RSS

Karung 7

 
 

Karung 7

Setiap Orang Punya Rahasia

 
 
 

Namanya Marlia Simbolon. Pada awalnya kami memanggil dia ‘Lia’ atau ‘Lea’. Tapi lama-lama kami sadar panggilan itu terlalu kalem. Sedangkan dia seorang cewek yang gaduh, heboh, wah, dan meriahhh…! Maka muncullah huruf ‘h’ yang tak ada di nama aslinya itu, di belakang huruf ‘a’. Ya, ternyata terasa lebih pas dan puas kalau memanggilnya: LEAH!

Terus, siapa ‘kami’? ‘Kami’ adalah aku dan teman-teman sepermainan di Medan. Ada Dodi, Oge, beberapa orang lagi, termasuk Leah. Nama panggilan ‘Leah’ seingatku memang dimulai dari kami. Sebab di keluarganya dia tak dipanggil seperti itu. Oleh orang tuanya dia dipanggil ‘Butet’. B-U-T-E-T, empat varian huruf yang juga nggak ada di nama aslinya.

Apalah arti sebuah nama? Entah siapa yang bikin pertanyaan klasik itu, seingatku orang penting. Makanya pertanyaan itu juga jadi ‘penting’. Lalu apa pentingnya membahas aneka nama yang dimiliki si Leah itu? Anggap saja ‘penting’, karena faktanya dia tak suka kalau dipanggil ‘Butet’ oleh orang yang bukan ayah-ibunya, entah kenapa. Jika kami nekat memanggilnya ‘Butet’, maka kami harus siap dieksekusi. Entah kena cubit, tabok, kalau lagi sial bisa kena tampar! Yaah, menyelamatkan pipi dari tamparan seorang cewek, itu ‘penting’, bro…!

Hmmhhh…. Lebay, ya? Sejujurnya, aku cuma bingung harus bercerita apa. Dia baik, seru, royal, kadangkala dia lembut. Tapi dia juga rumit dan eksplosif. Lihat, tiba-tiba cewek berkuncir-kuda itu muncul di depanku setelah dua tahun aku berusaha keras melupakannya! Dia sepantaran denganku yang artinya dia juga baru lulus SMA, tiba-tiba sudah berdiri di depan pagar rumahku yang artinya dia sudah jauh-jauh dari Medan. Seorang diri dia muncul! Nekat banget dia?! Dan biarpun tak kupanggil dia ‘Butet’, tiba-tiba aku ditamparnya! Aku ditampar perempuan di depan Ben! Benar-benar aib…! Sial…!

Bingung campur kaget aku! “Kanapa datang-datang nampar aku?” tukasku.

“Harusnya aku yang tanya, kenapa kau pergi tak bilang-bilang?! Tak punya tanggung jawab kau!” Leah balik mencecar sambil menudingkan telunjuk ke mukaku.

“Den, siapa, Den?” Ben berbisik-bisik sambil menyikut.

Aku mendorong Ben masuk ke dalam rumah. “Lu masuk aja dulu sana, PS-nya ada di kamarku, tuh. Lu main aja dulu!”

Ben malah berhenti di muka pintu dengan tampang konyol. “Curiga aku… ini kayaknya masalah runyam, nih? Kok dia nampar kamu, bilang soal ‘tanggung jawab’ segala? Dia nggak…?” Ben membuat bahasa isyarat dengan mengusapkan tangan ke perutnya.

Tok! Kujitak kepala Ben.

“Sembarangan! Cepat masuk!” hardikku, menjejalkan Ben ke dalam rumah.

Kubalikkan badan, menghadapi lagi sosok tamu perempuan yang berdiri di depanku. Aku masih setengah tak percaya. Kupandangi, mencocokkan sosoknya dengan ingatanku. Ya, dia memang Leah, cewek yang pernah kutinggalkan di Medan. Dua tahun, dan dia masih seperti yang kuingat: sawo matang, semampai, bibir merah jelly sedikit monyong. Oh, sosok yang sebenarnya manis itu akan tampak lebih manis andai tak berkacak-pinggang seperti itu di depanku, dan tak memasang ekspresi yang amburadul itu. Rautnya kelihatan begitu marah, dongkol, menyudutkan, tapi…

“Aku kangen sama kau, Den!” ucapnya merajuk. Kalimat mellow yang dipadu intonasi khas orang Batak.

Kontradiktif!

Aku hampir tersentuh mendengar ucapannya. Daripada ikut berkacak pinggang, kulipat tanganku di dada.

“Gombal!”

“Kenapa kau bilang begitu?!” Leah meninju bahuku. Lalu menjongkok, mendekap kepala dengan kedua lengannya.

Aku tahu dia cuma akting. Dia pura-pura mau menangis. Cuma pura-pura!

“Aku sudah jauh-jauh dari Medan…”

“Nah! Ngapain kamu jauh-jauh dari Medan kemari? Mendadak pula?!” tukasku.

“Kenapa?” Leah langsung berdiri lagi, melotot padaku. “Kau tak terima kalau aku mendadak kemari? Kau tak terima karena aku tak bilang-bilang mau kemari? Kau sendiri ninggalin aku juga tak bilang-bilang! Dua tahun!” Dia mengacungkan dua jarinya di depan mukaku.

Aku menelan ludah. Menahan emosiku yang mulai terpancing. “Kamu yang ninggalin aku. Kamu duluan yang ninggalin aku…! Kamu lupa? Nggak ngerasa…?”

Leah terdiam. Perlahan, dia benar-benar berkaca-kaca…. Kali ini terlihat tidak pura-pura. Aku cukup merinding, menghadapi seorang perempuan menangis gara-gara ucapanku. Tapi ingat-ingat dia juga habis menamparku, aku tak terlalu merasa bersalah. Lagipula aku sudah hapal watak lebay-nya yang kurasa nggak berubah. Beberapa saat kami saling berpandangan tanpa ucapan apa-apa. Lalu dia mendudukkan diri ke kursi, mengonggokkan tas kecilnya di lantai. Aku ikut duduk, mengendapkan emosi.

“Dua tahun! Macam begini kau sambut aku?” dia merengek dengan suara datar. Kurasa dia kecele, pasti mengira aku akan membolehkan saat dia tadi ingin memelukku. Dia mendengus lagi,  “Aku tahu kau kesal padaku. Tapi kau tak mengerti!”

“Aku kurang mengerti gimana?”

“Kenapa kau malah bertanya seperti itu? Aku ini perempuan, jangan kau paksa aku yang harus berterus-terang….”

Nah, mulai berbelit-belit dia!

Aku tertawa masam. “Itu dia. Aku capek ngertiin kamu. Kamu kira cuma cewek yang butuh dimengerti? Mentang-mentang ada lagu yang bilang begitu. Lebay, ah.”

Orang Batak memang bicaranya keras, tapi mereka tetap suka lagu cengeng. Beda dengan orang Jawa, bicaranya sopan-halus tapi lagunya banyak yang jorok. (Sorry, nggak bermaksud rasis.)

“Tapi memang terlalu cuek kau!” Leah menggerutu. “Aku ingin kau bisa kasih perhatian yang selayaknya, lah…. Kalau tidak, apa bedanya kau dengan yang lain? Apa bedanya pacar dengan teman biasa? Ayolah, Den…?”

Leah menatapku. Sorot mata yang dongkol tapi juga terlihat memohon. Bikin aku gamang. Seperti berjalan di seutas rambut dibelah tujuh, dan di bawahku adalah jurang. Yaitu jurang masa lalu, ingatan-ingatan dua tahun lalu ketika aku masih di Medan, ketika aku berhadapan dengan sebuah pilihan penting yang melibatkan seorang… kekasih. Pacar.

Shit! Aku benar-benar jatuh ke ingatan itu!

“Apa istimewanya jadi pacarmu, kalau ternyata kamu lebih memilih jalan sama cowok lain daripada sama pacarmu sendiri?” Aku membalik ucapan Leah dengan kata-kata itu. Pertanyaanku membuatnya tampak gagu. Kutandaskan lagi, “Leah, ayolah, siapa yang nggak pengertian coba?”

Dia masih terdiam. Membiarkan air mata meluncur jatuh dari mukanya. Dia seperti sengaja membiarkan pipinya tampak basah. Lalu dia usap pelan-pelan. Lama-lama aku kebal juga melihat aksi meweknya itu.

Karena sepertinya dia tak punya jawaban, aku mengalihkan pembicaraan. “Sama siapa kamu ke Solo? Masa sendirian?” tanyaku lebih rileks. Sedikit menunjukkan simpati.

Dia tersenyum tipis. “Aku mendaftar di UGM, di fakultas hukum. Pilihan kedua aku pilih UNS, fakultas ekonomi.”

Aku kaget. “Serius?”

Seolah lupa dirinya baru saja menangis, dia tersenyum lebih lebar sambil mengangguk-angguk. “Demi kau juga, lah, Den.”

Kaget level berikutnya! “SERIUS??? Ngapain, sih lu…?! Sampai segitunya?!”

Dia berdiam sejenak, menatapku lekat-lekat. Lalu berpaling sambil tertawa tergelak seperti orang cegukan. “Sejak kau menghilang, mau tak mau aku tanya ke ‘Mama’-mu di Medan. Dia yang kasih tahu aku, kalau kau pindah kemari. ‘Mama’-mu pula yang beri aku alamat ini. Tapi aku tak bilang mau kemari, aku cuma bilang mungkin kapan-kapan aku akan tulis surat buat kau. Kau pergi diam-diam, aku juga akan cari diam-diam.”

Aku geleng-geleng kepala, tak habis pusing. “Kamu sendirian dari Medan?”

“Tidak, lah! Ada tulang aku yang tinggal di Jogja. Kebetulan sekali, kan, Jogja tak jauh dari Solo. Aku daftar kuliah ke universitas itu, biarpun Dainang larang aku mati-matian. Tulang jemput aku ke Medan, lalu kami ke Jogja. Aku sudah tiba beberapa hari lalu. Hari ini aku pamit jalan-jalan. Tak sulit juga rupanya, aku tanyakan alamat ini di perempatan sana, kubilang, ‘ini rumah Denis, bapaknya punya nama Pak Setiawan’. Langsung aku diberi tahu: rumah tingkat warna hijau dengan kentongan cabe di depannya. Ketemu!”

Lihatlah! Itu yang kumaksud ‘eksplosif’. Dia adalah karakter cewek yang nggak bisa ditahan atau dikekang. Mungkin begitulah hasil didikan orang tuanya. Bapaknya pejabat daerah, sedangkan ibunya juragan kain di Medan. Leah adalah satu-satunya anak perempuan mereka. Seorang gadis keras kepala yang dimanja habis-habisan! Dikekang dia akan berontak, diberi kebebasan dia akan nekat!

“Kamu ikut SNMPTN?” tanyaku.

“Ya. Aku ingin siap-siap di sini sambil menunggu pengumuman.”

“Semoga gagal.”

Plok! Leah meninju bahuku. “Jahat sekali kau!”

“Kan, kamu bilang daftar kuliah cuma untuk cari celah, biar bisa mencariku kemari! Sekarang sudah ketemu, jadi kalau nggak lolos juga nggak apa-apa, kan?”

“Tapi kalau bisa diterima di UGM, kenapa tidak? Itu universitas nomor satu. Kau terlalu besar kepala. Kalau aku kuliah semata-mata demi kau, aku taruh UNS di pilihan pertama, biar satu kota dengan kau. Jogja jauh sedikit tak apa, lah. Daripada aku tetap di Medan.”

Aku bergidik, tapi juga geli. “Jadi kamu pikir aku akan tetap di sini saja? Kamu pikir aku nggak ingin kuliah ke mana gitu?”

Aku dipandangi dengan mimik menyelidik. “Ke mana?” tanya Leah.

Aku tersenyum jahat. “Rahasia! Yang pasti bukan UGM, juga bukan UNS.”

Dia langsung cemberut. “Kalau universitas yang kau pilih itu jauh dari sini, aku doakan kau juga gagal!”

Aku menghela napas. Melonggarkan dada. “Kenapa, sih, kamu harus senekat ini?”

“Karena aku marah sekali,” dia menjawab pelan, merajuk lagi. “Kau pindah kemari tanpa memberi tahu siapapun. Kau bersikap seolah kau tak meninggalkan siapa-siapa di Medan, kecuali keluargamu di sana. Kau tak menganggap teman-temanmu. Kau tak menganggapku.”

“Aku nggak pindah. Aku di sini pulang.”

“Oh, ya?” Leah menimpal dengan santai. “Yaa… aku juga tahu, lah. Kita semua tahu. Kau sendiri yang dulu pernah cerita ke kita, kalau yang di Medan itu bukan keluarga kandung. Tak apa-apa. Tak mungkin aku menghalangimu pulang kemari. Aku marah karena kau diam-diam! Kau semena-mena!”

Percakapan kembali menyedotku kepada ingatan-ingatan yang mengecewakan itu. Tentang masa lalu kami. Ffhhh…. Tidak sungguh-sungguh masa lalu, sih. Karena terbukti aku nggak sungguh-sungguh bisa lari darinya. Mau basa-basi sepanjang apapun, tetap nggak mungkin bisa memungkiri bahwa ada masalah di antara kami. Masalah yang dua tahun ini kukubur serapi mungkin, tapi ternyata aku tetap nggak bisa beranjak dari ‘kuburan’ itu. Selama ini diam-diam aku masih berkutat di atasnya, tanpa orang lain tahu. Dan, sekarang dia datang!

Sorry, Leah. Semua adalah soal sebab-akibat. Seandainya nggak ada masalah di Medan, aku mungkin akan tetap pikir-pikir lebih panjang sebelum memutuskan tinggal di sini.”

Leah sesaat terdiam. Dia tampak merenung. Lalu berucap pelan, “Oke. Akulah masalahnya, kan?”

Kupandangi dirinya. Matanya tampak basah lagi. Tapi kali ini dia mengusapnya sebelum air mata itu terjatuh.

Dia memberiku satu pertanyaan lagi. “Kau lebih bahagia setelah di sini?”

“Soal bahagia itu relatif,” terangku sembari  merenungkan. “Di Medan aku bisa bahagia, di sini juga. Di Medan aku punya masalah, di sini aku juga ketemu masalah. Tapi aku menemukan diriku lebih berarti di sini.”

