RSS

Karung 6

 
 
 

Karung 6

Restu, Celah dan Siasat

 
 
 

Pagi ini kutemukan menu yang janggal di meja makan. Tiap pagi, yang biasa menyiapkan sarapan adalah Mbok Marni. Tapi dia cuma tahu masakan Jawa. Sedangkan pagi ini di meja makan aku bertemu Fu Yung Hai dan Sup Makaroni.

“Siapa yang bikin, Mbok?” tanyaku ke Mbok Marni yang sedang menyapu lantai dapur.

“Yang bikin Ibuk, Mas Denis,” sahut Mbok Marni.

Sebenarnya sudah kuduga. Cuma, tumben banget Mama yang nyiapin sarapan? Biasanya Mama cuma memasak kalau siang atau sore. Aku cicipi menu-menu buatan Mama itu. Seperti biasa, cenderung manis dan kurang garam. Kuambil separuh, telur isi daging dan sayur itu. Sup Makaroni kuambil semangkuk. Nggak tahu apakah ini paduan yang cocok, tapi nikmati saja. Mama mau memasaknya pagi-pagi, pasti ingin ini jadi sesuatu yang istimewa. Entah kenapa.

“Enak?” Mama menyapa sambil duduk satu meja denganku.

“Enak. Cuma kurang garam,” jawabku sambil mengunyah. Kulihat Mama sudah berdandan rapi. “Mau pergi ke mana, Ma?”

“Biasa, kerjaan. Ngambil uang polis ke beberapa nasabah.”

“Kok, tumben nyiapin sarapan?” celetukku. “Kayak mau pergi jauh?”

Mama tersenyum tipis. “Kapan kamu berangkat mencari kakakmu?” malah pertanyaan itu disodorkan padaku, membuat kunyahanku berhenti sesaat.

“Kapan Papa cerita, Ma?”

“Tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor,” jawab Mama.

Aku manggut, melanjutkan kunyahan. “Aku masih cari kejelasan dulu, Ma. Aku mau hubungi teman-teman Dimas yang ada di sana, mungkin ada yang tahu. Kalau sudah jelas dia di mana, aku berangkat.”

“Kata Papa, pacarnya Dimas itu juga mau ikut?” singgung Mama.

Kembali aku sulit menelan. Perkataan itu seperti menyumpal kerongkonganku. Terdengar janggal, mengusik, menggelitik. Kuletakkan sendokku, menunda suapan berikutnya.

“Bukan pacarnya lagi. Mereka sudah putus…” jelasku meluruskan. Lalu aku mengiyakan, “Dia memang mau ikut. Mungkin dia bisa membantu nanti.”

Mama tersenyum pahit. Matanya tampak mengenang. Berkata hampir tak terdengar, “Padahal dia anak baik-baik, ya?”

“Siapa?”

“Teman Dimas itu. Fandy, kan, namanya?”

Aku tercenung. Hampir tak paham arah ucapan Mama itu. Lagi-lagi terdengar janggal dan menggelitik. Karena diucapkan oleh Mama, yang selama ini menentang hubungan Dimas dan Fandy.

Mama berkeluh-kesah padaku dengan wajah murung. “Dimas juga anak baik-baik, selama ini nggak pernah ngecewain Mama. Tapi soal masalah itu, Mama bingung… pantas nggak, sih, Mama kecewa…?”

Aku terpaku, melihat mata Mama yang perlahan berkaca-kaca.

“Mama kuatir. Menurut kamu, apa dia akan baik-baik saja kalau tetap memilih jalan itu? Apa kamu nggak kuatir dengan keadaan kakakmu?”

Rupanya ini benar-benar menjadi makan pagi yang tak biasa. Dadaku menyesak. Sulit untuk bicara dalam kegalauan seperti ini. Tapi sepertinya tak ada lagi saat yang lebih tepat untuk bicara, selain sekarang!

“Ma, aku nggak tahu. Makanya, aku nggak bisa melarang-larang. Karena aku sendiri nggak lebih tahu dibanding dia. Yang aku tahu cuma… gay itu nggak melulu berisi orang-orang yang hidupnya hancur. Nggak selalu kehidupan mereka cuma soal free-sex dan having fun. Banyak juga yang hidupnya baik. Mapan. Malah di luar negeri mereka banyak yang menikah. Mereka mengadopsi anak. Mereka bisa punya prestasi, punya karir. Kemungkinan itu juga terbuka untuk Dimas, kan? Mama sendiri barusan bilang, selama ini dia nggak pernah ngecewain Mama.”

Mama termenung. Di wajahnya yang muram itu, aku melihat ada penyesalan. Sisanya, adalah wajah yang rindu.

Aku menghela napas, merasa lebih sulit untuk mengatakan ini, “Kalau mau dibilang dosa, ya mungkin memang dosa. Tapi pernah nggak, sih, dia itu mencelakai orang? Dia cuma pacaran dengan orang yang juga cinta sama dia. Kenapa kita harus menghukumnya? Sedangkan kita juga punya dosa sendiri-sendiri. Maaf, Ma, aku nggak bermaksud ngajarin orang tua, tapi…”

Mama menghentikanku. Dia menepuk-nepuk telapakku yang terkepal di meja. Menenangkanku di saat dia sendiri terlihat begitu gundah. Mama mengangguk padaku, sudah paham maksudku.

