RSS

CRA ebook.

Saya sedang melihat Cowok Rasa Apel di SCOOP untuk android. http://showme.to/scoopandroid

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 25 Desember 2016 inci Uncategorized

 

Kabar Terbaru:

NGOMONGIN “COWOK RASA APEL”

Saya tak terlalu ingat sejak kapan mulai menulis “Cowok Rasa Apel”. Mungkin sekitar tahun 2008 atau 2009. Itu adalah tulisan pertama Saya yang konsepnya berupa cerita panjang. Awalnya sebagai cerita bersambung, kemudian dibendel menjadi satu novel. Sebelumnya, yang Saya tulis adalah cerita-cerita pendek saja.

Jadi, jika dihitung sampai tahun ini, Saya berkutat dengan “Cowok Rasa Apel” sudah lebih dari lima tahun. Dalam kurun lima tahun itu sudah termasuk Saya menulis seri-seri kelanjutannya. Saya tak punya tolok ukur untuk menyebut apakah lima tahun berkutat dalam satu judul itu adalah waktu yang pendek ataukah panjang. Namun, yang pasti dalam lima tahun itu Saya terus belajar menyempurnakan diri dalam menulis. Saya lima tahun lalu dengan yang sekarang tentulah berbeda dalam menilai mutu sebuah tulisan, termasuk terhadap tulisan Saya sendiri. Saya pikir inilah penjelasan mengapa Saya kemudian menilai naskah “Cowok Rasa Apel” yang dulu “ternyata” masih penuh kekurangan. Dan, naskah yang penuh kekurangan itu bagaimanapun telah pernah terbit dalam bentuk buku, dalam format cetak maupun elektronik.

Saya menyadari dan memahami bahwa banyak pembaca yang berharap naskah “Cowok Rasa Apel 2” juga dicetak—atau minimal dipublikasikan ulang secara lengkap—seperti halnya yang pertama. Saya bukannya tidak mau. Bahkan Saya pun sangat mengharapkan demikian juga. Masalahnya, Saya pikir, kok tidak elok melanjutkan sebuah serial dengan bertolak dari naskah bagian pertama yang begitu banyak kekurangan. Ibaratnya, naskah pertama itu adalah pondasi. Untuk membangun ke tahap selanjutnya, Saya harus memastikan pondasi yang kuat terlebih dahulu. Saya harus perbaiki lagi—kalau tidak bisa dibilang menyempurnakan—naskah “Cowok Rasa Apel” bagian pertama sebelum Saya melanjutkan seri keduanya (dan juga ketiganya).

Itulah yang Saya lakukan belakangan ini, yang berimbas pada mampetnya kelanjutan seri ketiga. Dan juga berimbas pada versi cetak POD “Cowok Rasa Apel” di Nulisbuku yang Saya tutup sejak awal tahun ini. Sebab Saya sudah bertekad memperbaiki ulang “Cowok Rasa Apel”. Saya merasa tak etis membuat versi yang lebih mutakhir tetapi masih sembari menjual versi lama.

Bahkan kali ini Saya tak hanya sekadar memperbaiki, tetapi juga membuat target yang lebih tinggi: menawarkan naskah tersebut kepada penerbit mayor. Untuk menembus penerbit mayor, Saya sadar bahwa sepertinya tidak mungkin diterima jika yang Saya tawarkan adalah “Cowok Rasa Apel” versi yang lama itu. Saya sampai pada keyakinan tersebut setelah mempelajari banyak contoh novel dari penerbit mayor, dan mempelajari standar mereka. Pelajaran yang Saya petik adalah bahwa memang sebuah idealisme menulis tidak akan menjadi kompetitif, jika kita tidak belajar dari penulis lain. Kita hanya akan menjadi pede saja, tapi tidak sadar seberapa lemah mutu tulisan yang kita hasilkan. Pede saja tidak cukup, sebab bisa-bisa malah jadi bahan tertawaan (contohnya ya macam Jonru itu).