Hmmm…” Leah tersenyum, “itu terdengar sedikit menghiburku. Setidaknya kau masih akui biarpun tak terus terang. Bahwa kau bisa bahagia selama di Medan, waktu kita masih bersama. Tapi tetap saja kau lebih memilih meninggalkan aku.”

“Aku nggak bermaksud semata-mata menyalahkan kamu. Karena aku juga punya salah. Kita sama-sama salah. Tapi… kamu memang keterlaluan!” aku mengeluarkan kalimat galau. Aku membuka sebuah konklusi dari masa lalu, ingatan yang paling tak kusukai, “Kalau kamu jadi aku, memangnya kamu akan baik-baik saja melihat pacarmu jalan sama cewek lain? Padahal kamu sudah bela-belain datang di hari ulang tahunnya?”

“Itulah yang kau tak mengerti, Den! Kau kira aku bermaksud selingkuh? Tidak! Aku jalan sama Oge cuma untuk ngetes, apakah kau masih sayang padaku!”

Aku tertawa sinis. “Ngetes? Terus, jadi kamu nggak salah gitu? Apa maksudmu ngetes dengan cara seperti itu?”

“Karena kau tak perhatian lagi padaku!”

Aku lagi-lagi heran, tak terima dia menudingku dengan penilaian itu. “Aku nggak perhatian? Leah, malam itu aku datang ke rumahmu, bawain kamu kado. Karena aku nggak lupa itu hari ulang tahunmu. Tapi kamu malah pergi sama Oge!”

“Karena Oge tidak terlambat! Tengah malam dia sudah meneleponku, kasih ucapan selamat ulang tahun. Kau??? Esoknya waktu kita ketemu di sekolah bahkan kau masih belum ucapkan apa-apa. Yang bukan pacar saja bisa kasih aku perhatian seperti itu, kenapa kau tidak?”

“Tapi ngapain coba, si Oge tengah malam nelepon kamu ngucapin selamat? Kalau bukan cari kesempatan ngerebut kamu? Dan kamunya malah manfaatin dia buat ngetes aku. Kamu nggak cuma permainkan aku, tapi Oge juga kamu permainkan! Aku sama dia teman baik sejak lama, jadi kacau gara-gara kamu!” kutumpahkan rasa marah dan kecewaku. Tak hanya kepada Leah, tapi juga Oge, teman baikku itu. “Huh, gara-gara si Oge juga, cari-cari kesempatan nusuk dari belakang! Hampir aku berkelahi sama dia!”

“Hei, si Oge berani cari kesempatan, karena semua juga tahu kalau kau sudah tak perhatian lagi padaku. Wajar, lah, kalau ada yang ingin gantikan kau. Harusnya kau introspeksi!”

“Sudah kubilang, aku bukannya nggak perhatian sama kamu. Tapi apa memang harus selebay itu buat jadi pacarmu, sampai musti nelepon tengah malam demi ngasih ucapan selamat ulang tahun?”

“Si Oge yang bukan pacar saja tak keberatan melakukannya, dan aku tak menganggapnya lebay. Please, lah! Aku dulu juga lakukan itu waktu kau yang ulang tahun. Aku juga tak merasa lebay.”

“Tapi aku juga nggak nuntut. Kalaupun kamu lupa, aku juga nggak akan uring-uringan. Karena itu cuma masalah sepele… ya ilah, cuma soal ulang tahun! Kenapa harus jadi masalah besar?”

“Justru jika dalam masalah kecil saja kau malas, bagaimana kalau nanti ada masalah besar?”

“Justru masalah kecil harusnya jangan menyita pikiran!” bantahku ketus. “Biar nggak mengganggu masalah yang lebih besar!”

“Terus, memangnya kau punya masalah besar apa waktu itu?”

Aku terdiam saat Leah membalik ucapanku. Aku mulai ragu.

“Hei,” Leah mengulang, “kau punya masalah besar apa memangnya?”

Aku tertunduk lesu. Aku menggeleng. “Nggak ada. Waktu kamu jalan sama Oge, baru itu jadi masalah besar buat hubungan kita.”

Leah tertawa menyendat. Lagi, seperti orang cegukan. “Aku jalan sama Oge justru karena sikapmu yang tak lagi perhatian itu sudah terlalu besar untuk aku diamkan. Aku pikir waktu itu, ‘sebenarnya aku ini punya pacar atau tidak?’. Karena Oge lebih perhatian padaku, maka aku pikir, ‘kalau aku jalan sama Oge apakah akan ada yang marah?’. Anehnya, kau benar marah! Padahal aku cuma ingin kau introspeksi saja.”

Leah tertawa lagi. Aku tahu, dia tidak bahagia dengan tawanya itu. Aku juga tidak bahagia mendengarnya. Tawa yang pahit, menyakitkan.

“Dulu, sebelumnya, kau juga pernah cemburu seperti itu,” Leah mulai mengungkit kenangan lain. “Waktu aku jalan dengan Bang Jefri, kau tuduh aku tertarik padanya. Lalu aku beri tahu kau, ‘Hei, Bang Jefri juga bermarga Simbolon. Tak ada kawin-kawinan sesama marga Simbolon. Pacaran pun tidak! Dia kuanggap kakakku sendiri.’, barulah kau sadar. Kau kurang perhatian, tapi anehnya kau cemburuan?”

Kusadari, kulit wajahku meremang. Memerah, mungkin. Walaupun begitu aku tidak kaget Leah mengungkitnya. Dia mencoba mengintimidasi dengan masa lalu, untuk berkelit dari sikapnya sendiri yang keterlaluan.

“Kau tahu tidak?” dia masih menyambung lagi, “Setelah Oge nelepon tengah malam itu, kemudian ada SMS masuk ke HP-ku. Ada nomor baru, aku berharap itu nomormu dan kau beri aku ucapan selamat ulang tahun. Aku tak akan marah kau terlambat lima belas menit saja. Lewat SMS-pun aku tak keberatan jika kau memang tak ada pulsa. Lalu kubuka SMS itu, rupanya berbunyi, ‘Mama minta pulsa…’, bagaimana aku tak marah malam itu?! Aku marah sekali!”

Leah tertawa dalam ‘kemarahan’nya.

“Itu titik puncak buat aku, Den. Aku tak sabar lagi. Karena bukan cuma sekali itu kau berlaku mengesalkan. Sebagai pacar, kau selalu datang belakangan. Waktu aku tiga hari di rumah sakit, kau juga tak jenguk aku. Semua teman jenguk aku, mereka tanya ‘di mana si Denis?’, ‘apakah dia sudah jenguk?’. Aku sudah pulang ke rumah, baru kau muncul. Aku kecewa sekali.”

Aku menghela napas, berusaha untuk tidak marah atau sedih mendengar itu semua. Tapi, tetap itu terasa menyakitkan. Aku ingin mencoba menjelaskannya, tapi kupikir, adakah gunanya? Sepertinya sudah telanjur terpatri di pikiran Leah, bahwa aku adalah cowok yang tak bisa memberinya perhatian. Lalu, untuk apa aku menyangkalnya? Adakah yang ingin kupertahankan?

Sorry, Leah, aku memang bukan pacar romantis. Aku nggak bisa show off. Oke, aku memang kurang perhatian….” aku memilih menyetujuinya saja. Berharap itu bisa membuatnya berhenti mengungkit-ungkit.

Leah merapatkan punggungnya ke kursi. Tangannya saling mendekap. Dia seperti orang kedinginan yang mencari posisi sehangat mungkin. Pastinya dia tak sungguh-sungguh sedang kedinginan. Itu cuma gayanya kalau sedang merajuk. Seolah dia malah tambah kesal saat aku mengakui kekuranganku.

“Kau pikir, cuma itu saja kesalahanmu, tak perhatian?” ternyata dia belum merasa cukup mengintimidasi. Dia mengungkit  lagi, “Kau juga penuh kebohongan, Den. Waktu aku tanya ke ‘Mama’-mu soal dirimu, dia seperti bingung. Dia balik tanya padaku, ‘kalian berteman, atau…?’, ‘Mama’-mu tak bisa meneruskan pertanyaannya sendiri. Aku yang teruskan, ‘aku pacar Denis, Tante!’. Kagetlah dia! Jadi itu alasan kau tak pernah mau mengajakku ke rumahmu? Selama ini kau tak pernah mengaku kepada orang rumah kalau kau sudah punya pacar? Baru tahu aku, selama ini aku adalah pacar yang tak pernah dianggap.”

God…. Aku kurang sabar gimana, sih?

“Oke, aku juga minta maaf soal itu, Leah. Aku memang nggak bilang ke mereka kalau kita pacaran. Soalnya, nggak penting juga mereka tahu kalau aku sudah punya pacar. Apalagi Mama Hilda orangnya kepo dan posesif. Aku yang cowok saja sering diminta nemenin ke pasar, ke mall. Kalau aku bilang punya pacar, aku takut kita malah kehilangan privasi,” jelasku kepada Leah, entah akan dipercaya atau tidak.

“Kau cari-cari alasan saja,” Leah mendengus sinis. “Kau pikir soal privasi, tapi kau malas memikirkan aku.”

Hfff… sudah kuduga, dia tak mempercayaiku. Aku pilih tak membalas lagi.

Kami mulai berhenti. Mengendapkan pertengkaran kami, diam beberapa waktu. Bu RT lewat di depan rumah, mungkin mau ke warung di pojok perempatan. Beliau menyapa dengan bahasa isyarat, anggukan dan senyuman. Aku membalas dengan cara yang sama, seolah tak ada yang sengit di beranda ini. Sampai Bu RT lewat lagi untuk balik ke rumahnya, aku dan Leah belum bicara.

“Mas Denis, tamunya dibuatkan minum apa tidak?” Mbok Marni muncul sambil berbisik di muka pintu.

“Air putih saja. Dia suka air putih. Yang dingin,” jawabku ke Mbok Marni. “Sekalian bawakan biskuit atau apa saja yang ada.”

Leah tertawa sengau. “Kali ini rupanya kau bisa mengingat hal kecil tentang aku,” dia menyindir.

“Aku capek bertengkar,” balasku datar.

“Aku lebih capek. Kau kira aku jauh-jauh dari Medan kemari cuma mau bertengkar?”

Cukup. Tak akan ada habisnya kalau melayani omongannya.

“Aku pikir-pikir, rupanya kau ada yang berubah. Dari cara bicara, kau tak sama dengan yang dulu waktu di Medan,” Leah mengungkit hal yang lebih ringan, tapi masih soal aku. Dia tertawa sambil mengenang, “Dulu kau suka sebut ‘lu-gue’ ke orang lain. Sekarang aku tak dengar kau bicara begitu.”

Untuk pembicaraan yang ringan ini, aku bersedia menanggapi. “Kalau aku bicara ‘lu-gue’ di sini, aku akan dicap ‘belagu’. Dulu aku bicara begitu karena teman-teman mainku seperti si Dodi, Oge, mereka kakak-adik dari Jakarta. Kamu juga tahu, lah… begitulah kalau mereka bicara. Dari awal aku tinggal di Medan, merekalah yang jadi teman mainku.”

Leah tertawa sedikit tergelak. “Ya. Kata mereka, kau takut berteman dengan orang Batak karena kalau bicara keras seperti preman. Tapi kau pacari juga aku! Lucu kali kau ini! Aku mau terima karena kau tampak keren sekali, apalagi kalau bicara seperti anak Jakarta. Sekarang, kau sudah jadi Jawa lagi!”

Sialan, kayaknya dia mulai bersikap rasial terhadapku? Aku bersikap rasial hanya dalam pikiran, tapi Leah mengucapkannya!

“Kamu menyesal aku jadi orang Jawa lagi?” ceplosku.

“Ya bukan begitu, lah. Sejak semula aku juga sudah tahu kau ini memang orang Jawa. Kau juga sudah tahu aku ini Batak. Lucu saja kau ini, kau pernah kira orang Batak itu serba keras. Padahal tak selalu begitu. Kau coba saja beli dari orang Batak yang jualan di pasar, dia kasih harga tinggi lalu kau tawar setengah harga, dia pasti menolak tapi tidak sampai marah-marah. Beda kalau yang jualan orang Jawa, dia tawarkan dagangan dengan sopan-lembut, tapi waktu ditawar setengah harga saja, dia ngomongnya langsung berubah tak enak!”

“Kamu baru beberapa hari di Jawa, sudah bisa menilai begitu?”

Tulang aku sudah lama di Jawa, dia yang nilai itu!”

“Terus, kamu juga menilaiku begitu?”

Leah tertawa masam. “Ya tak tahu, lah. Kau bicara di depanku begini santai, tapi mana aku tahu dalam hati kau sedang memaki-maki?”

Aku tersenyum kecut. Ucapan Leah tak terlalu meleset.

“Hei, kau pernah cerita punya saudara kembar, kan?” tiba-tiba Leah mengganti topik lagi. “Mana saudara kembarmu itu?”

Dia sekarang mengusik dengan pertanyaan yang complicated itu. Oh, God! Bagaimanapun, sepintar apapun kami berbasa-basi, ini tetaplah momen yang salah! Leah datang di saat yang benar-benar tak tepat. Sekarang dia menanyakan hal yang membuatku kebingungan. Bagaimana aku menjelaskannya? Dan perlukah aku menjelaskannya?

“Dia pergi,” jawabku singkat.

“Oh. Ke mana?”

“Piknik ke tempat kawannya. Di Bali,” tiba-tiba saja aku menemukan dalih, kuucapkan kebohongan itu secara spontan.

“Wow! Padahal ingin sekali aku ketemu kakak kau itu. ‘Mama’-mu bilang kalian mirip sekali. Seperti apa rasanya punya saudara kembar?”

“Seperti neraka,” jawabku asal.

Leah menggerutu tak jelas mendengar jawabanku. Tapi dia masih saja antusias bertanya-tanya. “Kenapa tampaknya sepi sekali rumahmu ini?”

“Ortu-ku kerja.”

“Di mana?”

“Ya di kantor mereka.”

“Maksudku apa pekerjaannya itu? Kantor Bank, Pemda, sekolah, atau…”

“Papa-ku di perusahaan periklanan. Mama-ku di asuransi.”

“Wah! Terus kalau tiap hari sepi begini, ngapain saja kau di rumah?”

Kesabaranku mulai hilang menghadapi pertanyaan Leah yang terlalu mengulik itu. Gigiku sudah menggegat. Untung Mbok Marni datang, membawakan air dan selodong biskuit. Kusambar gelasku, minum air dingin untuk meredam kepalaku yang memanas.