“Apa dia akan mau untuk pulang?” pertanyaan itu terlontar lirih.

“Ma, kenapa aku mau pulang dan tinggal di sini lagi?” balasku, mencoba mengingatkan pada sesuatu yang aku sendiri pernah hadapi di keluarga ini. “Karena aku percaya, ada yang bisa kuharapkan di sini. Karena aku percaya, ini keluargaku. Nggak ada yang bisa menggantikan Papa dan Mama. Nggak ada saudara yang seperti Dimas. Aku percaya, selama ini nggak ada yang bermaksud membuatku merasa tersingkir dari keluarga ini….”

Mama mengusap matanya. Ia menatapku dengan raut yang tak bisa kugambarkan. Perlahan mulai tersenyum, meski terlihat sulit. “Kalau kamu ketemu Dimas, katakan juga itu padanya….”

Aku mengangguk.

Pasti.

Mama tak berkata apa-apa lagi. Pergi, meninggalkan aku sendiri di meja makan dengan sarapan yang masih tersisa.

Kadang, rasa haru juga membuat sebuah tekanan di dada. Perasaan haru bukanlah perasaan yang buruk, pastinya. Tapi perasaan seperti ini tetaplah membuat sisa sarapan sulit untuk dituntaskan. Meski begitu, aku tetap menghabiskannya, karena ingat bahwa ini adalah sarapan istimewa. Yang istimewa tak semestinya dibiarkan sia-sia.

Di akhir sarapan, sejenak Dimas merasukiku dengan pikiran filosofis-nya…

Ya, Mama perlu memberi sedikit lagi garam. Karena aku percaya, jiwa seorang ibu itu ibarat lautan. Tapi, air laut pun butuh proses untuk menjadi garam.

Entah, apakah filosofi yang tercetus di benakku itu tepat dan dapat dipahami. Sarapan yang kurang garam, akhirnya juga biarlah cuma soal perut. Tak terlalu penting, lah. Yang penting adalah, hatiku sudah jauh lebih tenang. Karena Mama sudah bersedia membuka ruang di hatinya, untuk menerima apa adanya Dimas. Meski keputusan itu mungkin tetap menyisakan rasa pahit bagi Mama.

Tak ada lagi alasan bagi Dimas untuk tidak pulang. Tinggal bagaimana cara untuk menemukannya.

Satu cara yang belum kutempuh, adalah menghubungi seseorang bernama Dika, yang kata Mas Awan mungkin bisa memberi tahu tentang keberadaan Dimas. Kupikir tak perlu menunda lagi untuk menghubunginya. Kuhampiri HP-ku di kamar. Dan, oh, aku baru tahu ada SMS masuk.

“Aku lupa ngsih tau kmrn. Dika = pacar Awan. Dimas prnh crita. FYI.” Begitu bunyi pesan pendek dari Fandy.

Dika pacarnya Awan? Hmmm… informasi yang aku tak terlalu kaget. Cuma, aku sempat iseng berpikir: mereka sama-sama gay, memangnya Awan nggak cemburu membiarkan Dimas menginap di rumah pacarnya yang bernama Dika itu?

Entahlah. Dunia gay memang bukan duniaku. Itu dunianya saudara kembarku yang merepotkan itu! Ffhhh….

“Gmn suratnya? Beneran ga ada ptnjuk?” balasku ke Fandy, menyinggung soal surat Dimas.

Dia membalas. “Ga ada. Itu surat ga ada artinya buat org lain.”

Ooo, memang surat yang personal rupanya. Kalau Fandy yang baca, itu pasti surat romantis. Tapi kalau aku yang baca, amit-amit. Sialan! Rupanya Dimas memang tak ingin menjadikan pencarian ini jadi lebih mudah.

Untung aku punya nomor milik orang bernama Dika ini. Semoga dia memang bisa membantu. Sekarang aku harus menghubunginya!

“Ya, halo?”  panggilanku dijawab.

Jantungku berdebar agak kencang. “Selamat pagi, benar ini dengan Mas Dika?”

“Betul, ini dari siapa?”

Suaranya yang renyah mengurangi rasa gugupku. “Maaf kalau mengganggu. Saya Denis, saudara Dimas…”

“Oh!” dia langsung menyahut. “Dari Solo, ya?”

“Betul, Mas!” sahutku bersemangat, karena sepertinya dia memang kenal Dimas. Aku tak basa-basi, “Saya dapat nomor ini dari Mas Awan. Saya sedang mencari saudara saya, Mas. Kata Mas Awan, Mas Dika tahu…?”

Di sana suara sempat terdiam sejenak. Lalu, “O, begitu….” sahutnya singkat dan mendatar.

Dengan agak sungkan aku menjelaskan. “Dia sudah lama pergi dari rumah. Kami sekeluarga cemas, karena dia nggak pernah kasih kabar. Kami ingin dia segera pulang, Mas.”

“Ya, saya sudah tahu ceritanya. Dia sendiri yang cerita ke saya.”

“Kata Mas Awan, dia pernah menginap di rumah Mas Dika?”

“Bukan di rumah saya, tapi kos satu komplek dengan saya di Badung. Sekitar sebulanan. Tapi sejak minggu lalu dia sudah tidak di sini lagi.”