Apakah Saya sedang merendahkan tulisan Saya sendiri? Yah, sedikit. Yang Saya temukan sebagai kekurangan paling utama pada naskah “Cowok Rasa Apel” yang lalu adalah: penataan verbal yang tidak rapi. Itu saja, sih. Mungkin itu memang subjektif. Buktinya, toh pembaca “Cowok Rasa Apel” banyak juga yang mengikuti kelanjutannya, meskipun tata bahasanya tidak rapi. Yah, kalau pembaca kan memang biasanya cenderung toleran soal gaya bahasa. Namun, Saya sangsi penyeleksi naskah di penerbitan mayor akan toleran. Mereka tidak suka typo, tidak suka diksi yang meleset, tidak suka tanda baca yang banjir, dan sebagainya. Jadi itu yang harus Saya perbaiki.

Namun ternyata, sembari Saya membetulkan typo dan tanda baca, Saya juga rasakan bahwa naskah lama itu penuh dengan lubang logika. Bukan berarti logikanya ngawur, melainkan hanya kurang bernas saja. Jadi, akhirnya perbaikan naskah “Cowok Rasa Apel” ini tak hanya sebatas faktor bahasa dan penulisan saja, tetapi juga penguatan terhadap substansinya.

Dan akhirnya jadilah naskah “Cowok Rasa Apel” yang paling mutakhir ini. Dalam wawasan Saya, naskah ini telah menjadi lebih solid, kompleks, dan reasonable. Atmosfer cerita tetap sama. Karakter Dimas tetap tidak berubah. Dia masih Dimas seperti yang kalian kenal selama ini. Begitu pula Denis dan Erik. Namun, di naskah yang mutakhir ini mereka menyampaikan deskripsi serta pesan secara lebih tajam dan jelas kepada pembaca. Imbasnya, tebal halaman bertambah. Hampir dua kali lipat dibanding naskah yang sebelumnya! Itu saja. Selebihnya, semua masih sama, termasuk plot ceritanya.

Singkatnya, Saya menyebut versi baru ini sebagai naskah “Cowok Rasa Apel” yang lebih kompeten. Lebih pantas seandainya ditawarkan kepada penerbit mayor. Meskipun tak ada jaminan akan langsung diterima juga. Sebab setiap penerbit mayor pasti punya perhitungan yang jeli dan tak bisa lepas dari konteks nilai komersial sebuah naskah, yang mana juga akan terkait dengan jenis pembaca yang ditarget.

Sejak awal, meskipun Saya menyebut ini adalah bacaan yang “aman”, Saya sadar bahwa tema LGBT sangat segmented. Memang, ada novel-novel LGBT yang berhasil menembus penerbit mayor dan sukses di pasaran, tetapi novel-novel tersebut memasang karakter dewasa, bukan remaja. Sedangkan “Cowok Rasa Apel” memasang karakter remaja, yang mana berpeluang menjadi lebih kontroversial karena seolah-olah ingin mencekoki remaja dengan homoseksualitas. Apalagi akhir-akhir ini ranah LGBT baru gencar diserang wacana kriminalisasi. Berat!

Meski demikian, Saya tetap mencoba memasukkan naskah “Cowok Rasa Apel” ke penerbit mayor. Sebab bagaimanapun Saya tak bisa menampik bahwa diterima oleh penerbit mayor adalah sebuah prestasi yang diidamkan oleh—mungkin semua—penulis. Saya sudah menjadi penulis di forum. Saya sudah menjadi penulis di blog. Saya sudah menjadi penulis buku indie. Tentu tergagas di kepala Saya, bahwa target prestasi selanjutnya adalah menjadi penulis di penerbitan mayor. Untuk itu, usaha sudah Saya lakukan. Beneran!

Asal tahu: Saya sudah masukkan naskah “Cowok Rasa Apel” ke sebuah penerbit mayor sejak awal tahun ini. Hasilnya? Naskah Saya dicuekin sampai sekarang.

Sudah berapa penerbit mayor yang Saya tawari?

Baru satu.

Hehehe….

Terus Saya langsung nyerah, gitu?