“Terima kasih, Ibu….” Leah mengucap sok manis ke Mbok Marni.

Mbok Marni cuma cengar-cengir tampak canggung. Berlalu tanpa komentar.

Leah minum seteguk. Lalu cepat-cepat melontarkan pertanyaan baru, “Hei, tadi ada temanmu, kan? Ke mana dia? Kenapa tak kau kenalkan saja padaku?”

“Nggak usah!” tolakku ketus. “Dia nggak tertarik sama kamu.”

Leah menonjokku lagi. “Kau benar jahat sekali!” tukasnya ngambeg. Lalu dia bangkit dari duduk, tiba-tiba nyelonong masuk ke dalam.

“Woi, mau ngapain?” aku tak bisa mencegah, tapi cemas juga kalau membiarkan dia seenaknya nyelonong ke dalam rumah.

“Aku sudah kira, pasti ada foto-foto di ruang tamu!” selorohnya tersenyum lebar. Dia melihati foto-foto di dinding. Foto Papa, juga foto Mama. Lalu terpana agak lama saat memandangi foto dua bocah kembar berkostum Jawa. Dia tertawa menunjuk foto itu. “Ini pasti kau, kan? Sama kakak kembarmu itu, kan? Umur berapa ini?”

“Tujuh,” jawabku sambil menjatuhkan diri ke sofa.

“Kenapa kalian pakai baju daerah macam ini? Kalian habis sunat, kah?”

Astaga! Pertanyaannya tambah kepo, sok tahu pula!

“Itu habis karnaval!” tukasku ketus.

Dia dengan tenangnya manggut-manggut. Beralih mengamati foto lain yang masih cukup baru, yaitu foto kami sekeluarga berpose bersama: aku, Dimas, Papa dan Mama. Rupanya Leah bisa membedakan antara aku dan Dimas.

“Kakak kau yang ini, kan?” dia menunjuk Dimas. “Memang mirip kalian. Tapi sorot matanya lebih kalem. Aku hapal sorot mata kau tak begitu.”

Dimas lebih kalem? Dasar sok tahu!

“Kamu hari ini langsung balik ke Jogja, kan?” lontarku, tak menggubris keasyikan Leah mengulik foto.

Dia berpaling memandangiku dengan jutek. “Kau ingin aku cepat-cepat pergi?” tukasnya.

“Lha, terus mau ngapain lama-lama di sini?”

Dia berkacak pinggang. “Kau tak punya perasaan! Tega sekali, sudah jauh-jauh aku mencari kemari, kau malah ingin aku cepat-cepat pulang?”

“Soalnya aku bingung, sebenarnya ngapain kamu mencariku? Mau kangen-kangenan? Oke, tapi aku sedang sibuk sekali hari ini!”

Leah tambah melotot. Dia menunjuk dirinya sendiri. “Aku pacarmu!”

Aku ikut melotot. “Lho, dua tahun aku tinggalin kamu, kamu masih anggap aku pacarmu?”

Leah terdiam. Bibirnya makin menyempit, berkedut-kedut. Dia duduk sambil mengulik-ulik ujung jemarinya. Lagi-lagi merajuk.

“Den, aku tak ingat kita sudah mengeluarkan kata ‘putus’. Kapan kita putus? Kapan tepatnya? Kau pergi tanpa membuat keputusan apa-apa. Kau ‘gantung’ aku!”

“Tidak,” aku menggeleng, menyangkal pernyataan Leah. “De jure, kita memang nggak pernah mengeluarkan kata ‘putus’. Tapi de facto, kita sudah putus sejak…”

“Kau pindah kemari?” Leah menerka lanjutan kalimatku.

“Lebih tepatnya, sejak kau pilih pacaran sama Oge!” tambahku menggarisbawahi. “Aku pernah menelepon Dodi, sekedar menanyakan kabar kalian. Dia ngasih tahu aku, bahwa sejak aku pergi, sebulan kemudian kamu jadian sama Oge. Yang awalnya cuma selingkuh buat manas-manasin aku, akhirnya kalian jadian juga. Jadi, kalaupun aku pernah menggantung hubungan kita, itu nggak lama. Cuma sebulan saja, lalu kamu dapat pacar baru.”

Wajah Leah memerah, tampak seperti tertampar!

“Kau pikir aku harus bagaimana? Nunggu kau balik ke Medan?” serunya.

“Lho, justru kalau kamu cari cowok lain setelah aku tinggal pergi, aku anggap wajar kok. Dan ketika kamu memilih itu, artinya kamu menganggap kita memang sudah putus, dan kamu sudah move on. Terus, kenapa di saat kamu sudah punya pacar baru, tiba-tiba mencariku kemari dan menganggap kita masih pacaran? Aku nggak ngerti, Leah?”

Leah mulai sesenggukan. “Den, kalau kau tak pergi, aku pasti tetap pilih kau. Kita pacaran delapan bulan, biarpun kau tak terlalu perhatian tapi kau tak pernah main-main dengan cewek lain, aku mengerti itu. Baru dua bulan aku sama Oge, dia sudah sama cewek lain!”

Sekarang dia curhat!

Aku ingin tertawa, tapi nggak tega. Sebenarnya juga nggak sampai hati untuk berkomentar, tapi kurasa inilah giliranku untuk benar-benar ‘membalas’ tamparannya.

“Leah, kamu pikir aku nggak sakit hati mendengar kamu dipermainkan Oge? Aku sakit hati! Tapi aku juga harus menyalahkan kamu, karena kamu juga yang awalnya manfaatin dia buat manas-manasin aku.”

Jadilah Leah menangis lagi. Mewek ala drama Korea!

Membongkar sebuah ‘kuburan’ dan mengulik bangkai masa lalu, sama sekali tak menyenangkan. Mungkin kata-kataku kejam, tapi kapan dia akan dewasa kalau tak pernah disodori kejujuran? Dan kapan aku bisa move on kalau tak berani tegas padanya?

Aku menegaskan sehalus mungkin padanya, “Aku bersalah karena ninggalin kamu secara sepihak. Aku minta maaf, Leah. Kupikir, kamu nggak butuh kata ‘putus’. Karena kamu sudah memutuskanku dengan sendirinya sejak kamu memilih cowok lain. Kalau ada yang harus memberi penjelasan, seharusnya itu adalah kamu yang menjelaskan padaku: kenapa kamu memilih cowok lain? Waktu itu sebenarnya aku menunggu penjelasanmu, tapi kamu nggak pernah menemuiku. Lewat telepon juga tidak. Kenapa baru sekarang kamu mencariku? Mau mengulang hubungan kita? Itu nggak akan memperbaiki apa-apa, Leah. Aku minta maaf untuk semua sikapku yang salah, dan aku ingin kamu berhenti berharap padaku. Aku sudah capek memelihara masa lalu itu, karena cuma ada marah dan kecewa. Kita anggap selesai saja. Masih ada banyak harapan di luar kita, kenapa kita tak ke sana… dengan jalan masing-masing saja?”

Leah terisak. “Kenapa harus dengan jalan masing-masing?”

“Karena saat bersama… kita sudah terbukti gagal.”

Leah menatapku dengan mata sembab. Agak lama. Lalu menggumamkan pertanyaan, sebuah dugaan, “Kau sudah punya pacar di sini?”

“Aku heran juga kamu baru tanya sekarang,” aku tersenyum sedikit mencibir. Lalu menggeleng, “Nggak. Sejak pergi dari kamu, aku nggak pacaran dengan cewek lain. Belum.”

“Kenapa?” Leah melepas sedikit tawa sinis di tengah mimik sedihnya. “Kau mau pamer padaku, kalau kau tipe cowok setia?”

Aku menjawab sedikit berkelakar. “Tidak! Justru aku merasa plin-plan. Kamu pikir aku nggak ingin punya pacar baru? Ingin! Tapi sesuatu yang belum tuntas selalu jadi ganjalan. Selama ini aku berusaha melupakannya, susah-payah… tiba-tiba sekarang, booom! Kamu malah muncul lagi di depanku….”

Leah sedikit mendongak, menerawang. Dia tertawa galau. “Jauh-jauh aku dari Medan,” dia mengulang gimmick itu untuk kesekian kalinya, “kau pikir aku lakukan demi mendengar kau menampikku? Sulit aku terima ini!”

“Kamu jangan naif, Leah. Sudah dua tahun, seharusnya kamu bisa lupakan aku. Toh, kamu juga sudah pacaran dengan Oge. Kalaupun kalian juga sudah putus, kamu masih bisa temukan cowok lain. Kenapa malah pilih jauh-jauh mencariku?”

“Kau cinta pertamaku, aku juga cinta pertamamu. Aku yakin, kau tak akan begitu saja lupakan aku,” setelah berucap, Leah menatapku dengan mimik dramatis. Atau, sengaja dibuat dramatis. “Aku menyesal pernah bikin kau kecewa. Tapi aku yakin kita masih bisa memperbaikinya. Ayolah, Den?”

Aku berusaha untuk tak terpengaruh kalimat melankolis itu. “Leah, aku tentu tetap ingat kamu. Tapi mengingatmu, bukan berarti masih mencintaimu.”

Pelan-pelan, raut muka Leah menajam. Makin tajam, dan menjadi marah. Sekarang dia tak hanya punya kuncir kuda, tapi juga tanduk di kepalanya!

“Tapi aku berterima kasih juga sama kamu,” aku buru-buru menyusulkan satu pernyataan lagi, “karena dengan kemari, aku bisa mengatakan semua ini langsung padamu. Selebihnya, maaf… aku benar-benar minta maaf. Kita sudah… end!”

Dan meledaklah dia! Aku dihujani kepalan tangan beserta amukannya!

“Dasar sialan kau! Kau blokir aku di Facebook! Kau ganti nomor telepon! Lalu sekarang kau berterima kasih karena aku sudah datang kemari! Tapi tetap kau tolak aku! Jahat sekali kau! Sialan kau! Aku benci kauuu…!”

Aku menangkis semua pukulannya yang nggak serius itu. Aku masih hapal, begitulah kalau dia sedang ‘meledak’! Percayalah, dia tak sungguh-sungguh merasa teraniaya. Dia lebih tegar dari semua aksi lebay-nya.

“Oke!” akhirnya Leah menghentikan pukulannya. “Kau memang jahat sekali! Tapi ingat ini: besok aku akan kemari lagi!”

“NGAPAIN????” aku benar-benar gondok.

“Sekarang kau boleh menolakku. Tapi kau tak boleh benci aku! Aku masih kangen. Aku tak mau menyerah!”

“Tapi besok aku mau pergi!”

“Banyak kali alasan kau? Mau ke mana pula kau?”

Aku membaca gelagat yang gawat. Leah tak boleh tahu rencanaku, atau semua akan berantakan! Aku mengarang alasan, “Aku mau pergi jauh. Aku juga mau mengurus persiapan kuliah.”

“Iya, ke mana?” Leah mendesak.

Aku tutup mulut.

Leah merengut. “Oke! Kau kira aku percaya? Kau tampak sekali seperti orang yang berbohong. Sekarang aku akan pergi! Tapi besok aku akan main kemari lagi!”

Dia menuju ke beranda. Memungut tas kecilnya yang teronggok di lantai. Lalu berjalan cepat-cepat meninggalkan rumah. Aku mengikutinya sampai pagar.

Sorry, Leah. Kamu memang datang di saat yang nggak pas!” kataku di muka pagar. “Besok aku beneran mau pergi. Sebaiknya kamu pulang saja ke Jogja. Maaf, ya…?”

“Aku belum ingin pulang ke Jogja. Aku masih ingin jalan-jalan di Solo ini. Sekalian cari hotel,” ujarnya tenang.

Aku memegang tangan Leah, mencegahnya. “Menginap di hotel? Leah, kamu ini cewek, sendirian! Sebaiknya pulang ke Jogja saja, lah!”

Leah malah tersenyum genit. “Makanya, biar aku tak sendirian, harusnya kau temani aku!”

Aku melepaskan tangannya. “Ogah!” jawabku.

“Ya sudah, tak perlu kau atur aku, lah!” Leah melanjutkan langkahnya.

“Tapi aku bisa mengantar, paling nggak sampai gerbang komplek?” aku menawari.

Dia mendadahkan tangan tanpa menoleh. “Sudahlah, tak usah. Aku tahu kau tak tulus.” Dia tertawa, dan berucap lagi, “Besok aku kemari lagi, ya!”

Aku terpana memandangi perginya. Sampai sosok semampai itu menghilang, berbelok di perempatan. Aku masih berdiri di sini meski sosoknya sudah tak tampak lagi. Ditinggalkan dalam perasaan serba salah ini!

Ya Tuhan… kenapa aku pernah pacaran dengan cewek seperti dia?

 
 
😕 😳
 
 
 
 

 bersambung…

 
 
 
 

 

128 responses to “Karung 7

  1. noelapple

    14 Februari 2014 at 18:58

    Selamat kepada yang berhasil memecahkan password! Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan komentar. 😉

     
  2. robin

    14 Februari 2014 at 19:32

    hahahahahha kalo disuruh mecahin kode gini terus bisa nambah pinter nih,

     
    • noelapple

      14 Februari 2014 at 19:35

      Ini komentar pertama. Tapi yang pasti ini bukan komentar terbaik.

       
      • robin

        14 Februari 2014 at 19:47

        iyalah… seperti cinta pertamanya denis, kayaknya bukan cinta terbaik juga….

         
  3. khen

    14 Februari 2014 at 20:00

    Makasih bg noel yang telah memberikan kelanjutan karung 7 dengan pasword. Baca klue nya jadi ingat pelajaran minggu lalu tentang kerajaan hindu. Dan yess berhasil kebuka bg Hehehe. karyanya lanjutin terus yo bg. Semoga sukses jadi penulis yang digemari banyak orang 🙂

     
  4. noelapple

    14 Februari 2014 at 20:01

    Dear para Pembaca,

    Aku mengerti kalian yang berhasil memecahkan password ini pasti merasa bangga dan senang. Aku tahu itu. Tapi, menu utama di halaman ini adalah lanjutan CRA 3, jadi ketika kalian berkomentar di halaman ini maka komentarilah isi cerita. Ketika kalian berkomentar di sini otomatis aku tahu password sudah kalian pecahkan, jadi tak usah mengungkitnya lagi. Oke? Maaf, atas beberapa komentar yang aku delete. Terima kasih.