Sudah pergi lagi…?

Aku mulai lesu. Harapanku terusik, mendengar kenyataan dia sudah tak ada lagi di tempat aku bertanya. Ya ampun!

“Mas tahu ke mana perginya?”

“Maaf, sayang sekali… saya tidak tahu. Dia cuma bilang mau mengunjungi tempat lain, begitu.”

Lagi, mengunjungi tempat lain?!

Lama-lama aku tak bisa menghindari pikiran yang tak enak soal Dimas. Aku tahu Papa mengiriminya uang, awalnya bagiku itu terdengar lumayan banyak: lima ratus ribu tiap bulan. Tapi setelah dikalkulasi, itu cuma lima belas ribu perhari. Untuk jajan lumayan. Tapi untuk hidup, mana cukup? Belum lagi dia suka mengunjungi tempat ini-itu?

“Bukannya di Bali serba mahal ya, Mas? Saya masih bingung, gimana dia hidup selama di situ?”

Mas Dika tertawa. “Yaa… kalau mau cari yang mahal, banyak. Tapi yang murah juga ada. Relatif, kok.”

“Tapi kayaknya dia suka ke mana-mana. Contohnya sekarang, dia sudah pergi lagi!” ucapku merasa risau. Lalu tiba-tiba kecemasanku berbelok, bukan lagi soal kantong Dimas, tapi, “Dia nggak kenapa-napa, kan, Mas…?”

“Oh, dia baik-baik saja, kok. Selama di sini dia juga cepat bergaul, tidak ada masalah dengan yang lainnya. Sebenarnya… selama di sini dia bekerja, satu tempat dengan saya.”

“Kerja?” aku kaget. “Kerja apa, Mas?”

“Di sini ada galeri dan kafe. Dia di bagian galeri, membantu untuk sementara. Dia juga sempat bergabung dengan grup yang biasa mengisi venue kami.”

“Grup?”

“Home-band, maksudnya. Dia pintar main musik, jadi diajak bergabung sama teman-temannya itu.”

Aku cukup tercengang menyimaknya. “Iya, sih… dia pintar main gitar,” tanggapku kikuk. Sepertinya aku memang sudah terlalu meremehkan Dimas. Ternyata kuat nyali juga dia jadi ‘pengamen’, untuk survive…! Aku menyelidik lagi, “Terus kenapa dia malah pergi, Mas?”

“Hmmm…. Dia memang tidak berniat bekerja tetap di sini. Kebetulan saja ada karyawan yang cuti panjang, jadi Dimas mengisi slot yang kosong sementara.”

“Terus, dia juga nggak di band itu lagi?”

“Tidak. Karena dia juga sekadar additional. Dia sudah punya rencana sendiri, untuk pergi mengunjungi tempat lainnya. Cuma dia tidak bilang ke mana saja.”

“Tapi Mas punya nomor HP-nya?”

Terdengar menghela napas. “Tidak, Bli. Saya kasihan sebenarnya… dia kehilangan HP waktu jalan-jalan ke Kuta beberapa waktu lalu. Jadi sampai sekarang saya juga tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.”

Ya ampun. Apa benar Dimas kehilangan HP? Kalau benar, memang kasihan… itu HP mahal kesayangannya. Tapi, bagaimana kalau sebenarnya dia menjualnya? Untuk ongkos, mungkin? Baginya jalan-jalan lebih penting daripada HP, mungkin? Siapa tahu? Kalaupun benar benda itu hilang, itu juga bukan alasan baginya untuk tidak mengabari keluarga. Dia bisa pakai telepon umum, atau pinjam telepon siapa. Dia tidak melakukannya. Apapun yang terjadi padanya, dia memang sudah bulat hati untuk menghilang….

Aku membuang napas. Dongkol! Mencoba sebisa mungkin untuk tidak membiarkan harapanku berhenti.

“Saya akan bantu menanyakan ke teman-temannya yang lain,” Mas Dika menyambung, seolah memahami kegelisahanku. “Mungkin teman-temannya yang di band itu ada yang tahu. Saya akan bantu, Bli….”

“Tolong ya, Mas…” aku mengharap.

“Ya. Saya usahakan, Bli. Sebelum pergi dia pernah bilang akan kemari lagi. Tapi dia tak memastikan kapan, jadi saya tidak berani menjamin…. Saya akan ikut cari tahu, Bli. Kalau saya dapat informasi, saya akan kabari.”

Jawaban Mas Dika mengobati keresahanku, mencegah harapanku pupus. “Makasih ya, Mas. Terus terang, kami malu sudah merepotkan Mas.”

“Tidak apa-apa, Bli. Saya tak merasa repot. Dimas anak baik. Saat dia cerita tentang masalahnya, saya juga bilang agar dia sebaiknya pulang saja. Tapi dia masih keras hati.”

Aku tertawa pahit, mencibir situasi. “Orang baik sekalipun, juga bisa merepotkan ya, Mas.”

“Kalau dia mau pulang, apakah keluarga sudah siap menerimanya? Kasihan kalau dia pulang hanya untuk dimarahi lagi….”