Well, begini ya. Sejujurnya, Saya tidak patah semangat. Tetapi, selama proses menanti jawaban dari penerbit yang tak kunjung datang itu, Saya belajar pada satu fakta yang Saya rasa tak akan ditampik oleh siapa pun: butuh berbulan-bulan untuk mendapatkan jawaban dari sebuah penerbit mayor. Bisa tiga bulan, bisa sampai enam bulan.

Sialnya: kendati sudah menunggu lama, tetap tak ada jaminan bahwa jawaban yang ditunggu itu adalah “Ya, kami akan menerbitkan naskah Anda”. Itu baru menunggu kepastian dari satu penerbit saja, lho. Bayangkan jika naskah tersebut ditolak oleh lima penerbit, dengan masing-masing butuh waktu tiga bulan (ini sudah yang paling cepat), maka Saya sudah memboroskan waktu setidaknya 15 bulan. Setahun lebih hanya untuk menunggu! Andai saja etis untuk memasukkan naskah yang sama ke sebanyak-banyak penerbit, maka tak terlalu banyak waktu yang diboroskan. Intinya, Saya tidak mau mengambil risiko menunggu keputusan penerbit sampai berbulan-bulan.

Kenapa? (“Dasar penulis manja! Nggak sabaran!”—mungkin kalian membatin begitu.)

Bukan soal manja atau nggak sabaran. Melainkan soal karakter cerita yang Saya bikin ini. Memang menurut Saya ada masalah penting berkenaan dengan waktu. Jelasnya begini: andai saja naskah yang Saya tulis adalah cerita bertema Dystopian, epik historis atau fantasi, maka Saya tak akan gamang berurusan dengan waktu penantian yang begitu lama. Sebab toh cerita yang Saya buat tak terikat dengan dimensi waktu yang sama dengan pembaca. Tapi “Cowok Rasa Apel” tidak begitu. Cerita ini menggunakan garis waktu yang sinkron dengan waktu faktual yang dialami pembaca, menempatkan diri pada era tertentu yang pernah/masih faktual, dengan berbagai kekhasan sosial dan budayanya. Cerita ini dituturkan dalam frame realistik. Tahun bahkan tanggal dan bulan suatu kejadian ditulis dengan jelas dalam cerita ini. Artinya, kondisi ideal untuk membaca cerita ini adalah di era yang tak terlampau jauh terpentang dari era yang dipakai di cerita ini.

Asal tahu, garis waktu yang digunakan dalam cerita “Cowok Rasa Apel” dimulai pada tahun 2008-2009. Sedangkan sekarang sudah 2016. Masih lumayan relevan sih kalau dibaca sekarang. Tapi, kalau naskah ini terus Saya simpan demi menunggu penerbit mayor yang mau, lalu katakanlah baru ada penerbit yang bersedia menerbitkannya di tahun 2020, tuiiinggg… maka pembaca akan membaca sebuah cerita seorang remaja yang terjadi 12 tahun silam. Artinya, ketika cerita itu dibaca oleh remaja di tahun 2020, tokoh Dimas sendiri sebetulnya sudah berumur 29 tahun. Yah, Saya merasa itu akan aneh saja, sih.

Mungkin ada yang berpendapat: “Kenapa aneh? Serial Harry Potter juga begitu, kok. Kejadiannya di tahun ’90-an malah!”

Ya itu tadi seperti yang Saya bilang: Harry Potter kan genre-nya fantasi. Mau ditaruh di tahun berapa pun pembaca juga tahu bahwa itu fantasi. Sedangkan Saya tidak mengemas “Cowok Rasa Apel” seperti itu.

Saya tidak heran ketika banyak pembaca “Cowok Rasa Apel” bertanya: “Ini cerita real, ya?” Saya tidak heran. Sebab memang nuansa itulah yang ingin selalu Saya sajikan di cerita ini. Nuansa realistik. Terikat dengan suatu zaman. Terikat dengan tipikal remaja pada suatu era. Seperti halnya novel-novel “Lupus” di tahun ’80-an. Pada era itu ngebom sekali di kalangan remaja! Tapi, apakah sekarang masih ada remaja yang baca “Lupus”? Kayaknya enggak, deh. Kecuali om-om yang mau nostalgia saja, seperti Saya. (Dan tante-tante.)