     
  5. Chimaya

    14 Februari 2014 at 20:03

    saya suka Denis~ >.<
    duh, emg menye bget itu si Leah. Jd gra'' itu toh si Misha d gantung, blum bgitu bisa move on si Denis ternyata. Sini Denis, move on ny sama q aja :* hoho
    klo dri pw ny, q jd curiga si Dimas ini mlancong d Singaraja. Tp tak taulah. Hany berhrap si Denis nemuin Dimas dg selmat 'n gag kena amnesia kya' d sinetron. Hehe
    see u d chap depn mas 😉

     
  6. sasadara

    14 Februari 2014 at 20:21

    yesss,, CORREECT… dapat ponten seratus PR ku bang.. hahahhaha…

    kok kayak nya ada yg g pas y bg??,, antara karakternya si denis dgn cara pnuturanmu.. di CRA 3 ini kan si denis yg jadi tokoh utama.. tp,, kyak masih terbawa dgn cara pnuturan season nya dimas yg lembut slow melow di CRA 1&2…. jd kyak g cocok aja sama si denis.. kyaknya… ehheheh… ntah perasaan ku aja ato gmna.. g tau ding.. heheheh

    oya satu lagi ya bg noel yg cakep n baik hati,, itu si denis di cepatin lah berangkatkan k bali… biar cepat ktemu dimas… udh penasaran sama kabarnya dimas soalnya.. ehehheh

     
    • noelapple

      14 Februari 2014 at 20:41

      Beda, kok. Dimas lebih mellow, lebay, dan lebih imajinatif–sering memakai perumpamaan dan peribaratan. Denis lebih to the point. Kalaupun narasi Denis terasa ‘lembut’, sebenarnya adl penggambaran scr tak langsung bahwa dia sedang memiliki beban berat dalam masalah yang dihadapi keluarganya. Karena itu Denis lebih hati-hati bicara dalam narasinya dan lebih serius. Tapi dalam dialog-dialog, dia masih ceplas-ceplos, kok. Dia masih sebagai cowok yg ‘tega’ mengatai ‘gombal’ kepada cewek, bahkan tak mudah terharu ketika seorang cewek menangis berkali-kali. Denis masih ‘cadas’, tapi tentu juga lebih dewasa. Beda dong, kalau dibandingkan dia dua tahun lalu.

       
      • sasadara

        14 Februari 2014 at 23:13

        oowwhh,, gitu toh,, berarti cara akunya yang baca yg masih terbawa dengan season sblumnya…. *back to karung 1.. biar dapet feel nya lagi… ahahah

         
  7. binary

    14 Februari 2014 at 20:35

    saya kira akan ada perkembangan tentang dimas. ternyata saya salah 🙂

     
    • noelapple

      14 Februari 2014 at 20:43

      Baru Karung 7. Dulu Dimas nembak Erik aja di Keranjang dua puluhan.

       
  8. hary092

    14 Februari 2014 at 20:47

    seperti dugaanku di kantong 6 kemarin, pasti ada konflik antara dimas dan leah…
    konflik masa lalu dan pasti masih akan ada konflik di masa sekarang…
    dugaanku sih begitu, dilihat dari CRA 1 & 2 yang sampai lebih dari 30 part, ini masih karung 7 lho kawan, nggak asik kan kalo denis dan fandi langsung berangkat ke bali cari dimas…

    lagi pula mas noel prnah nulis kalo ngga salah yang intinya CRA3 ini akan lebih banyak denisnya.
    yah pokoknya kurang lbih begitu deh…

    denis akan lebih banyak porsinya?? hemm
    di imajinasiku di CRA3 ini si kalo nggak masalalunya, ya masa sakarang dan kedepanya.
    1. masa lalunya: yaitu yang sudah kita ketahui “leah”, pacar dimas masalalu dan konfliknya. menurut saya mungkin masih ada cerita lain lagi ya mas noel…

    2.sekarang dan kedepanya: mungkinkah ada konflik antara Leah dan Misha? (jangan ya mas noel, berasa liat sinetron) 😀

    3. terahir dan paling ragu ngebayangin ini : apa mungkin leah ikut denis ke bali. entah itu diam2 atau denisnya terpaksa ngebolehin ikut. secara ini baru karung 7 mas noel…

     
  9. Diyuna

    14 Februari 2014 at 20:51

    kenapa aku merasa denis tak sedang ngobrol dg orang batak.. Batak punya logat yg khas tp aku merasa leah bicara seperti kebanyakan orang jawa. Ato aku yg gak bisa apresiasikan anganku dg berlogat batak…..

    Oh ya juga mau nanya sesuatu .. Emang semua wanita medan harus dipanggil butet ya bang noel?

     
    • noelapple

      14 Februari 2014 at 21:14

      Aku sudah mengira bahwa akan ada yg mempermasalahkan logat. Tapi aku menduga banyak pembaca yang juga melupakan detail: bahwa Denis tidak berbicara dalam bahasa Batak. Ketika di Medan Denis lebih banyak bicara dalam bahwa Indonesia-Jakarta, itu dijelaskan jg scr implisit di Karung ini. Sebagai pacar Leah paham itu, jadi dia tidak mengajak Denis bicara dalam bahasa yang total-Batak. Tapi tetap ada clue bahwa Leah tidak melupakan ke-Batak-annya saat bicara. Yaitu fakta bahwa orang Batak lebih memilih kata ‘rupanya’ dibanding ‘ternyata’. Dan juga lebih memilih ‘kau’ dibanding ‘kamu’. Itu bisa dilihat di dialog-dialog Leah. Soal ‘Butet’, itu adalah panggilan tanda sayang seorang ayah/ibu kepada anak perempuannya. Tidak hanya di Medan, tapi umumnya orang Batak mengenal istilah ‘Butet’ tsb.

       
  10. frisaldy

    14 Februari 2014 at 20:55

    Wah. Sekali masukin password, langsung goal. Untung aku suka belajar sejarah. Hehe

    Entah kenapa setelah Leah muncul dengan wataknya yang begitu, jadi kangen sama Misha 😀

    Gak sabar nunggu kelanjutannya.

    Happy Valentine’s Day and Pray for Kelud 😦

     
  11. Alxenix

    14 Februari 2014 at 21:07

    Gw yg ke 2 …. Hahhahahaaa. Salam buat bang noel.
    Bingung dengan hubungan leah dan denis … Terlalu berbelit belit dan kekanak2 an. saling menyalahkan 1 sama lain.
    Si leah juga karakternya keras kepala, nekad, dan semua karakter batak ada di dia hahahhaa … gk terima di putusin padahal dia salah tapi semua kesalahan juga gak mutlak kesalahan dia.
    Denis juga … Selalu mencari2 celah buat meng skak mat leah. Tapi kasihan juga sih denis, belum kelar masalah, datang masalah lain, tapi … Gw yakin masalah leah itu masalah sepele yg bisa di selesaikan denis dengan bijak. (Pan denis udah mulai dewasa) hehehehhe …
    Gw berfantasi. malah nanti si leah ini terus2 an ngejar denis karena sifatnya yg keras kepala, pantang menyerah dan berani,
    Di liat dari kegigihan nya mengejar si denis sampai ke solo, salutt. Yahh mungkin si leah juga merasa bersalah ama denis karena kesalahan nya terlalu fatal dengan menggandeng ogie jadi pacarnya setelah denis meninggalkan nya begitu saja.

    Nahhh buat misha … (Siapp siapp mish, saingan beratmu muncul) hahhahahaaaaaa

    Denis … Makin pusing

    Dimas … Mungkin leah adalah celah buat jadi bahan olok2 an nya dia ke denis. Sekembali nya ia dari bali

    Ben … Kayak nya ben akan tertarik dengan sosok leah yg kuat dan urakan. Sama seperti ben dulu yg urakan.

    Kalo erik … Gw merasa di cra3 ini gk banyak menggunakan erik, terkecuali karena ada nya misha.

    Fandi … Hmmm. Pasti ntar ortu nya fandi masukin fandi ke pesantren … Hahahhahahahhaaa.

    Ooo iya, pengen sihh tradisi adat dan budaya batak dimasukin juga di cra3. Soalnya biarpun gw batak tapi gw juga gk terlalu begitu faham dengan adat istiadat batak, apalagi sebutan2 nya. Seperti opung doli, opung boru, amang uda, inang uda, lae, pariban dll. Hehehehheee.

    Maaf bang noel cuma prediksi doank.

    Ok bang noel terima kasih atas cerita nya, semoga sehat slalu dan sukses slalu. Happy valentine bang noel.

     
  12. dalijo

    14 Februari 2014 at 21:10

    sorry agak nggak sika dengan karung 7, pertama seakan2 tokoh leah hadir begitu saja tanpa ada sangkut pautnya dg cerita2 sblmnya,nth krn memang tokoh leah baru diciptakan stelah CRA sejauh ini,ato memang tokoh leah sdh diciptakan di awal perencanaan CRA. saya membaca tokoh leah sengaja diciptakan untuk mmberi efek penasaran pra pembaca atas kelanjutan CRA,yang ada nantinya mirip kyak sinetron tukang bubur,yg gk kelar2 n banyak tokoh dan alur yg tiba2 diciptakan. gitu noel… suwun

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:46

      Jadi sebaiknya CRA 3 ini tak ada karakter baru gitu? Jadi CRA 3 harus bicara soal Dimas meluluuuu gitu? Jadi Denis tak boleh memilik lembaran hidup sendiri gitu? Jadi sebaiknya CRA 3 sudah tamat di Karung 8 gitu? Oke deh. Karung 8 CRA 3 tamat aja ya. Dimas langsung dijemput, pulang, selesai. Iya deh.

       
  13. Jagad Jabal Ulyaa

    14 Februari 2014 at 21:29

    Yup, tidak disangka-sangka ternyata part ini “dilencengkan” dari cerita tentang dimas.
    Memang, Noel, hampir semua pembacamu pasti berharap bahwa part ini akan meneruskan Karung 6 yang berbicara tentang Dimas. Tapi, ternyata tidak!

    Aku yakin mereka pasti kecewa. Selain kecewa karena tidak berbicara tentang Dimas, Karung 7 ini juga dirasakan agak datar, nggak ada klimaksnya. Tapi, aku melihatnya lain.

    Meski demikian, di sisi lain aku melihat bahwa Karung 7 ini berperan sebagai sebuah polesan warna yang berbeda di CRA 3. Dalam ilmu bahasa Arab, penyisipan cerita seperti ini dinamakan mu’taridhoh. Artinya, cerita sisipan yang berfungsi mengalihkan pembicaraan untuk sejenak.

    Dan tebakanku, di karung-karung berikutnya cerita Denis-Leah akan dimunculkan lagi untuk dikolaborasikan dengan cerita Denis-Misha. Dan itulah yang aku maksud dengan “aku melihatnya lain”. Bukan begitu? Hehehe…

     
  14. blackshappire

    14 Februari 2014 at 21:32

    ‘Ya Tuhan… kenapa aku pernah
    pacaran dengan cewek seperti dia?’

    Bang Noel ane belum pernah pacaran sama cewek, tapi melihat sikap Leah yang bang Noel paparkan di atas benar-benar sedikit banyak membuat ane paham tentang sikap cewek yang bisa berubah sewaktu waktu (meski tidak semua seperti itu kali ya).

    Dan yang membuat ane heran, gimana bisa seorang Denis yang menurut ane adalah orang yang tidak suka bertele tele bisa pacaran ma Leah itu….

    Terus terang part ini bukan part favorit ane, karena pertama ane sudah terlanjur penasaran dengan nasib Dimas (yang mana pada part ini sama sekali tidak ada perkembangan sama sekali). Alasan kedua sikap Leah yang menurut ane lebay bin njengkelno itu bikin ane sebel ma dia.

    Tapi salut juga sih ma Bang Noel, setting yang sebenarnya cuma beberapa saat itu tapi bisa dipaparkan sepanjang ini dan parahnya lagi bisa bikin ane gregetan ma Leah, gud job lah buat Bang Noel
    Oh ya satu lagi, ada sesuatu yang bisa dipetik di sini, penjabaran akan sikap orang batak, selama ini ane berpikiran orang batak itu keras keras tapi ternyata ada sisi positif juga di situ…

    Okay bang, sepertinya sudah terlalu panjang koment gaje ane ni, mohon dimaklumi…
    ditunggu karung berikutnya 🙂

     
  15. Al

    14 Februari 2014 at 21:35

    Pertama, ceritanya cukup bagus di Karung 7 ini..Makasih buat mas Noel yang udah update lagi.
    Kedua, komentar aku buat Karung 7 ini : ceritanya terlalu fokus ke hubungan Denis dan Leah (Mungkin, karena ini pakai sudut pandang Denis ya. Padahal berharap banget ada lanjutan tentang Dimas, secara saya penggemar Dimas hehe..) Kalau menurutku sih, maaf, pas bagian Denis sama Leah ngobrol tentang masa lalu pas Leah jalan sama cowok lain dan lainnya itu agak membosankan, kurang dapat greget. Tapi poin plusnya di karung 7 ini, tokoh Denis muncul banget dengan karakternya yang santai, ceplas ceplos, dan cuek. Itu aja sih, semoga Karung 8 dan kelanjutan pencarian Dimas segera dirilis….Makasih 🙂

     
  16. ray_har

    14 Februari 2014 at 21:51

    jujur saya tidak suka karung ini, bukan karena tidak bagus, tapi semata2 karena selera saya saja (yg tdk suka karakter cewek model Leah, menyebalkan banget!) atau krn saya emg tdk suka cewek? entahlah. yg jelas dialog2nya cuma saya baca sambil lalu dan sambil mendongkol pula.. jangan2 ini cewek bakalan ngikut ke bali?? 😦 tp tdk suka part ini, bukan berarti saya tdk ingin baca part selanjutnya, saya msh akan tunggu kelanjutannya, mohon maaf dan terima kasih banyak 🙂

     
  17. royakhinu

    14 Februari 2014 at 21:57

    sebenernya aku ingin membahas tentang frangipani itu,,,

    tapi sepertinya telat… hahaha tak apa lah

    dikarung 7 : nama… ya … aku terkesan saat bang noel menulis ” fandi …….itulah nama dariku untuknya ”

    . . : bener kata leah cinat pertama ,,, sejelek apapun dia,sebejat apapun dia …walau tak lg bisa memiliki dia selalu terselip dihati

    piss bang kalo ndak nyambung ,,, jujur aku bener kepincut sama puisi frangipani mu bang….