“Saya dan ayah saya tak pernah memarahinya. Tak pernah menghalangi pilihannya. Tapi kali ini dia sudah bertindak kejauhan! Terus terang kami memang…” kalimatku tertahan. Tak kulanjutkan kalimat yang hampir meluapkan emosi itu. Kutunjukkan sikap maklumku, “Yang pasti dia akan tetap kami terima, Mas. Dia tetap anggota keluarga kami.”

Mas Dika mendehem. “Iya, Bli, sebaiknya begitu. Saya lihat sebenarnya dia bisa jadi anak yang membanggakan.”

Aku senang mendengar pengakuan positif dari orang lain tentang Dimas. Artinya, dia masih bisa menjadi sosok yang diterima di luar sana.

Ataukah, Mas Dika berkata positif seperti itu tentang Dimas karena semata-mata dia juga seorang gay? Ah, semoga tidak.

Kutimbang tanpa berlama-lama, lalu kuungkapkan rencanaku. “Saya percaya dia bisa survive, karena sepertinya dia pintar beradaptasi. Tapi dia masih meninggalkan banyak urusan di sini, terutama urusan sekolah. Kami nggak mau dia menelantarkannya. Masalahnya, nggak jelas dia mau di Bali sampai kapan. Jadi, kami mau jemput dia. Sambil terus mengumpulkan informasi, dalam waktu dekat saya akan berangkat. Siapa tahu nanti ada kejelasan, dari teman-temannya yang ada di situ, atau… siapa tahu Dimas benar akan mengunjungi Mas Dika lagi. Bisa, kan, misalnya… saya nanti ke tempat Mas Dika?”

“Oh, tentu, silakan! Tak usah sungkan, saya senang kalau bisa membantu. Tapi sebaiknya Bli ajak saja Awan sekalian. Sudah lebih dulu menghubungi dia, kan?”

Aku mengernyit. “Emhh…. Bukannya keberatan, sih… tapi kenapa, Mas?”

“Awan ada di Jembrana. Sebelum sampai ke Badung, Bli pasti akan lewat Jembrana. Kalau Bli mau, akan jadi lebih mudah mencari saya, karena Awan sudah tahu tempat saya.”

“Oh, ya, ya… saya ngerti. Asal Mas Awan tidak keberatan, saya juga lebih senang begitu,” aku menyepakati langkah yang kupikir memang jitu.

“Dia tak akan keberatan, lah.”

Hmm…. Tentu saja Mas Awan nggak keberatan. Kan, mereka itu pacaran, apa ruginya ketemu pacar sambil mengantar orang?

“Baiklah, Mas Dika, terima kasih sekali sudah membantu. Dan kami minta maaf, sudah merepotkan.”

Mas Dika terkekeh. “Sudahlah, Bli, tak usah terlalu sungkan begitu. Saya akrab dengan Dimas selama dia di sini. Dia baik. Dia cerita, katanya saudaranya juga tak kalah baik. Jadi saya senang kalau bisa membantu.”

Kepalaku tiba-tiba jadi lebih gede. Tapi tengkuk juga rada meremang. Karena… dia bilang kalau aku baik. Wow! Itu beneran kata Dimas, atau… aku sedang digombali mas-mas?

“Nanti kalau jadi mau ke tempat saya, kabari saya dulu. Jadi saya tak ke mana-mana, Bli.”

“Oke, Mas. Yang pasti saya harus mengabari Mas Awan dulu, semoga benar dia bisa mengantar. Ya sudah, Mas, saya nggak enak menyita waktu lama-lama….”

Mas Dika tertawa.

“Terima kasih ya, Mas. Selamat pagi.”

“Mari.”

Aku menutup HP.

Ada lega, dan tak lega. Lega karena ada yang siap membantuku. Belum cukup lega karena posisi Dimas masih belum jelas ada di mana. Beginilah yang namanya perjuangan, mencari ‘anak ilang’! Bingung aku, kalau sudah ketemu nanti mau aku apakan. Saudara, sih, saudara. Sayang, sih, sayang. Udah ngerepotin gini, mau peluk-pelukan?! Tonjok aja! Hffhhh….

Sekarang tinggal Fandy, nih, yang harus segera dimintai ketegasannya: jadi ikut atau tidak? Semalam aku sudah share ke Papa, soal Fandy yang mau ikut. Awalnya Papa keberatan untuk alasan yang masuk akal: tak ingin memancing perkara baru dengan orang tua Fandy. Tapi, aku mengajukan nilai tambah yang dimiliki Fandy jika dia ikut. Apa itu?

Aku merenungkan hubungan kami satu sama lain. Antara aku dan Dimas: aku lebih emosian, dan Dimas-lah peredamku. Kuakui, dia lebih taktis. Aku pikir, sebenarnya dia bukan cowok yang lemah. Sebab dia bukan nggak bisa main otot, tapi memang dia nggak suka main otot. Dia berantem buat sesuatu yang lucu-lucuan, bukan berkelahi karena sesuatu yang serius. Saat dia menjadi pelawan, dia menaruh opsi baku-hantam di urutan sekian-belas. Ibaratnya, aku api dan dia air, atau… aku setan dan dia malaikat.