Novel seperti “Lupus” akan memberi kenangan abadi bagi pembacanya. Namun ia tak akan mampu menolak menjadi tua—sama seperti pembacanya. Makanya tidak heran, ketika film “Lupus” dibuat ulang, ia gagal memberikan kesan yang berarti. Remaja masa kini nggak ada yang ngeh terhadap film itu. Padahal casting-nya pakai audisi live segala di televisi. Ujung-ujungnya hanya jadi film yang terlupakan begitu saja.

Saya tak berani mengatakan bahwa proyek semacam itu mustahil, tapi yang pasti itu tentu sulit sekali. Sebab berhadapan dengan zaman yang sudah sangat kontras perbedaannya. Apalagi zaman sekarang percepatan teknologi sangat melesat. Setiap tahun sistem operasi android ganti versi. Setiap bulan ada gadget seri terbaru. Setiap minggu ada artis gabung di Smule. Setiap hari ada aplikasi minta diperbarui. Setiap malam ada akun ngajak kenalan di Grindr. Pernah itu dibahas di “Cowok Rasa Apel”? Nggak pernah, coy! Lha wong “Cowok Rasa Apel” kejadiaannya tahun 2008! Bahkan yang seri 3 pun kejadiannya di tahun 2011!

Jadi, mengapa Saya urung meneruskan tawaran naskah ini ke penerbit mayor, bukanlah soal takut berkompetisi. Bukan takut ditolak berkali-kali. Melainkan karena Saya ingin menjaga jiwa cerita ini bagi pembaca. Saya mengerti bahwa bagaimanapun laju waktu tak bisa dicegah. Pada akhirnya kita akan sampai juga menghadapi tahun 2020, 2025 dan seterusnya. Cerita yang brilian, konon, adalah cerita yang sanggup hidup di hati pembacanya tanpa pasungan waktu. Jika kelak “Cowok Rasa Apel” bisa sebrilian itu, ya Saya tentu senang. Namun, untuk saat ini, Saya perlu mempertimbangkan langkah yang lebih realistis. Bukan yang muluk-muluk. Saya sudah terlalu lama menunda. Sudah saatnya naskah ini Saya sajikan kepada pembaca, sebelum terlambat (timing-nya).

Itulah alasan mengapa Saya akhirnya memilih mempublikasikan ulang “Cowok Rasa Apel” dalam format e-book saja. Yaitu biar cepat sampai di tangan pembaca. Tak usah menunggu lama penerbit mayor. Lagi pula toh ini zaman digital. Hampir semua orang memegang gadget yang kapabel terhadap sistem android dan ios. Jadikan saja gadget itu buku! Dan pembaca tak perlu repot-repot ke toko buku, cukup pesan sambil tiduran saja. Tapi bayarnya tetap harus ke bank atau ATM terdekat, sih. Hehe…. Tunggu lima menit setelah bayar, langsung siap dibaca. Tak perlu menunggu datangnya paket kiriman yang sering berhari-hari. Enak, tho? Yah, memang pembaca tak bisa merasakan sensasi aroma kertas buku, sih. Tapi apakah itu masalah serius?

cover

Untuk mengedarkan buku elektronik “Cowok Rasa Apel” ini Saya bekerja sama dengan SCOOP, sebuah platform yang juga telah bekerja sama dengan penerbit-penerbit terkemuka seperti Kompas-Gramedia, Tempo, Mizan, dan sebagainya. Untuk bisa membaca buku-buku yang tersedia di SCOOP, maka pembaca harus memasang terlebih dahulu aplikasi SCOOP dan membuat akun. Petunjuk cara pembelian bisa ditemukan di layar aplikasi, sangat informatif dan mudah diikuti. Pembayaran bisa dilakukan lewat transfer ATM, di samping cara-cara lainnya. Mudah sekali.

Sebagai catatan, ketika telah dibeli/diunduh, buku tersebut hanya bisa dibaca melalui SCOOP-reader. Artinya, sistem ini bisa lebih melindungi naskah dari pembajakan. Sebab tidak bisa di-copas. Tenang, sistem bacanya di SCOOP tetap enak, kok.