     
  18. joko

    14 Februari 2014 at 23:30

    aaaakkk..
    kapan ketemu dimasnyaaa..
    kangen sama sosok dimas..
    hahahaha

    tp di cra 3 ini saya ngerasa ngelihat sisi lain dr denis yaa..
    terlihat lebih cerdas (atau cerdik??) dan lebih dewasa…
    walaupun masih tetep keras seperti di cra 2..
    cuma lebih bisa ngontrol diri…
    hihihihi

    dari segi alur..
    ngerasa terlalu banyak banget konflik ya kayaknya..
    atau efek dari pemikiran si denis ya???

     
  19. ayuna03

    14 Februari 2014 at 23:58

    duh . kok ada si leah sih . ceritanya ngembangnya kejauhan . nggk terlalu suka sih . aku lebih suka malah cerita dari denis yang nyari dimas . bukan malah denis yang ketemu pacarnya . dan pasti nanti 2 sampai 3 kantong berikutnya adalah cerita denis sama leah . semoga saja tidak . karena saya fikir meskipun permainan kata katanya bagus tapi (maaf) ya bang noel saya sedikit bosan membacanya .. jadi mending cepet disudahi basa basinya .. kangen banget sama dimas soalnya .. ya bang ya . plisss

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:40

      dan kumis saya gondrong.

       
  20. ardian

    15 Februari 2014 at 00:15

    Leah lebih nyebelin orang nya… Jadi dah sepantas nya denis buang dia jauh2, dan jgn sampe denis balik lagi sama dia…

     
  21. ayuna03

    15 Februari 2014 at 00:25

    duh , kok pake ada acara si leahnya sih , ceritanya ngembangnya jangan jauh jauhlah bang , kalo aku sih nggk terlalu suka sih sama yang ini , lebih suka yang denis nyari dimas , buka denis yang ketemu mantannya , kalo cuma hiasan sih oke aja ,, tapi kalo dibaca dari endingnya yang kayaknya si leah bakal sering main ke rumah denis itu , kayaknya 2 sampai 3 kantong kedepan ini bakalan full nyeritain si denis sama leah deh , semoga saja tidak , meskipun jurus andalan kak noel dalam permainan kata kata dicerita ini itu keren tapi (maaf) , aku nggk terlalu membaca semuanya , bosen aja gitu ,, jadi cpeet cepet aja ya disudahi untuk segmen yang satu ini ,, plis lah bang noel , kangen fandy, kangen dimas juga ,, tapi yang paling best tetep bang noel ,, terima kasih bang

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:34

      jadi, kamu pikir aku menulis cuma buat nyenengin kamu aja? kenapa kamu nggak bikin cerita sendiri aja?

       
      • hayabusa ryu

        17 Februari 2014 at 22:38

        saya suka dengan komentar ini (punya mas noel). pendek tp ya sperti biasa, pas kena di dada. hahahaha. saya selalu senang mas noel klo lg gini. ini komentar terbaik (tetep punya mas noel) menurut saya.

         
  22. Gabriel

    15 Februari 2014 at 00:30

    Mas Noel, saya sudah mengikuti CRA sejak seri 1 dan meskipun saya straight, tapi saya bergaul di dunia kepanggungan yang tak bisa dipungkiri berisi macam-macam ‘orientasi’, jadi saya sangat open minded soal hal ini. Dan ketika saya disarankan teman untuk baca CRA, saya sangat tertarik karena CRA tidak seperti cerita2 fiktif dengan gay theme lain yang cenderung terlampau mellow dan terbawa perasaan. Cerita garapan mas Noel jauh lebih realistis dan objektif sehingga pembaca straight seperti saya pun bisa terbawa dalam alur bagaimana sebenarnya sudut pandang (khususnya soal percintaan) dari dunia gay. Nah, dalam 2 CRA pertama saya adalah silent reader karena tidak mau banyak berkomentar karena takut ujung2nya sok tahu. However memasuki CRA 3 yang dari awal memakai sudut pandang Denis, saya jadi lebih tertarik dan penasaran soal sudut pandang seperti apa yang akan mas Noel pakai (khususnya dalam soal percintaan) mengingat sangat sulit menggambarkan apa rasanya percintaan dalam sudut pandang orientasi yang bukan orientasi kita sendiri. Tapi di Kantung 7 ini menurut saya mas Noel sangat berhasil menciptakan pola cerita yang terbilang ‘baru’ di CRA, yaitu straight love, dengan proporsi yang pas, tidak terlalu rumit dan dewasa (sesuai proporsi Denis), tidak lebay, justru tergolong sweet, dan dapat dipahami pembaca dengan orientasi apapun. Can’t wait for the other Kantungs Mas, and from now on kayaknya saya bakal lebih banyak comment 😀 God Bless!

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:32

      Saya suka komentar ini. Bukan karena memuji saya. Tapi karena wawasan yang ia sampaikan tentang complicated-nya sudut pandang cinta dari orientasi seksual yang berlawanan. Ini juga belum dipahami oleh banyak pembaca CRA, bahwa memilih tema gay dari sudut pandang seorang straight–yang punya saudara gay– adalah sebuah pilihan yang bagi saya paling menantang. Di sisi lain, CRA sekaligus memberi kesempatan yanga adil kepada Denis untuk memperkenalkan dirinya dengan narasinya sendiri–bukan lewat narasi Dimas. Dan mengangkat cinta yang straight adalah adil juga, karena kita tak bisa menyempitkan kisah cinta hanya ke soal gay saja (mentang-mentang penulisnya gay). CRA 3 adalah sebuah itikad membuka segala kemungkinan tentang tiap karakter di dalamnya, juga tentang cinta itu sendiri.

       
  23. Gabriel

    15 Februari 2014 at 00:34

    Oh iya, Leah. Menarik mas. Semacam match yang seimbang buat Denis 😀 Semoga dia lebih sering muncul di CRA 3.

     
  24. onky

    15 Februari 2014 at 00:36

    Wah bakal jadi cinta segi tiga nih antara denis, misha, dan leah 🙂

    Untuk ukuran cewe leah terlalu nekat >_< wkwkwkwk termasuk tsundere nih hohohohohoho

    Tadi pas baca pengennya ada adegan misha kerumah denis dan ketemu leah 😀 pasti seru tuh wkwkwkwk tapi ternyata enggak

    Tapi utk chara cewe disini aku lbh suka misha 🙂 hehehehehehe kak kalau bsa chara" lama keluarin juga 😀 kayak anita mungkin :3

    Kak kapan nih leah ma misha di temukan 😀 ???

    Etto lanjutannya saya do'akan segera keluar 🙂

    Makasih kado palentin'nye

     
  25. Azwar

    15 Februari 2014 at 00:42

    Masalah baru, akan ada alur cerita yang baru.. Namun kelihatannya denis orang yang teguh.. Sikapnya dewasa..
    _love_you_denis_

    ditambah karakter leah yang keras kepala, makin rumit perjalanannya!!

    Mas Noel :
    kanapa si ben gak d ungkit lg d akhir cerita, seolah” dia menghilang._ menurut aku tadi’a akan ada ben lg yg d munculin walau sdikit, jd kita tau si ben gimana kbar’a stelah dialog pnjang denis dan leah..

     
  26. opor94

    15 Februari 2014 at 00:48

    Hehehe… Selalu nggak bisa “baca satu kali dan selesai” tiap baca CRA atau tulisannya Mas Noel yang lain. Kudu titi temenan ki. Lanjut! :))

     
  27. dodhisayandas

    15 Februari 2014 at 00:50

    inspiratif, penuh konflik, dan tidak lupa watak denis benar-benar tergambar! tidak saja denis tapi juga Marlia, cewek yang satu ini banyak menginspirasi(terkhusus saya) bang, cara bang noel menggambarkan sosok Marlia membuat saya teringat teman satu kampus yang kebanyakan asal Medan, dialog yang abang buat benar-benar membuat saya bisa menggambarkan sosoknya. cewek yang bicara meledak-ledak, terdengar cerewet, tapi tingkahnya itu yang bikin kangen, terkadang terasa kesal tapi akhirnya hati bisa dibikin luluh. denis yang aku pikir kuat ternyata jika ketemu dengan wanita seperti ini bisa luluh juga, hahaha (ya terlepas denis tulus atau tidak mengantar marlia aku yakin sikap denis itu hanya sekedar ingin menunjukkan kalau dia bertanggung jawab)

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:26

      Saya suka komentar ini. Karena berani memberi klarifikasi tentang bagaimana tipikal orang (perempuan) Batak itu.

       
  28. aaron steve

    15 Februari 2014 at 00:56

    CRA3 = Cinta Segi 3?? Denis dengan Leah dan Misha, nah si Dimas dengan Fandy dan….. jangan-jangan ada orang ke-3 saat Dimas di Bali. Betulkah itu bang Noel?

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:24

      Komentar ini pendek. Tapi melemparkan isu yang bagi saya sangat menarik. Baru kali ini ada yang menyinggung persepsi ini! Saya suka!

       
      • aaron steve

        16 Februari 2014 at 17:31

        thx bang Noel atas sukanya dengan komentar saya (jadi kegeeran sendiri nihh hehehe) sebenarnya di karung 6 akhir sudah tercium mau dibawa kemana cerita ini, namun tetap saja kisah CRA ini tetap menarik untuk diikuti karena yang saya baca dari CRA 1-2 sang kreator mampu menyuguhkan setiap episode sangat detail dan menarik dan mampu menyelesaikan pokok cerita dari episode tersebut sehingga pembaca siap untuk melanjutkan ke episode berikutnya dengan pokok cerita yang baru lagi.
        Saya cuma mau memberi saran ke sang kreator dan kru CRA agar kelanjutan tiap episode diposting secara “disiplin” (wuih, kejem amat yaa penggunaan katanya) mengingat penggemar CRA semakin banyak dan setia menunggu kehadiran CRA. sebagai contoh, untuk karung 10 sudah harus selesai paling tidak sebulan sebelum waktunya diposting. yah seperti itulah. saya harap CRA3 tidak bernasib sama dengan HBR.
        Salut untuk bang Noel, tetap berkreasi dan berikan sebuah karya yang menarik, menghibur dan mengedukasi.

         
  29. gilangsinggih

    15 Februari 2014 at 01:12

    Sebuah karung tentang masa lalu Denis.
    Menurutku, alurnya begitu to the point,
    kenapa tiba-tiba dialog panjang di awal cerita?
    tapi mungkin ini juga bagian dari karakter Leah yang sedang marah?
    Terlalu panjang/kebanyakan dialog mungkin?
    Tapi, jika diamati di CRA 3 ini, karakter Denis berkembang dengan baik, jadi lebih dewasa atau lebih mengerti gitu lah.
    Dan kalau boleh bilang ya, Mas, penggunaan tanda ! kelihatannya terlalu banyak, walau mungkin maksudnya untuk menegaskan sesuatu gitu ya?
    Hehehe.
    Entahlah. Yang penting ada Denisnya.
    Nuhun, Mas Noel.

    n.b. Mungkin bisa ada karung lain tentang masa lalu Denis di Medan lainnya? Gayanya kencan dengan Leah atau pas
    hang out dengan teman-teman cowoknya di Medan? Hehehehe.

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:23

      Pertanyaannya, mengapa di saat tanda baca yang banyak dipakai adalah ‘titik’ di akhir kalimat, tidak ada yang protes? Sedangkan ketika ‘tanda seru’ kelihatan dipakai beberapa kali dalam satu paragraf, langsung dikritik? Esensi pemakaian tanda baca itu bukan pada banyak-sedikitnya intensitas dalam satu paragraf. Bukan itu. Namun adalah tepat-tidakkah tanda baca tersebut diletakkan. Untuk kalimat dengan muatan emosi yang lebih tinggi, tanda seru-lah yang tepat. Kalau selalu diganti tanda titik demi agar seolah-olah terlihat rapi, justru secara emosional menjadi datar. Jadi, mengapa ketika suatu kalimat diakhiri tanda ‘titik’ tidak pernah diprotes? Apakah tanda seru tidak ‘legal’?

       
  30. ardianrizkytahir27

    15 Februari 2014 at 01:21

    Aku setuju sama denis, kalau si leah itu terlalu lebay, jadi pantes dan sudah seharusnya denis buang dia jauh2, sudah bikin hati denis teriris, sekarang muncul lagi, dah kaya jelangkung,,, mudah2an denis tetapkan hati nya untuk misha, dan tidal CLBK ke si leah….

     
  31. irgi

    15 Februari 2014 at 01:29

    Karung ini menyita waktu untuk kelanjutan cerita dimas,
    Menjelaskan kenapa misha dan denis belum pacaran,
    Dan mungkin Leah ini juga akan mengubah rencana denis dalam pencarian dimas nantinya…

     
  32. teyo

    15 Februari 2014 at 01:31

    Di karung 7 lebih menjelaskan siapa leah dan bagaimana permasalahan hati seorang denis yang bersifat cuek dan ‘sadis’ tapi memiliki sifat ‘lembut’ juga. Dengan menggali ‘kuburan’ yang sudah 2 tahun lamanya terkubur rapi tetapi terbongkar juga menjelaskan bagaimana denis menangani permasalahan hatinya dengan ‘lembut’.

     
  33. radi

    15 Februari 2014 at 02:51

    kok cuma bhas hubungan denis leah. Gak nyangka dimas dan denis cinta nya sama sama rumit. Kapan nech sambungan nxa mas noel

     
  34. mr 16

    15 Februari 2014 at 03:05

    makin kreatif mas nöel. tpi aq kehilangan figur utama disini. dimas bnyk mewakili perasaanku sbgai seorang laki” GAY ktika dia berkhayal dan jatuh cinta pda seseorang. beda dengan saudara kembarnya ini. cintanya tk serumit hati dimas ya bisa dibilang mewakili perasaan kaum gay pada umumnya. rindu sosoknya yg puitis, jiwa yg cenderung lebih penuh kejutan ..si “cowok rasa apel”. Maaf bang aq gk pnya mksd lain hnya sebatas rindu. sah” saja kan kalau aq utarakan bang????

    tapi,, overall aq ttp suka ceritanya

     
  35. MHendra⌣̈

    15 Februari 2014 at 04:57

    entah kenapa waktu baca ini q tiba-tiba bisa memprediksi seperti apa karung 8 nanti.gk mau sok tau dulu,tapi kayanya si Denis bakalan ngerasain ada di posisi nya Leah.