TAPI…, beda cerita kalau sudah antara dia dan Fandy! Aku bukannya kepo, tapi kuakui sulit untuk tidak tahu-menahu hubungan mereka berdua. Dimas dan aku saudara, dia dan Fandy pacaran, kami bertiga satu sekolah… parahnya lagi, akulah yang pernah mencomblangi mereka, jadi aku jelas tahu bagaimana mereka itu. Aku nggak bermaksud bilang ‘Dimas itu istri dan Fandy itu suami’ (soal itu, sumpah aku nggak mau tahu), tapi aku menilai bahwa Dimas-lah yang lebih suka ‘ini-itu’. Maksudku, kali ini Dimas-lah setannya. Dan Fandy adalah malaikatnya (atau Peri, kata Dimas). Dimas adalah pacar yang agak rewel (mungkin), lebih banyak menuntut, tapi… Fandy selalu menjinakkannya. Tiap kali Fandy berhasil menjinakkan kemauan Dimas, si Dimas biasanya menggerutu (dan kadang aku mendengar), bahwa Fandy itu hasil persilangan antara Legolas dan Cupid. Gabungan Peri Jantan dan Dewa Unyu-Unyu, siapa yang nggak nurut sama pacar seperti itu?

Legolas dan Cupid, hmm… otaknya Dimas memang aneh.

Kesimpulanku, Dimas mungkin nggak akan begitu saja menuruti ajakanku untuk pulang. Tapi kalau Fandy yang menjemput…??? (jawab saja sendiri)

Pertimbangan lainnya, Bali adalah tujuan yang jauh dan belum pasti aku akan berapa lama mencari Dimas di sana. Pergi seorang diri akan lebih berisiko. Ya, kurasa aku butuh sidekick. Meskipun dia homo…? Biarin, lah. Ingat, homo yang menemaniku ini adalah persilangan Legolas dan Cupid! Sidekick yang tak terlalu menyedihkan. Fffhhh….

Dan, aku bukannya tak memahami perasaan Fandy. Aku mengerti dia merasa tertekan oleh perlakuan orang tuanya. Dia butuh sebuah ‘pemberontakan’. Dia juga merasa bersalah karena konflik ini bermula darinya, meskipun sudah kujelaskan soal ‘Russian Roullete’. Aku ingin memberinya kesempatan untuk ‘bertanggung-jawab’, untuk ‘menebus dosa’, untuk merasa lega. Tapi itu artinya aku juga harus siap bertanggung-jawab agar dia tak berujung seperti Dimas, yang minggat dan lupa pulang. Kalau ternyata dia malah ikut-ikutan nggak mau pulang seperti Dimas, aku hajar keduanya! Perjalanan ini adalah ‘meminjam Fandy’, bukan menculiknya!

Bagaimana dengan orang tua Fandy? Bagaimana kalau mereka marah-marah lagi kepada kami? Sebenarnya, kalau Fandy nggak punya niat untuk ikut maka aku juga nggak akan mengajaknya, meskipun dia berguna. Aku bukannya nggak sadar bahwa ini akan jadi masalah. Aku sudah mengingatkan Fandy soal orang tuanya. Tapi dia tetap bertekad untuk ikut. Yo wis. Kupegang sisi positifnya saja. Yang negatif, aku percaya Papa bisa mengatasi untuk sementara. Kalau ortu Fandy menanyakan kemari, Papa tinggal bilang ‘nggak tahu’. Bilang saja aku dan Dimas sudah nggak di sini, sudah pergi untuk urusan kuliah. Dimas ke Bali dan Denis ke Medan, atau apa saja, aku percaya Papa bisa membuat cerita itu. Dulu menutupi kepergian Dimas saja bisa, kali ini pasti juga bisa.

Aku tak mau berlama-lama, aku ingin tahu kapan Fandy siap untuk berangkat. Aku, sih, ingin secepatnya. Tapi masalahnya, Fandy masih harus masuk sekolah sampai akhir minggu ini, sampai hari penerimaan rapor. Bagaimana enaknya?

Tanya saja langsung!

Aku menunggu panggilanku diangkat. Tak lama, suara Fandy menyapa.

Aku to the point saja, “Fan, aku sudah bilang ke ortu-ku soal rencana mencari Dimas ke Bali. Ortu-ku sudah mengijinkan. Aku juga sudah hubungi Mas Dika…”

“Gimana hasilnya? Ada kabar Dimas di mana?” Fandy buru-buru menyambar.

“Belum! Dimas pernah kos satu tempat dengan Mas Dika di Badung, tapi sekarang sudah pergi lagi. Nggak tahu ke mana. Tapi Mas Dika bilang katanya Dimas akan ke Badung lagi, cuma belum tahu kapan. Kayaknya kita bisa stand-by di tempat Mas Dika untuk menunggunya. Kalaupun dia nggak datang juga, setidaknya masih ada banyak temannya di sana yang bisa membantu kita. Kapan kamu siap berangkat?”

Fandy sempat terdiam. Terdengar membuang napas. “Sebenarnya aku siap kapan saja. Cuma, aku masih memikirkan cara supaya nggak ketahuan om-ku.”

Aku mengernyit. “Memangnya kenapa kalau om-mu tahu?”

“Dia ditugasi mengawasiku. Kalau dia tahu, aku pasti dicegah. Aku nggak boleh pergi jauh-jauh dari sini.”

“Tahu begitu terus kenapa lu ngotot ikut?” tukasku kesal.