Ini link-nya: https://www.getscoop.com/id/buku/cowok-rasa-apel

Lebih jauh tentang SCOOP bisa lihat di sini: https://www.getscoop.com/id/faq

Jadi inilah yang Saya persiapkan selama ini, sampai menunda naskah-naskah yang lain. Butuh waktu lama karena memang tidak mudah prosesnya. Kalau hanya memperbaiki typo sih sehari juga jadi. Tapi memberi bobot yang proporsional dalam etos perbaikan mutu, tanpa mengubah jiwa cerita, itulah yang susah. Hasilnya, bisa kalian nikmati mulai dari sekarang. Dan silakan kalian nilai sendiri. Dan ini menjadi penanda komitmen Saya untuk melanjutkan proyek publikasi bagi naskah “Cowok Rasa Apel 2”. Semoga lekas menyusul, di platform yang sama.

Begitulah yang bisa Saya bagikan sampai di titik ini. Semoga para pembaca senang. Kalaupun semua usaha ini masih menyisakan kekurangan, tak usah ragu untuk mengkritik. Saya memang galak, tapi itu hanya terhadap kritikan yang ngawur saja. Bahkan kadang kegalakan Saya itu sebenarnya tak lebih dari sekadar gaya Saya dalam bercanda. Beneran!

Dan selebihnya, Saya ucapkan terima kasih kepada para pembaca yang selama ini telah sabar dan ikhlas menghadapi keruwetan Saya dalam berkarya. Bahkan sampai tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada Saya tempo hari, berbondong-bondong di Facebook, sampai Saya males balasnya. Saya memang orangnya gitu. Tapi sumpah, beneran, Saya tetap berterima kasih sekali.

Kok jadi ngomongin kepribadian Saya sendiri, ya?

Ya sudahlah. Pokoknya, selamat menunggu lagi untuk kelanjutan proyek “Cowok Rasa Apel” berikutnya…! Hehehe…. Semoga tak selama balasan penerbit mayor. Saya usahakan pokoknya!

God Bless You.

NB: Untuk preview terbaru, bisa unduh di sini: preview-new-cra-1

 

Tag:

Sebuah cerpen

CINTA YANG JATUH DI JALAN

Warga desa menyebut hantu itu “Si Tua”. Siapakah sesungguhnya hantu itu—apakah dia dulunya orang yang pernah hidup, ataukah sejak awal memang sudah tercipta sebagai hantu—tak ada riwayat historis yang jelas. Maka ia pun lebih tepat disebut sebagai dongeng. Dari dongeng, ia pun menjadi mitos. Kau mungkin tak percaya pada dongeng ataupun mitos, tetapi kautahu bahwa pernah ada masanya ketika dongeng dan mitos menjadi sebuah kebenaran.

Ia dijuluki “Si Tua” oleh sebab dalam penampakannya selalu mewujud sebagai sesosok kakek tua. Ia disebut-sebut suka muncul di pagi buta, dan dalam kemunculannya itu ia selalu berjalan tergopoh-gopoh di sepanjang jalan yang menuju ke kali. Tak ada penjelasan mengapa hantu itu tidak terbang saja, sebab biasanya hantu diceritakan bisa terbang, malah banyak yang percaya bahwa sebetulnya yang namanya hantu pasti tidak menginjak tanah. Bahkan Si Tua ini sepertinya bukan hanya satu-satunya hantu yang menginjak tanah, tetapi ia juga satu-satunya hantu yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkan tahi di mana pun di jalan yang ia lewati—mungkin itulah alasannya mengapa ia lebih baik jalan kaki saja, tidak terbang, setidaknya tahinya tak akan menjatuhi orang. Gara-gara tabiat yang aneh itu, beberapa pendongeng lain menyebut hantu itu “Si Berak Berjalan”.