    #KeepBleedin

     
  36. nathan

    15 Februari 2014 at 06:01

    Wow ng nyangka, sekali tembak langsung masuk. Kirain bkl salah sandi y. Mmm si leah nih unik yah. Dateng2 langsung galak nampar, tiba2 melankolis, trus jadi manja, lalu cuek, galak lagi ng lama melow lagi sampe nangis. Ajaib nih cewek!

     
    • nathan

      15 Februari 2014 at 06:35

      Nama Lia or lea terasa lebih kalem, nih si BUTET dipanggil leah biar terasa lebih garang??? Hahaha

       
  37. tonture

    15 Februari 2014 at 06:16

    Akhirnya, ada cerita tentang masa lalu denis.
    Mas, karung ini sudah memberikan gambaran, bagaimana sih karakter Denis di Medan sana.
    Rupanya dia tidak pedulian.

    Aku suka karung ini..
    Karung ini cukup menjawab rasa penasaran pembaca tentang Denis.
    Eh eh, cukup ga yah? kayaknya engga deh.. Haha.
    Mas Noel, banyak loh disini yang menyukai Denis (sok tahu nih gue), dia sangat menggemaskan.

    Satu yang dipertanyakan, kok orang jawa suka lagu jorok? jorok dalam artian bagaimana?
    Rupanya Mas Noel sedang mencoba menggeneralisasi. Iya sih, banyak yang begitu.
    Tergantung karakter kalik, Mas.
    Jangan-jangan Mas Noel juga suka lagu jorok.
    *menggoda mas-mas*

    #damai

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:14

      Banyak, lah, lagu Jawa yang jorok. Cucak Rowo, Tali Kutang, Stasiun Arjosari, dsb. Banyak lagu campursari dewasa ini memasukkan lirik-lirik berkonotasi jorok. Dagelan Jawa juga suka membahas yang jorok-jorok.

       
  38. Emanon

    15 Februari 2014 at 06:39

    Ternyata si Denis punya masalah Kontroversi hati jg hahahahaaa…. LANNJUUUUUT Bang noel!!!!

     
  39. pramuda

    15 Februari 2014 at 08:02

    maaf mas noel…
    kali ini aq benar benar merasa hambar…
    baru kali ini aq merasa hambar membaca cerita mu…
    sekali lagi minta maaf…

     
    • Ripal anwar

      1 Agustus 2014 at 14:34

      sama aq juga merasa kyak gitu!!
      v gk pp lah Denis kan tokoh ke 2 aq gemari setelah Dimas

       
  40. armand

    15 Februari 2014 at 08:40

    Penggambaran tokoh Leah menarik. Komikal,lovable,sekaligus sedikit mengesalkan. Pandangan Denis dan Leah mengenai “status hubungan” yang sejalan tetapi disikapi berbeda.

     
  41. delim rehata

    15 Februari 2014 at 09:20

    Aku gak dapat kesan dari cerita ini. Seperti menahan haus sepanjang hari demi mendapatkan segelas air, namun begitu dapat, ternyata rasanya payau.

     
  42. Daniel

    15 Februari 2014 at 09:42

    Hallo Mas Noel ahkirnya keluar juga keranjang 7 ini.

    Menurut Saya,Keranjang 7 ini luar biasa.Saya suka sekali dengan penulisan mas noel di cerita ini,jelas cerita ini telah ditulis secara matang,dan penuh pemikiran yang tepat.

    Saya bisa melihat bagaimana mas noel sudah mampu dalam memberikan “nafas kehidupan” dalam cerita ini melalui Lea maupun Denis.

    Saya sangat kagum bagaimana Mas Noel mampu dalam menuliskan semua karakteristik “wanita” ini dalam diri Lea,yang pastinya,selama ini, sangat sulit untuk dipahami oleh kaum adam.

    Kaum hawa suka dimanja,egois atas pemikiran mereka,suka menuntut “apa yang mereka inginkan” harus dipenuhi oleh kaum adam,suka dimanja dan haus akan perhatian.Jika merasa tersakiti, Kaum hawa cenderung suka mengitimidasi kaum adam dengan “kenangan dan kesalahan masa lalu” yang telah terjadi.Kaum hawa yang “oftenly” melakukan “tes” terhadap pasangannya,hanya untuk menilai apakah pacarnya masih mencintainya ( yang bahkan tampa disadari telah menyakiti perasaan lelaki lainnya),Walaupun tidak semua wanita melakukan hal ini.

    juga saya suka sekali bagian ketika Lea yang menujukkan keinginannya untuk tetap berada di solo beberapa hari,jelas adanya konsistensi dari Lea sendiri untuk merebut hati denis kembali,

    Agaknya saya sedikit terlalu sering menonton telenovela, tapi saya melihat bahwa sifat lea, (selain yang saya sebutkan diatas),dapat dilihat bahwa lea sendiri selayaknya gadis remaja di telenovela,

    ketika mereka patah hati,dicampahkan selingkuhan -nya, Mereka cenderung mengingat kembali “sang mantan” ( dalam cerita ini denis), dan berusaha untuk merebut hati mantan mereka.

    Hingga kesan yang saya dapat, Lea nantinya akan menjadi “duri dalam daging” bagi hubungan denis dan maesya di cerita ini. (mohon maaf ya mas noel,cuma pendapat saya saja 😦
    ( sungkem didepan mas neol )

    Tak lepas kekaguman saya atas penulisan mas neol terhadap denis sendiri.

    Jelas sosok Denis sendiri tak banyak berubah, bahkan dapat dikatakan, karakteristik sifat denis semakin “ditampilkan” dikeranjang 3 ini.

    Saya bisa melihat, bagimana mas neol, secara cerdas, mampu dalam meracik,menuliskan karakteristik denis di buku 3 ini, Pembaca dibawa semakin diajak mengenal semakin dalam sosok denis yang “dewasa,supel,gaul,manly dan tegar ” tampa membuat “bias” dari karakteristik denis yang telah dituliskan di buku 1 dan 2.

    saya suka sekali bagaimana cerita keranjang 7 ini semakin dapat mengambarkan “kisah cinta remaja” jaman sekarang,terlepas dari cerita cinta fandy dan dimas ( kangen dimas dan fandy,semoga mereka cepat nikah XD digampar mas noel)

    Sebelum dan sesudahnya saya mohon maaf jikalau ada komentar yang tak menyenagkan dari saya baik kepada Mas Noel maupun kepada pembaca lainnya ( terutama kaum hawa yang sepertinya sedikit saya “pojokkan” akibat karakterisitik dari lea yang saya tuliskan diatas)

    ditunggu mas noel keranjang 8 nya 😀

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:10

      Komentar ini menulis nama saya secara salah berkali-kali. Beberapa kata dan nama lainnya juga ditulis secara salah. Tapi saya membaca substansinya. Saya suka dengan kesediaannya mengulas tentang karakteristik wanita–biarpun tak semua wanita begitu. Saya juga suka atas kepekaannya menangkap bahwa CRA 3 ini memang sebuah eksplor dari karakter Denis–yang mana banyak pembaca lainnya masih belum peka. Saya nilai beginilah komentar yang kreatif! Terima kasih.

       
  43. arry

    15 Februari 2014 at 10:25

    Denis ga terima kalau Leah mengatakan kalau Dimas lebih kalem ?

    Kayaknya semua orang juga dah tau.. Kemana-mana Dimah jauh lebij kalem daripada Dimas. Hahaha…

    Ternyata karena ini toh si Denis belum mau nemvak sepupunya Erik, hmmm…

    Jangan2 besuk si Leah malah iku ke Bali ?? Bisa jadi iya. bisa jadi tidak.

    Kedatangan si Leah emang tidak tepat, tapi kehadiaran dia di CRA 3 bikin cerita ini lebih komplek dan.

    Ga sabaran nunggu edisi selanjutnya.

    Terima kasih mas Noel. 🙂

     
  44. fai-sal dimazs

    15 Februari 2014 at 10:26

    Kesimpulannya Leah masih berharap ada kesempatan untuknya. Terbukti dalam perkataannya:

    “Sekarang kau boleh
    menolakku. Tapi kau
    tak boleh benci aku! Aku masih kangen. Aku tak mau menyerah!”

    meski masih samar tapi kata “aku tak mau menyerah” itu sudah cukup jelas. Harusnya denis jujur and lebih tegas agar dia (denis) tidak repetitif dalam perkataannya.

    Kemunculan tokoh Leah cukup menyegarkan cerita. Karena sebelum Leah muncul, tokoh yang tersorot cerita cukup sedikit (ben, fandy, erik, mama, papa) sedangkan mas awan, mbok marni and dika tampaknya hanya tokoh sekilas.

    Mas noel, sekali-kali mbok marni diajak dalam dialog panjang dong!. Kasian juga, hee

     
  45. dirzha

    15 Februari 2014 at 10:32

    #CRA3_Karung7 menurut aku kurang greget, nggak ada yang WOW.. Hanya cerita masa lalu Denis dan Leah.
    “Setiap Orang Punya Rahasia” menurut aku kurang tepat judul dengan isi ceritanya, rahasia apa yang dimaksud ?
    Toh hanya cerita cinta lalu Denis doank..

    Di Karung sebelumnya, selalu penasaran di part ending nya. Untuk Karung 7, ending nya nggak buat saya penasaran.

    Maaf ya Noel, Karung 7 kesan saya biasa saja.

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:03

      Koemntarmu akan kujawab di sesi khusus nanti.

       
  46. fahadh1996

    15 Februari 2014 at 11:36

    Waduh, keren lah emang bang noel. Tapi aku ngarepinnya karung 7 ngomongin masalah dimas. eh si denis punya masalah baru. hahahaha

     
  47. Retha

    15 Februari 2014 at 11:56

    Ini yang selalu aku suka dari tulisan-tulisan yang dibuat kak Noel, selalu bisa membuat pembaca menikmati hingga akhir. Contohnya pada karung kali ini, walaupun cerita yang kakak bahas tidak sesuai perkiraan dan keinginanku yang ingin buru-buru ketemu Dimas nyatanya aku tetap terhanyut dan menyelesaikan kisah antara Denis dan Leah karena cara bercerita kakak yang sukses bikin penasaran dan membuatku scrolling hingga akhir. Untuk hal seperti logat dll aku sendiri tidak terlalu mempersalahkan, selama aku masih dapat mengerti dan nyaman membacanya itu sudah lebih dari cukup 🙂 .

     
  48. Oong IKu YO Onky

    15 Februari 2014 at 12:04

    Wah bakal jadi cinta segi tiga nih antara denis, misha, dan leah 🙂

    Untuk ukuran cewe leah terlalu nekat >__< lupakan imo saya :3

    Kak kapan nih leah ma misha di temukan 😀 ???

    Etto lanjutannya saya do'akan segera keluar & semoga dpet ide yg briliant lagi :3

    Makasih kado palentin'nye sukses selalu kak

     
  49. Sicilienne

    15 Februari 2014 at 12:41

    Aku selalu suka sejarah atau asal-usul marga Batak, soalnya keturunannya jelas silsilahnya. Kayaknya leluhur orang Batak karakternya melankolis deh jadi rinci & detail kisahnya bisa dijelaskan. Btw Simbolon ini dalam asal-usulnya mirip sama kisah Jaka Tarub, cari sendiri lah sejarah soalnya panjaaaang. Kalo dari aku sih si Leah ini udah pas, soalnya aku juga bayangin temen-temen cewek Batakku kalo “merajo'” kalo mereka bilang terus sama marah-marah haha. Btw, sampe kantong 7 ini, aku jadi nyadar tiap ada cekcok atau adu argumen, pasti pihak Dimas-Denis menang. Bukan menang ya tapi bisa “membalas” lah meski sempat “tenggelam”, kaya pas cekcok sama.ortunya Fandi, terus edisi Natal Erik sama Dimas di blognya Kak Noel yang blogspot. Selalu saja pihak tokoh utama selalu bisa “membalas” dari percekcokan yang sangag jleb. Menuruku sih gitu.

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 11:01

      Dimas pernah kalah debat dengan Anita. Dimas pernah kalah debat waktu ditolak Erik.

       
  50. eko

    15 Februari 2014 at 12:57

    Ada beberapa hal yang ingin aku komen nih kak.
    Bukan soal karung 7 aja, tapi soal keseluruhan trilogi CRA ini.

    1. Ketika dulu liat spoiler CRA 3, aku yakin dari awal sampai akhir isinya soal perjalanan Denis nemuin Dimas.
    Ternyata aku salah, bahkan ampe karung 7 pun Denis masih belum melakukan perjalanan ke Bali dan kak Noel telah sukses menambahkan cerita kehidupan lain Denis yang emang selalu membuat aku penasaran soal sisi Denis.
    Jadi aku masih penasaran aja mau d bawa kemana seri kali ini.
    Akupun juga sering salah menebak untuk seri berikutnya. :p
    2. Walaupun cerita ini adalah narasi Denis, tapi penulisnya tetep aja orang yang sama.
    Dan seperti sudah khas kalo kak Noel selalu membanjiri tulisannya dengan tanda baca.
    That’s the point, aku boleh saran gak kak?
    Seandainya ini dibuat novel seperti CRA 1, lebih baik tanda bacanya d kurangi ya kak jadi gak mubazir tuh halamannya.
    Dan jalan ceritanya juga gak ada yang di potong.
    3. Maaf ya kak kalo aku jujur, sebenernya aku ngefans cerita kakak cuma CRA aja.
    Entah kenapa aku gak tertarik ama tulisan kakak yg lain seperti HBR, Pilgrim ato Elang Muda itu.
    Ya mungkin aku yang kurang dapat feelnya aja soal cerita kakak yg lain.
    4. Di karung ini aku bisa liat sisi gelap Denis, aku pikir dia punya alter ego.
    Di satu sisi, Denis sangat cuek ama perasaan sekitar dia. Dia gak tau gimana rasanya jadi Leah yang merasa gak diperhatiin ama Denis sehingga Leah memutuskan buat mengetes Denis.
    Posisi Leah sangatlah serba salah dan serba gak nyaman.
    Mungkin kali ini aku ngejudge Denis bahwa dia adalah cowok yang kurang peka aja terhadap perasaan orang lain.

    Mau komen lebih banyak lagi cuma takut ntar kak Noel bosan baca komen aku yang panjangnya aja bisa dibuat Novel sendiri. 🙂
    Makasih ya kak uda buat cerita terbaik yang pernah kubaca.
    Ringan tapi gak terlalu monoton.