“Kalau sudah berhasil lolos keluar, aku nggak akan peduli lagi. Nggak bakal aku dikejar, kan juga nggak tahu aku ke mana. Yang penting aku bisa pergi dengan aman dulu, itu kuncinya!”

“Kenapa nggak pura-pura pamit aja, pulang ke desa? Selesai, kan?”

“Sekarang sudah tidak seperti dulu, Den. Sejak kejadian itu, bapakku bikin aturan. Tiap kali aku pulang ke Sragen, aku harus diantar om-ku atau dijemput bapakku. Dan itu cuma seminggu sekali. Kalau aku ketahuan melanggar, mungkin aku beneran akan dipulangkan ke Sragen, pindah sekolah di sana. Tapi soal pindah sekolah aku nggak takut. Itu urusan nanti! Yang penting gimana caranya aku bisa lolos dari sini, agar bisa ikut mencari Dimas.”

Buset!

Aku menawarkan opsi lagi. “Kalau begitu, pura-pura saja kamu pergi yang dekat-dekat. Ke warung atau ke mana. Aku akan jemput di situ!”

“Den, orang mau pergi jauh itu pasti kelihatan! Nggak bakal ada yang percaya, lah, aku bilang ke warung tapi dandan rapi dan bawa ransel?!”

Sialan! Benar juga!

“Gimana kalau sekolah?” usulku lagi. “Kamu masih masuk sampai besok Sabtu, kan? Ke sekolah bawa tas, nggak bakal dicurigai, kan?”

“Jadi mau ke Bali berhari-hari, aku cuma bawa tas sekolah? Aku butuh ransel! Yang cukup buat menjejalkan pakaian!”

Sumpah, ternyata rempong banget ngurus makhluk satu ini!

“Oke, oke, sekarang aku mau tanya dulu, memangnya om-mu itu seseram apa? Sampai lu takut begitu? Lu tinggal cuekin aja, kabur, selesai! Toh kamu juga nggak takut sama bokapmu, nggak takut kalau nanti dipindah sekolah?! Kenapa repot amat ngurusin om-mu?”

“Kamu ngomong gampang! Kalau ke ponakannya sendiri, aku percaya om-ku nggak pakai kekerasan. Tapi asal tahu, dia pernah membuat tiga orang maling nggak bisa kabur dari rumahnya. Kalau dia sudah mencegahku pergi, aku nggak mungkin bisa pergi!”

Aku tercengang. “Kok bisa gitu? Dia pakai klenik atau apa?”

“Dia bekas atlet Judo. Tingkat nasional! Berani kamu lawan dia?”

Aku menelan ludah. Repot juga ternyata. Sialnya situasi Fandy tidak seperti Dimas. Dulu Dimas bisa pergi tanpa ketahuan karena ada inside-man yang membantunya. Fandy tidak, karena inside-man yang dia punya justru seorang ‘villain’ yang harus dikalahkan. Tapi nggak mungkin aku bisa mengalahkan om-nya yang atlet nasional itu, minimal harus Bang Togar yang melawannya. Cara yang paling aman memang bukan melawan secara frontal, tapi mengakalinya!

“Jadi strateginya, yang penting kamu bisa mengamankan bawaanmu dulu biar nggak ketahuan, kan? Harus ada orang lain yang…”

“Iya, aku pikir juga gitu. Tapi bukan kamu atau Ben. Kalian sudah dihapal oleh om-ku. Tahu nggak, kemarin habis pulang dari rumah Erik aku langsung diinterogasi. Om-ku mengira kamu adalah ‘Dimas’! Kalau kamu nongol lagi di sini, kayaknya bukan ide bagus.”

Aku garuk-garuk kepala. Mumet!

“Ya udah, biar Erik saja yang mengamankan bawaanmu.”

“Aku nggak mau.”

“Fan, ini bukan saatnya ngurusin sentimen masa lalu!” tukasku mulai emosi. Dasar, kalem-kalem cemburuan! Legolas dan Cupid, yang benar saja?!

“Aku masih punya segudang teman lainnya. Aku akan cari tahu siapa yang bisa. Nanti aku kabari…”

“Hari ini! Aku nggak mau lama-lama!” tegasku.

“Oke, semoga hari ini fix. Terus kita akan naik apa ke sana?”

“Kereta api saja. Kalau bus biayanya bisa tiga kali lebih mahal. Ingat, kita bukan mau foya-foya. Kita tekan budget dulu saat berangkat. Kalau nanti masih sisa cukup, kita bisa pulang naik bus atau pesawat kalau mau.”

“Baiklah. Aku akan cari jalan keluar dulu soal om-ku. Secepatnya.”

“Satu lagi,” aku menandas, “kamu pasti tahu, kalau kamu nekat ikut maka besar kemungkinannya orang tuamu akan ke rumahku lagi. Ortu-ku mungkin akan jadi sasaran lagi. Gimana menurutmu?”

Aku ingin memastikan Fandy juga ikut mempertimbangkan situasi keluargaku.

“Selama ortu-mu nggak bilang kalau aku pergi sama kamu, aku juga nggak akan bilang ke ortu-ku kalau aku pergi sama kamu.”

“Terus kamu mau bilang apa?”

“Nanti kubilang saja aku ke Jogja sama teman-temanku yang lain.”