Mitos berkata—entah siapa yang pertama kali berkata, mungkin saja seorang dukun pada zaman itu—bahwa siapa pun yang bisa menggendong Si Tua sampai di kali sebelum tahinya bobol di jalan, maka kelak dia akan berhasil menggapai cita-cita dalam hidupnya. Orang dewasa mana pun yang berfisik kuat, atas nama kebaikan dan budi pekerti luhur, semestinya tak akan keberatan menggendong kakek renta yang kebelet buang hajat ke kali. Namun tentunya selama kakek itu bukan hantu. Memang itulah masalahnya.

Kautahu bahwa pagi adalah waktu yang paling baik untuk membuang sampah dalam perut, atau setidaknya kebanyakan orang berpikir begitu. Orang-orang di desa itu pun berpikir sama: pagi adalah waktu yang tepat untuk buang hajat. Hanya saja, mereka tidak ke kali sepagi orang-orang dari desa lain—mereka berbeda desa, tetapi memberaki kali yang sama. Di desa yang memelihara dongeng tentang Si Tua, orang-orangnya terpaksa menunggu sampai pagi betul-betul terang, lalu barulah mereka berbondong-bondong untuk buang hajat ke kali. Alasannya jelas karena hantu itu. Bertemu saja mereka tak sudi, apalagi menggendong. Lebih tepatnya: tak berani.

Namun, dongeng pun mengenal pengecualian, bukan? Semua penghuni desa itu berharap tak pernah bertemu Si Tua, kecuali satu orang, yaitu pemuda bernama Wahid.

Wahid adalah seorang pemuda yang menjadi sebatang kara sejak umur 16 tahun, tepatnya sejak kedua orang tuanya dibantai oleh tentara Nippon; ibunya hendak diculik segerombolan tentara kate untuk dijadikan Jugun Ianfu, dan si ayah melawan, maka ujungnya suami-istri itu mendapat nasib yang sama: leher mereka ditebas dengan katana. Konon itu memang masa yang penuh krisis; konon dijajah Belanda masih lebih mendingan dibandingkan dijajah Jepang. Tentara Jepang alias Nippon itu kalau bicara kedengaran seperti mengejan, dan mereka memperlakukan orang-orang pribumi dengan perlakuan yang lebih buruk dari kotoran.

Sedemikian kejamnya tentara Jepang, sehingga, mungkin, banyak orang di masa itu berpikir bahwa masih dapat hidup saja sudah untung; mereka tak sempat memikirkan soal cita-cita, jadi untuk apa pula repot-repot mencegat dan menggendong Si Tua? Sebaliknya, orang-orang yang tetap memiliki optimisme untuk bercita-cita sebetulnya juga masih ada, hanya saja mereka terlalu terpelajar untuk percaya bahwa cara untuk menggapainya adalah dengan menggendong hantu yang suka berak. Mungkin ada juga yang percaya, tetapi tak berani menempuh cara itu. Sekali lagi, Wahid menjadi pengecualian. Bukankah tokoh utama sebaiknya memang istimewa? Wahid memiliki empat hal yang tidak dimiliki kawan-kawannya pada masa itu: cita-cita, keyakinan, keberanian, dan ketidaknalaran. Namun untuk menyatukan keempatnya butuh waktu sampai ia berusia 19 tahun.

Ketika Wahid memasuki umur 19 tahun, tentara Nippon sudah minggat dari bumi Nusantara, dan “Indonesia” sudah menjadi nama sebuah negara yang mengaku merdeka. Namun toh tidak serta-merta rakyat yang semula miskin langsung menjadi lebih makmur. Wahid masih kere, sama seperti kebanyakan orang pada masa itu. Akan tetapi, seperti yang sudah disinggung di kalimat terakhir paragraf sebelumnya, Wahid pada saat itu telah menemukan tekad untuk mewujudkan cita-citanya dan ia bukan penakut seperti orang lain yang ada di desanya. Tiap pagi buta dia menunggu munculnya si hantu di tempat yang menurutnya paling sepi di desa itu. Tekadnya, jika hantu itu muncul maka dia akan menggendongnya sampai ke kali. Itu adalah syarat agar cita-citanya tergapai.