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 10:59

      1. Coba kamu kilas balik ke CRA 1 dan 2. CRA 1 adalah soal obsesi Dimas ke Erik. Tapi langsung main ‘tembak-tembakan’ gitu? Nggak kan? Masih ada kedatangan Denis, dirayu waria, jalan-jalan ke Bali, dsb. CRA 2 adl cinta baru Dimas, tapi dia langsung dapat Fandy? Dimas masih harus berurusan dgn Anita, Aldo, digebukin Geri, dsb. Sebuah cerita punya menu utama, tapi kenapa kita harus menghidangkan satu menu saja? Kenapa kita harus mempersempit imajinasi yang seharusnya tanpa batas?

      2. Beri contoh, tanda baca yang kelebihan yang mana? Ada kalanya bahwa tanda baca perlu dirangkap untuk mempertegas emosi dalam kalimat. Saya anggap tanda baca di CRA 3 masih lazim. Coba kamu jelaskan bagian mana yang tak lazim?

       
  51. Billa

    15 Februari 2014 at 14:57

    Jujur aku kurang suka sama karakter Leah, ngotot banget sih -_-
    Terus bener tuh kata si Denis, si Leah tuh agak lebay ya, hal-hal kecil aja dipermasalahkan.
    Selamat mas noel, berhasil membuat saya kurang suka sama si Leah. Hohohoho.
    Bagus! Jadi masalah Denis tambah riweuh deh. Mwahahahaha *tertawa jahanam*
    Yosh, ditunggu karung berikutnya!

     
  52. djati

    15 Februari 2014 at 14:59

    Baru tau klo udh di publish karung 7nya… 😀

    Entah kenapa tiap dialognya si Leah ini kok yang ada diotak saya jadi mikirnya si Lita (Rachel Maryam di pilem arisan) yang lagi ngomong sama Denis.

    Walaupun kebanyakan pke bhs indonesia, tapi pas kok penempatan2 kalimat2 “khas bataknya”.

    Ditunggu lanjutan karung 8nya mas noel. 🙂

     
  53. moneilamooena

    15 Februari 2014 at 15:17

    Mas Noel, maaf saya baru komen di Karung 7.

    Gaya penuturan Denis di sini terasa lebih santai dan lepas secara emosional. Lebih suka yang seperti ini. Menghibur.
    Di Karung sebelumnya sih terkesan serius, dan rada suram karena menahan banyak beban pikiran, mungkin. Syukurnya ada karakter seperti Leah. Sisi lain Denis yang pencemburu jadi ketahuan deh hehe.

    Aah Leah ini tipikal cewek unik, emosinya lompat-lompat kayak kangguru. Sebentar begini…. sebentar begitu. Gak heran deh, Denis yang cuek saja bisa pusing. Kalau Dimas sudah kenal Leah, mungkin banget dia akan bersyukur lebih suka cowok dari pada cewek hahaha.

    Yupz ditunggu Karung 8-nya ya, Mas.
    Gak sabar pengen tahu cara Denis bisa kabur dari Leak ehn Leah. Lalu Fandy dan Denis bisa segera ketemu Dimas.

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 10:53

      Cowok yang menyebalkan juga banyak, kok.

       
  54. Raharja Andri

    15 Februari 2014 at 15:37

    jujur saya tdk suka karung ini, bukan krn tdk bagus, sama sekali bukan, pengarangnya jelas hebat, ini cuma soal selera, dlm hal ini kehadiran cewek manja macam Leah betul2 menyebalkan (bagi saya, mungkin krn saya tdk tertarik sama cewek 🙂 ) jadi dialog2nya saya baca sambil lalu dan sambil mendongkol pula.. maafkan saya… tp tdk suka karung ini bukan berarti tdk tertarik baca karung2 selanjutnya, jadi.. saya tunggu karung berikutnya.. matur nuwun 🙂

     
  55. adjie nugroho

    15 Februari 2014 at 15:46

    semakin yakin cinta pertama ga pernah langgeng *curhat*
    overall, shock denger rahasia ini, rahasia yg tersimpan selama hampir 3 CRA. good job mas. stay waiting the next karung 🙂

     
  56. raka

    15 Februari 2014 at 16:21

    kaya basa-basi yang bikin tambah g sabar buat dapet menu utamany, tapi mungkin emang bukan basa-basi karena d CRA3 tokoh utamany kan denis bukanlah dimas,,,
    karung 7 ini jadi kaya jeruk nipis di kuah soto-ku, menambah rasa, memberi sedikit kesegaran. hubungan straight yg rumit. tp memang kadang cwe itu rumit, bisa dbilang ribet.tetep penasaran sama menu utamanya.lanjut bang Noel!!!!
    decemberkamis@yahoo.co.id

     
  57. Badrani altar

    15 Februari 2014 at 16:29

    ceritanya bagus mas noel…cuma kurasa kurang menarik aja…krenan di karung 6 CRA membahas masalah Denis mau mencari Dimas…tentunya pacara pembaca menunggu-nunggu munculnya Karung 7 tp yg dibahas malah Denis yg di datangi oleh mantannya…nah Ben yg sedari tadi nungguin Denis buat main PS aj gak dibahas…kurasa lebih seru seandainya Ben teriak manggil Denis yg ninggalin dy karena ad mantannya….maaf mas lw saya lancang komen…makasih

    CRA mantep

     
  58. akyuza

    15 Februari 2014 at 17:08

    oh ternyata sy kecele’ kirain dikarung 7 ini udah bahas gimana cara fandy ngakalin omnya, ternyata belum. kkkk jadi karna masih ada tanggung jawab masalalu yg masih nggantung makanya misha juga di’gantung’ XD baru pertama nongol tp sy udah seneng ama karakter laehh yg kata denis cewek gaduh, heboh, wah, dan meriahhh…! kkk sy jg suka cr denis ‘nylesein masa laluny sm leah’, to the poin ga pake basa basi. itulah knp sy lebih cenderung suka denis, beda sm kembarannta yg terkadang suka njlimet 😀

     
  59. INTAN!

    15 Februari 2014 at 21:20

    Baru baca Karung 7.
    Tentang Denis dan Leah ya di part ini, seneng soalnya kak noel munculin cerita yang gak tentang Dimas-Fandy terus. Leah galak bener, jd gak bayangin pas Leah-Denis masih pacaran terus tengkar, itu siapa yg minta maaf duluan kak hahaha
    Tapi tapi tapi apa kabar Misha. Pukpuk misha………
    Sekian. Terima kasih 🙂 Ditunggu karung 8 kak^^~~

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 10:50

      Betul. Kenapa selalu harus cintanya Dimas-Fandy yang dibahas?

       
  60. penggemar setia

    15 Februari 2014 at 21:44

    wow ternyata yang datang mantan denis….
    karung ini menjelaskan mengapa selama ini denis menggantung misha ternyata si denis masih belom move on dan cintanya belom putus ama pacarnya….
    pas baca bagian leah jd kebayang gimana logatnya karena aku orang medan….hheheeheh….
    untuk mas noel semangat ya nulis kelanjutannya soalnya dah gak sabar part ketemu dimasnya…

     
  61. Fitrya Novianty

    15 Februari 2014 at 23:22

    Mas Noel pernah bikin tweet “kalau #CRA adl film dan kalian
    sutradara, sebutkan cast kalian. siapa mjd siapa?”. Menurut saya peran Leah cocok diperankan oleh Lia Waode.

     
    • emyu

      16 Februari 2014 at 21:42

      nah! kita satu pikiran. tapi kayaknya ketuaan deh kalo si Lia Waode yang meranin si Leah.. #hmm

       
  62. Ali

    15 Februari 2014 at 23:25

    Nggak tahu kenapa, tapi saya merasa CRA seperti kehilangan ciri khasnya di karung 7 ini, seperti isi cerita yg begitu mudah ditebak ketika kita selesai membaca karung 6 dan juga cerita yg terlalu FTV. Tapi, saya tetap suka karya2 Mas Noel, kok. 😀

    *komen pertama dari seorang silent reader akut | maaf, ya, Mas, komen saya mungkin tidak menyenangkan :P*

     
  63. Syai

    15 Februari 2014 at 23:41

    I am fan of Denis and Dimas especially, big time! Tapi kayaknya kangen saya harus tertunda dulu karena memang penulis sudah memberi preambule bahwa this story is about Dimas dari kacamata si Denis. Sebagai konsekuensinya kita harus terlibat dengan suasana hati dan masalah si Denis. Termasuk kehadiran si Leah yg out from nowhere. Walau si penulis cleverly select a specific title, mudah-mudahan ceritanya gak melantur kemana-mana.

    Pertanyaan saya adalah, masih pantaskah cerita ini berjudul Cowok Rasa Apel?

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 10:48

      Saya suka komentar ini. Bkan karena menyebut saya ‘clever’, tapi karena komentar ini dapat berpikir bahwa CRA 3 adalah cerita Denis tentang Dimas. Dan dapat memahami bahwa Denis juga berhak mendapat ruang untuk narasinya sendiri. Tapi saya bertanya balik: mengapa Denis tak berhak menyandang sebagai ‘Cowok Rasa Apel’?

       
      • Syai

        17 Februari 2014 at 06:36

        Saya harap itu adalah benar-benar pertanyaan, bukan retorika semata. Karena kalo cuma retorika, saya tidak bisa menjawab. Tapi kalau benar pertanyaan, maka jawabannya adalah ini:

        Saya tidak tahu bagaimana jari-jari saya bisa berhenti di novel CRA ini. Tapi seingat saya dulu, dari judulnya saja bikin saya penasaran. Bagaimana sih cowok rasa apel itu? Ternyata Cowok Rasa Apel itu sebuah novel yg menggambarkan liku-liku seorang cowok yg merasakan manis asamnya cinta. Karena banyak sekali penggambaran apel yg terimplikasi pada diri Dimas, maka saya (atau mungkin juga kami) sangat berasumsi bahwa cowok rasa apel itu adalah Dimas. (Plus sirup rasa apel yg menghilang di CRA3, itu juga penggambaran tentang ‘hilangnya’ Dimas kan?).

        Secara spesifik apel disini menggambarkan kekhususan yg semua dijelaskan pada CRA 1 mengarah specifically buat Dimas, jadi agak ‘janggal’ kalo si Denis juga mendapat predikat cowok rasa apel.

        Well, above all, pada teaser CRA 3 jelas-jelas penulis menyebutkan “apel itu terjatuh lagi” bukan “apel ini terjatuh juga”. Jadi…

         
      • noelapple

        17 Februari 2014 at 20:32

        Dan jika kamu sudah baca Karung 8, kamu pasti menemukan fakta bahwa cinta pertama Denis juga terkoneksi dengan apel. Apple Juice tepatnya. Dan itu malah kejadiannya lebih dulu dibanding Dimas saat memberi Erik kado ultah.

        Saya perlu menjelaskan bahwa salah satu konsekuensi dari keputusan untuk membuat kelanjutan atas suatu cerita, adalah dengan menggali segala kemungkinan baru atas jalannya cerita tersebut. Karena akan seperti apa jadinya jika kita membuat sekuel tapi tanpa pengembangan cerita, tanpa twist-twist baru? Apakah berarti yang saya lakukan adalah inkonsistensi? Saya tak merasa begitu juga. Yang penting adalah pengembangan-pengembangan tersebut tidak melancangi logika cerita.

        Soal teaser ‘Apel itu terjatuh lagi’, betul bahwa itu mengacu kepada Dimas. Karena dialah Si Apel Yang Jatuh, dalam cerita ini. Mengapa kita tak berpikir kreatif saja: bahwa ada apel-apel lainnya yang masih di pohon. Dan apel yang di pohon itu senang mencoba untuk ikut jatuh, untuk menjangkau apel pertama yang terjatuh lebih dulu. Kuncinya adalah: use your imagination, more than before.

         
  64. uwa

    15 Februari 2014 at 23:44

    Sangat cerdas menampilkan tokoh Leah, konflik Denis jadi bertambah, jadi semakin kompleks, semakin membuat penasaran..great. Meskipun menurut gw perihal keberadaan Dimas bakal semakin lama terungkap. Let’s see..

     
  65. ecco

    15 Februari 2014 at 23:45

    Leah Cewek posesif. aq lbh stuju klo denis dengan Misha saja. tapi sepertinya akan ada konflik antara Leah n Misha, ternyata… Denis menggantungkan nasib Misha juga kalau begini. sejujurnya Leah sudah salah buat aq,Leah terlalu blak-blakan. membandingkan Denis dengan yang lain. Denis memang tak bisa terlalu romantis gombal. Denis pun juga bimbang ingin memulai dengan Misha atau masih mengharapkan Leah.

    saat ini sebaiknya Denis fokus untuk Dimas saja.
    aq tak berpikir kalau ternyata Misha melihat adegan ini lalu patah hati….

    kepada siapakah Denis akan memilih? Misha? atau Leah?

     
  66. ecco

    15 Februari 2014 at 23:47

    Bang @noel_apple setuju aku jadi mrngikuti logat Leah yg batak. butet kita ini jauh lebih keren dari Misha atau sebaliknya?

     
  67. Dandi

    16 Februari 2014 at 02:26

    Wah, nambah lagi tokoh barunya.
    Tapi sih, menurut aku dengan nambahnya sosok leah yang supel bisa nambah suasana jd lebih riang, melihat tokoh-tokoh CRA sekarang lg kaku sama lesu karena dimas pergi.
    Leah ini sosoknya sumbu pendek banget, agresif, posesif, tapi kayaknya lebih jauh bakalan jd booster buat CRA 3
    Ohiya, menarik nih mas noel, perpaduan pasangan jawa-batak. Dua suku yang kulturnya kontradiktif, gak kebayang kalo nikah, anaknya gimana ya? :O

     
  68. arifin

    16 Februari 2014 at 05:26

    komentarku pendek, tpi mudah2an jd yg terbaik.
    Semoga ini hanya intermezo.
    Cerita sesungguhnya adalah Dimas, si Cowok Rasa Apel.
    Itu harapanku mas Noel.
    Mas kalau aq mencoba menawar… semoga tidak dibentak penjualnya.

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 10:42

      Kenapa Denis tidak berhak menjadi ‘cowok rasa apel’ juga?