“Terus ortu-mu pasti percaya?”

“Aku memang pernah ke Jogja, tahun kemarin. Aku punya foto-fotonya yang ortu-ku belum pernah lihat. Itu bisa untuk ‘bukti’, kalau mereka mau bukti.”

Aku ternganga. Rupanya, Fandy yang dulu lugu itu memang sudah tidak innocent lagi. Efek pacaran dengan ‘setan’. Dia pun ketularan ‘culas’. Tapi setidaknya masih ‘setan yang bermaksud baik’. Untuk seorang sidekick sebaiknya memang jangan terlalu lugu.

“Oke, kuharap itu berhasil!” jawabku menanggapi jurus ngibul ala Fandy itu. “Aku tunggu perkembanganmu!”

“See you.”

Kututup HP-ku. Melemparnya ke kasur. Hmmhhhh…. Alot juga, cuma untuk lolos dari kos-kosan yang dijaga ‘monster’ berkedok ‘mantan atlet’. Sudah seperti anak perawan di jaman bahula si Fandy itu. Cowok kok dipingit? Sepertinya bapaknya itu bukan dokter, tapi sipir penjara!

Kudengar bel rumah berbunyi. Ada tamu. Aku menuju ke pintu depan untuk melihat siapa yang datang. Seorang cowok berambut hampir sebahu tersenyum nyengir di muka pintu.

“Halo, Ben?” sapaku. “Tumben pagi-pagi kemari?”

“Ini sudah jam sepuluh lewat, bukan pagi lagi. Buat anak sekolah, jam delapan saja sudah siang,” seloroh Ben, sambil duduk di beranda.

“Kita bukan anak sekolah lagi,” balasku, ikut duduk.

“Kamu masih. Aku tidak. Kuliah itu juga sekolah. Aku nggak punya rencana kuliah. Aku menunggu sampai ospek dihilangkan.”

“Pengecut.”

No. Aku nggak mau ikut ambil bagian dalam tradisi bullying di sekolah.”

“Sebagai pelaku atau korban?”

“Dua-duanya. ‘Pelaku’ mencetak ‘korban’ untuk menjadi ‘pelaku’ di tahun berikutnya. Itu lingkaran setan.”

“Kata Bang Togar, kamu pernah menghajar orang yang badannya lebih besar darimu? Kamu terlalu gentle untuk jadi orang yang pilih nggak kuliah, hanya karena nggak mau di-ospek. Harusnya ospek soal kecil buat lu!”

“Aku sudah insaf berkelahi,” ceplos Ben sambil mengeluarkan rokok dari sakunya. “Boleh merokok?”

“Kapan kamu insaf merusak paru-paru?” balasku santai. “Aku sudah lama insaf.”

Dia nyengir. Memasukkan lagi rokoknya. Padahal aku tak bermaksud melarang, cuma menyindir.

“Kamu jadi mau cari Dimas ke Bali?” dia bertanya.

Aku mengangguk.

“Kapan?”

Aku mengangkat bahu. “Aku ingin secepatnya. Tapi masih harus menunggu kesiapan Fandy.”

“Wow! Kakak iparmu jadi ikut, tho?”

“Mantan! Mantan kakak ipar!” aku meluruskan. “Aku nggak mau lagi sebut dia ‘kakak’. Aku lebih tua dari dia!”

Ben tertawa. “Gitu aja sewot! Serius kamu membiarkan dia ikut? Gimana dengan orang tuanya? Pasti kalian dilabrak lagi nanti.”

Kuceritakan pada Ben, apa yang ada dalam pikiranku tentang keikutsertaan Fandy. Kenapa aku membiarkannya ikut, kenapa aku seolah tak peduli pada orang tuanya, kenapa aku gigih berharap Fandy bisa lolos dari pengawasan om-nya…

“Jujur kuakui, Fandy memang diperlukan. Karena Dimas lebih menurut kepada pacar daripada saudaranya,” begitu inti penjelasanku.

“Mantan! Mantan pacar!” Ben ganti meluruskan kalimatku. “Mereka sudah putus.”

Kusahut, “Dan mereka ingin balikan, kayaknya. Fandy pasti juga senang bisa kabur dan ketemu Dimas lagi.”

“Jadi kamu membiarkan dia ikut, atas dasar mutualisme atau solidaritas, nih?”

“Dua-duanya.”

Hmmm. Ya monggo, lah. Semoga kalian berhasil menemukan Dimas. Cuma…” Ben mulai mengungkapkan tujuan utamanya menemuiku pagi ini, “aku dapat info dari beberapa guru. Jadwal cap tiga jari untuk ijasah kita, akan diadakan sekitar minggu pertama bulan Juli. Belum jelas kapan tanggalnya. Jadi, kita harus stand-by pada hari-hari itu. Jadi jika dihitung dari sekarang, kamu cuma punya waktu kira-kira…”

“Cuma seminggu lebih beberapa hari, nggak sampai dua minggu,” sahutku, menghitung dengan cepat.

“Benar! Untuk Bali yang jauh, dan Dimas yang belum jelas lokasinya, waktu segitu bukan waktu yang banyak. Cukup mepet. Kalau kalian telat pulang, risikonya ijasah kalian dalam masalah!”

