg itu bulan itu , lama banget kalo rilis, tapi keren kok,

    Aku juga sering lihat ada yg nulis ‘heartbreak ricky’ udah kucari, gk ketemu ceritanya, pdhal penasaran bgt.. boleh minta link nya gk bang…

    Ditunggu juga karung karung berikutnya ya bang… 🙂
    Terus berkarya bang…

     
  51. prasetya

    10 Januari 2015 at 06:05

    Salam buat bli Bagus…^^

     
  52. dontbesyai

    1 Februari 2015 at 01:24

    Sialan lu, Noel! Horny kagak, merinding iya. Jam 1:30 pagi disuruh lihat leak macam gitu.
    Sumpah cerdik dan surprise. Pake banget!

     
  53. akhmad

    18 Agustus 2015 at 10:34

    Saya bca cerita ini sejak sya duduk di kepas 2 SMA..sekrng sya sudh kuliah semeter 5, bru bbrp hari ini aku mulai kesepian dan mndptkn cerita ini lagi stlh sya browsing…slma ini tidak ada yg bisa mmbuat sya terkesan novel” diluar sna tpi ini….bikin aku betah..hingga wktu istirht mlmnku tersita untuk novel yg aku rsa mmbngunkn dlm khidupnn ku…thnks mas nowel….aku tunggu crita selnjutnya… Achmad_apple

     
  54. purie

    5 September 2015 at 18:01

    nahlho ini kenapa jdi horor bgni….hii fandy bisa liat makhluk astral hiiiiiii

    itu apalagi mimpinya,,,kerennn punya keahlian membaca masa depan tu fandy kekeke

     
  55. Kkk

    26 April 2016 at 17:41

    Mas, boleh minta emailnya gak? Aku mau nanya2 sedikit seputar pengalaman mas di bali, sekalian minta tips. Makasih mas.

     

Tinggalkan Balasan ke Leo Verry Batalkan balasan