Hantu itu muncul di hari penantian yang keempat puluh. Bukan saat pagi buta, tapi pada saat petang remang, ketika Wahid hendak buang hajat di kali—memang, pagi adalah waktu yang lebih tepat untuk berak, tetapi tak ada larangan juga untuk melakukannya di sore hari. Wahid awalnya tak mengira bahwa itu adalah hantu yang selama ini sudah dinantinya sampai bosan. Hantu itu kelihatan seperti orang tua lumrah saja, tak tampak menakutkan sama sekali sebagai hantu, bahkan wajahnya mirip dengan salah seorang tetangga sehingga Wahid tak mencurigainya sebagai hantu. Wahid membantunya turun ke tepi kali, lalu menempatkannya pada sebuah batu besar yang bisa dijadikan pijakan untuk berak. Pada saat itulah Wahid menemukan selembar cucian hanyut yang tersangkut pada batu. Dia memungut kain hanyut itu, dan rupanya itu menjadi kesempatan bagi si kakek untuk menghilang begitu saja. Seketika itu Wahid baru sadar bahwa kakek tadi adalah hantu yang telah dinantinya selama 40 hari.

Pakaian hanyut yang ditemukan Wahid menjadi pengubah nasibnya. Sudah pasti itu baju milik orang kaya; kainnya bagus, tetapi yang lebih meyakinkan adalah kancing-kancingnya terbuat dari emas. Dengan girang gembira Wahid mempereteli kancing-kancing itu, lalu menjualnya ke seorang priyayi di kota. Wahid dapat uang banyak dari penjualan barang hanyut itu. Lalu dia gunakan uang itu untuk modal berdagang kain di kota. Awalnya dia hanya menjual beberapa lembar batik secara keliling. Di tahun berikutnya dia mulai sanggup menyewa lapak, tahun berikutnya lagi dia mampu membangun kios sendiri. Dalam waktu yang terbilang singkat dia menjadi makmur.

Begitulah Wahid memenuhi nubuat mitos Si Berak Berjalan. Ada yang bilang dia seorang pemberani dan gigih; ada yang bilang dia hanyalah yatim piatu dungu yang bernasib mujur.

Namun, apakah menjadi kaya memang tujuan Wahid ketika memburu hantu itu? Tentunya siapa pun memang akan senang bila menjadi kaya. Namun, bagi Wahid, sesungguhnya kekayaan adalah cita-cita nomor dua. Baginya, ada hal yang lebih membahagiakan daripada kekayaan. Sebagian dari kita mungkin juga sepakat dengannya. Yang sedang kita bicarakan kali ini adalah: cinta.

Dengan menjadi makmur, Wahid tak hanya menolong dirinya sendiri, tetapi juga menolong orang yang selama ini dicintainya. Orang itu adalah Sahid, seorang pemuda dari desa tetangga yang kondisi hidupnya tak jauh beda dari Wahid. Sahid juga anak tunggal. Bedanya, Sahid masih memiliki ibu, sedangkan ayahnya mati saat menjadi Romusha—betul, oleh perlakuan penjajah yang suka mengejan itu. Mereka berdua kenal di pasar; ketika itu Wahid masih menjadi kuli panggul, sedangkan Sahid adalah penjual sayur ala kadar. Setelah sukses menjadi pedagang kain, Wahid menawari Sahid untuk bekerja padanya. Wahid meyakinkan bahwa upah bekerja di tempatnya akan lebih baik dibandingkan laba menjual sayur. Pada masa itu orang-orang masih gemar menanam sayuran dan tetanaman lainnya di pekarangan sendiri, sehingga tak terlalu bergantung pada pedagang sayur. Sedangkan para priyayi dan pejabat pribumi—di negara yang baru merdeka itu—sedang menemukan semangat baru dalam berbudaya, termasuk dalam berpenampilan, dan mereka menggemari batik. Dengan pertimbangan itu, Sahid pun setuju, demi nasib yang akan sedikit lebih baik.

untuk kisah lengkapnya, silakan baca di: http://ceritasolitude.blogspot.co.id/2015/12/sebuah-cerpen.html