       
  69. Juned Kalsel

    16 Februari 2014 at 07:50

    bang ko kenapa BEN kaga muncul, sebagai pelerai atau pengecoh kan bisa lebih seru. kok gak ada penjelasan detail bang , apa ben masih mengintip apa langsung kekaamar?

     
  70. devan

    16 Februari 2014 at 08:00

    kangen dimas
    coba dimas bisa suka sama aku ya 😀
    dimasnya di karung 8 munculin lagi ya bang =D

     
  71. rendy

    16 Februari 2014 at 09:42

    memang untuk karakter denis ada sedikit berbeda dengan season sebelumnya, lebih dewasa tapi masih tetap orang yang “cuek dengan penuh perhatian”.

    Aku suka keanekaragaman budaya yang di ceritakan di CRA, tapi kalau boleh aku saran, mohon jangan tulis lagi mengenai opini mengenai perbedaan kebiasaan suatu suku, yang menerangkan sisi negatif dari satu suku tertentu. Ada dua bagian di tulisan karung 7 ini.
    Maaf ya Mas Noel ini hanya saran aja, soalnya rada aneh ketika aku bacanya.

    Aku tunggu terus ya kelanjutannya,,,,,
    Terima kasih,,

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 10:41

      Itu adalah sebuah kejujuran saja. Serasis apapun Leah kepada Jawa, dia tetap menerima Denis sbg pacar. Serasis apapun Denis terhadap Batak, dia tetap memacari Leah. Dan ketika mereka putus, itu bukan karena alasan rasial sama sekali.

       
  72. Al

    16 Februari 2014 at 11:56

    CRA 1 : Cinta 1 sisi (Bertepuk sebelah tangan)
    CRA 2 : Cinta 2 orang yg bersatu
    CRA 3 : Cinta segi 3?

    Pengen cerita spin-off Erik kira kira kayak gimana ya? .-.

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 13:16

      Beli novel CRA 1, ada spin-off Erik.

       
  73. denis

    16 Februari 2014 at 12:01

    Karakter baru muncul!!! Yap!! Leah. Kok kayaknya langsung kepikiran ke film twilight saga yang werewolf seorang perempuan Leah yang tegar juga yah :D.

    Hehe merasa kaget juga si Denis punya pacar begituan hihi. But alur cerita ini sepertinya hanya sebagai permulaan antara hubungan misha-denis-leah dan disini aku dapat simpulkan kenapa denis masih tidak ingin memacari misha karna tersandung dengan cerita lalukah? Ah!! Kalau mengungkit masa lalu butuh berapa tahun ga akan selesai..

    Mas,, haha saya orang medan. Tapi bahasa medan ga seperti juga hahaha. Haaha tergantung suasana sih kalau tone suara :D. Itu menurutku. Salam marga simbolon hahahah

     
  74. fahri

    16 Februari 2014 at 13:41

    mas noel aku nya langsung aja ke koreksi nya.
    karena udah pada banyak yang menyebutkan kelebihan penulisan ceritayangdi buat mas noel.
    di karung 7 mas noel menuliskan tulang sama dainang. mungkin lebih baik di buat arti sesudah kata tersebut. kerena mungkin saja sebagian orang masih tidak tau arti kata tersebut.
    itu aja mas
    selebihnya bagus 🙂

     
    • noelapple

      16 Februari 2014 at 14:01

      Saranmu baik. Tapi aku perlu meluruskan. Jika kata tulang dan dainang itu berada di dalam narasi utama, maka secara estetik dapat dibuat sedemikian rupa agar istilah tersebut mendapatkan penjelasan. Namun karena istilah tersebut muncul di dalam dialog–bukan narasi utama–yang diucapkan oleh Leah, sedangkan narasi utama adalah hak Denis, maka secara estetik saya tidak sreg jika dialog tersebut harus diembel-embeli diskripsi terjemahan.

      Begini misalnya: “Aku bersama tulang (paman) aku pergi ke Jogja.” atau, “Aku bersama tulang alias pamanku pergi ke Jogja.” Sekilas sepertinya tulisan penjelas seperti itu biasa kita jumpai. Tapi kita menjumpainya di tulisan-tulisan berita, atau tulisan non-fiksi lainnya. Sedangkan tulisan di ranah fiksi adalah sebuah dunia tersendiri, di mana memiliki nilai-nilai estetika dan imajinatif yang berbeda dari tulisan berita di koran. Bagi saya, menulis dialog fiksi dengan cara seperti contoh di atas sama sekali tidak cantik, juga tidak menantang.

      Tulisan non-fiksi bersifat informatoris, menyampaikan selebar dan selugas mungkin tentang suatu berita atau wawancara. Sedangkan dalam tulisan fiksi, imajinasi pembaca sengaja dipancing, jika perlu sekuat mungkin. Dialog-dialog dalam fiksi jika perlu dibuat kabur, agar terdapat ruang bagi imajinasi pembaca untuk menjelaskannya sendiri. Seperti kata dainang misalnya, justru biarkan imajinasi pembaca terpancing untuk mencari tahu sendiri. Itulah fiksi, punya gimmick tersendiri.

       
      • denis

        16 Februari 2014 at 17:22

        Maaf mas noel saya mau memaparkan sesuatu hehe..

        Saya juga seorang penulis. Walaupun ga sekeren mas noel. Memang benar, seorang penulis harus ada gimmick untuk memasarkan karya. Dengan cara mas katakan mungkin bisa membuat pembaca penasaran dan ingin lebih tau dengan cara mencari sendiri jawaban nya.
        Namun, ada beberapa penulis yang saya kenal yang karyanya muat dimajalah nasional membuat istilah bahasa daerah dengan meletakkan angka kecil diatas, atau memiringkan tulisan. Setelah itu dia baru membuat catatan kecil dan memberi penjelesan di catatan tersebut. Seperti catatan kaki.

        Tapi, tinggal lagi ini adalah selera penulis dan cara pandang setiap orang berbeda dalam melihat suatu karya. Bagus kata kita belum tentu bagus buat orang yang lain. Berbesar hati menerima dan berlapang dadalah modal untuk membuat kita kuat dan semakin matang. Seperti perkataan bunda Reni erina (redaktur dan pemilik majalah story) “bukankah penulis bijak karena karya-karynya dan kritikan atas karya-karyanya?”

        Hehe.. Maaf ya bang noel saya cerewet. Salam damai

         
      • noelapple

        16 Februari 2014 at 21:25

        Saya bukannya tidak tahu bahwa ada tulisan fiksi yang menjelaskan istilah asing lewat catatan kaki atau tanda kurung. Dan saya tetap sepakat dengan penulis lainnya–yang mengajari saya–bahwa metode catatan kaki lebih cocok untuk tulisan-tulisan ilmiah, bukan fiksi. Dan saya selalu mengukur terlebih dahulu soal perlu-tidaknya kata asing yang saya pilih itu untuk dijelaskan. Kata ‘tulang’ dan ‘dainang’ adalah istilah yang disinggung sepintas lalu saja di sini, dan bukan dalam konteks yang serius. Jadi saya pilih untuk melemparkannya kepada imajinasi pembaca saja.

        Berbeda ketika saya menyinggung ‘frangipani’. Itu juga sebuah kata asing, bukan? Tapi dalam hal itu saya mengukur bahwa benar-benar penting untuk menjelaskannya, sebab istilah ‘frangipani’ punya konteks yang erat kaitannya dengan beberapa chapter di CRA 3. Maka saya jelaskan apa itu ‘frangipani’. Tapi, toh tetap tidak dengan metode catatan kaki atau dalam tanda kurung. Itulah fiksi, kreatifitas membangun kata, estetika dan imajinasi lebih penting dibanding tindak informatoris formal.

        Tentu, kritik itu ada gunanya. Namun yang sering dilupakan oleh para pengkritik itu adalah: bahwa suatu kritik juga terbuka untuk dikritik. Jadi, semoga saya tak dianggap ngeyel. Sebab selama saya merasa bahwa kritik itu dapat dijawab, maka saya akan terus menjawab.

         
      • denis

        17 Februari 2014 at 00:16

        Sip mas hehe 🙂

         
  75. Sam

    16 Februari 2014 at 19:17

    Jadi penasaran mas noel, ada rencana untuk memperbanyak porsi storyline awan-dika gak di CRA 3 ini?
    Kalau diliat dari CRA 1 smpe skarang, storyline awan-dika punya peran penting dalam perkembangan karakter dimas dan hubungannya dengan tokoh2 lainnya. Semoga aja kedepannya makin banyak sisipan storyline awan-dika yaa, yang sekaligus jadi penyegar dari perspektif suatu hubungan yang lebih dewasa

     
    • noelapple

      18 Februari 2014 at 11:22

      Itu konsekuensi yang logis untuk menyinggung hubungan Awan-Dika, jika mereka memang terlibat dalam perginya Dimas. Namun tentunya eksplorasi mereka berdasarkan perspektif Denis, sebab CRA 3 ini mengambil sudut pandang Denis. Untuk perspektif Awan dan Dika sendiri sudah lebih dulu dikemas sebagai cerpen tersendiri: Di Bawah Langit Bali.

       
  76. bannybaladewa

    17 Februari 2014 at 08:25

    Lagi lagi dan lagi saya terlambat untuk menjadi salah satu pembaca awal cerita ini.
    Mas noel(aku lebih suka manggil mas) kali ini saya tidak mempunyai bahan kritikan..tapi saya ada beberapa karung pujian, salah satunya dalam karung 7 ini yang paling menarik adalah cara
    penulisan percakapan Leah. Percakapan khas loghat Batak, dan secara tidak langsung saya berusaha membacanya dengan loghat Batak.hahahaha.
    Satu hal lagi yg membuat cerita ini asyik adalah ada beberapa kata asing(bahasa daerah) yang tidak saya ketahui, tetapi karena rasa pengin tahu yang kuat, akhirnya saya harus bertanya pada mbak google.
    Gitu saja pujian dari saya..salam kenal dari seberang.

     
    • noelapple

      17 Februari 2014 at 20:14

      Seperti saya bilang sebelumnya, saya sering lebih memilih membiarkan suatu kata/kalimat menjadi tak terlalu jelas, supaya pembaca dapat menafsirnya sendiri baik dengan imajinasi maupun bantuan lain. Kamu salah satu pembaca yang mau berusaha menafsirnya, tanpa harus mengeluh.

       
  77. Vilian

    18 Februari 2014 at 10:47

    Ini hanya perasaan aku aja, atau emang si Denis ini nggak jadi-jadi nyari Dimas ke Bali. Kalau boleh jujur, aku sudah mulai bosan sama ceritanya kalau gini-gini terus. Maaf ya.

     
    • noelapple

      18 Februari 2014 at 10:58

      Jangan pakai logika kehidupan nyata untuk memahaminya, tapi pakailah logika dalam cerita ini: nyusun rencana sama Fandy aja baru kemarin pagi. Banyak hal dapat terjadi dalam waktu 24 jam. Malah kalau dalam waktu 24 jam cuma ada satu kejadian, betapa membosankannya kehidupan itu.

       
      • dalijo

        20 Februari 2014 at 01:40

        tetap tawadlu noel… mski trus berkarya tanpa tawadlu apalah artinya…

         
      • noelapple

        20 Februari 2014 at 11:46

        tawadlu bukan sifat saya dalam menulis. soal arti berkaya, saya akan mengartikannya sendiri bagi diri saya, tak perlu mengikuti cara pandang orang lain. dan yang pasti tak ada hubungannya dgn istilah yg kamu singgung itu.

         
  78. AditaKID

    20 Februari 2014 at 13:06

    saya ketinggalan baru baca karung ini masa -___-a
    oke, di karung 7 ini semuanya sudah jelas hubungan Denis sama Leah itu..
    gak nyangka ternyata Denis pernah pacaran sama Leah..
    itu to yang bikin Denis belum yakin sama perasaannya ke Misa..
    pantes dah, sekarang semuanya udah jelas…
    “Ya Tuhan… kenapa aku pernah pacaran dengan cewek seperti dia?”
    dan kalimat d akhir it sukses buat saya ngakak.. =D
    oke, lanjutkan..
    lanjutannya saya tunggu..
    saya gk sabar Denis bakal k Bali..
    Yosh, Nice Story~
    I Like it ^^d

     
  79. olif

    24 Februari 2014 at 19:31

    wlaupun pham tpi agak pusing baca dri CRA 1 k CRA 2 trus k 3. dimas sma fendy kapan jadianx? kok udah jdi masalah ma ortux? penasaran juga bca CRA rumah jahat. pgen tw passwordx. . . T.T

     
  80. juma

    1 Maret 2014 at 16:33

    leah cerewet bgt yah .,. gawat kalo dia jd sayko O.o

     
  81. Lee Hana

    20 Maret 2015 at 21:35

    Ya, ampuuuun!! Ini bab apaan? Klo ada cewek kayak gitu mungkin udah aku kasih bunga kali, sekalian sama potnya. -_-

     
  82. purie

    4 September 2015 at 09:35

    buakakak serius masalahnya denis bkin gw ngakak…yaampun konyol bgt
    msalah cemburu coba,tpi jdi masalah besar bgt hahahaha lol *ngakak bgtlah gw

    yasih kadang jgn ngeremehin msalah kecil,ujung2nya bkalan jdi besar…nah denisnya gagal mope on dah
    pantes misha digantung wong dia jg digantung kekeke
    si leah tuh cwek perkasa keknya bisa gtu denis tahan banting ma tu cwek ckckxkck *edan

     
  83. Kodil

    27 Maret 2016 at 19:31

    Nah, mulai berbelit-belit dia! << Denis ikutan berlogat batak lol

    Keren mas noel. Aku aja masih bingung gimana caranya bikin cerita sampingan begini untuk ngisi celah-celah cerbung, dan nantinya semua masalah akan kelar. Aku masih harus banyak belajar nih…
    Dan sorry ya untuk komenku sebelumnya. Akhirnya terungkap juga kenapa dennis gak pake gue-elo lagi di sini, ternyata karna di jawa sana gue elo dianggep belagu ya mas? Hehe aku di Jakarta punya temen walaupun ada yg medok jawa tapi udah pake gue-elo, aku fikir emang di sana udah sama kayak di jakarta wkwk
    Dan alasan aku pake aku yaaa biar sopan aja sih haha

    Tambahan: aku agak sulit membayangkan wujud leah. Jujur aja, cewek batak yg aku temui selama ini gak ada yang semacam leah kwkwk

     

Tinggalkan Balasan ke adjie nugroho Batalkan balasan