Aku menghela napas. Mengangguk lesu. “Memang. Makanya aku ingin cepat-cepat. Kalau Fandy sudah siap, besok pun aku siap untuk berangkat.”

“Kalau besok kamu berangkat…” Ben menjeda sejenak, tersenyum tipis, “berarti hari ini adalah hari terakhir kamu di sini, sampai kamu pulang lagi.”

Alisku meliuk. “Kok, omonganmu tiba-tiba jadi romantis gitu?”

Ben terbahak. “Romantis lambe-mu! Sudah lama nggak futsal, sore ini yuk!”

Aku balas tertawa. Aku bukan tak paham maksud Ben. Biarpun dia cowok macho, tangguh meski rada cengengesan, hatinya tetap bisa mellow juga. Rada-rada mirip aku, sih. Dia sudah menyiratkan itu sejak kemarin di rumah Erik. Dia merasa sebentar lagi akan ditinggalkan sahabat-sahabatnya. Dimulai dari Dimas yang pergi duluan. Padahal Dimas adalah salah satu sahabatnya yang paling dekat. Kenapa? Yaah, Ben punya masa lalu yang tidak terlalu baik, yang membuat dia pernah dijauhi teman-temannya. Dimas-lah yang sudi berteman dengannya, di saat yang lain menghindar. Sebaliknya, Ben juga sosok yang menjadi teman di saat Dimas dikucilkan. Karena Dimas, dia jadi kenal aku dan juga Fandy. Aku percaya dia masih punya teman di luar kami, tapi dia mengakui bahwa kamilah sahabatnya yang paling solid.

Kami suka futsal. Tapi biasanya kami rencanakan saat di sekolah, pulang sekolah kami langsung menuju ke tempat futsal. Untuk melengkapi formasi, tentu harus mengajak teman-teman kami yang lain. Kadang Erik dan Fandy ikut main. Begitu juga Dimas, tapi cuma sebagai penonton dan sasaran bola nyasar. Misha? Dia juga kadang nyusul membawakan juice dan snack, yang lain dibiarkan mengambil sendiri-sendiri tapi dia akan mengulurkan bagianku, khusus untukku. Hmhhh…. Kangen juga dengan saat-saat itu.

“Sekarang sudah pada sibuk sendiri-sendiri, menyiapkan kuliah,” gumam Ben pelan.

“Lu sendiri juga sibuk ngurus band,” sahutku enteng.

Sejujurnya, aku akan senang seandainya Ben juga ikut ke Bali. Tapi aku sungkan membebaninya. Posisinya nggak bisa disamakan dengan Fandy. Selain Fandy punya niat ikut atas kemauan sendiri, dia juga masih ada sangkut-pautnya dengan masalah Dimas. Ben tidak. Sekalipun misalkan Ben tidak sibuk dengan band, aku tetap akan sungkan untuk memintanya ikut. Tak tahu diri jika aku ‘memaksa’ Ben mengurus keluarga orang lain, seolah dia sendiri nggak punya masalah keluarga. Meski dia seorang sahabat, tak tahu diri jika aku membebaninya atas dalih solidaritas. Solidaritas adalah keikhlasan, bukan permintaan.

“Kalau futsal, mau futsal sama siapa?” dengusku tanpa butuh dijawab. “Main PS aja, yuk! PS-ku juga sudah lama nganggur, tuh!”

“Males, ah, kalau main Power Instinct! Kamu pasti main char nenek-nenek itu!”

Aku ngakak. “Itu char paling keren sepanjang masa, woi!”

“Keren apanya? Jurus berantemnya lempar gigi palsu, setting berantemnya di kuburan! Aneh!”

Hahaha…!

 

 

 

Menurutku, Otane Goketuji adalah char arcade paling gokil yang pernah ada. Chun-Li, Mai Shiranui, Blue Mary, Charlotte, menang cantik tapi kalah gokil! Selain itu, char nenek-nenek itu juga punya kemiripan ‘takdir’ denganku. Yaitu punya saudara kembar. Bedanya, saudara kembarnya jahat. Sedangkan saudara kembarku… nggak jahat, sih, cuma nyebelin dan ngerepotin (dan homo).

“Main Winning Eleven wae…!” cetus Ben.

“Okelah, Bro…!” sahutku sambil tertawa.

Lebay kalau menyebut ini ‘hari terakhir’. Tapi menuruti sahabat yang lagi galau sah-sah saja. Dipikirnya aku nggak lagi galau? Sama, aku juga lagi galau mikirin Dimas! Setiap orang butuh waktu untuk menghibur diri. Menghibur satu sama lain. Dan itu adalah sekarang.

Baru aku berdiri, mau mengajak Ben masuk ke dalam… tapi langkahku tertahan. Aku terpana menatap seseorang yang muncul di depan pagar. Perempuan itu juga terpana menatapku. Rasanya kenal….

“Permisi… ini benar rumahnya…” cewek itu seperti setengah tak sadar saat bertanya, sampai kalimatnya yang belum selesai itu tiba-tiba disambungnya dengan pekikan lantang, “Denissss…?!! Jadi benar di sini rumah kau sekarang…?!!”

Sekarang aku baru kaget! Jantungku seperti mau meledak!

“Leah…??? Kok lu bisa sampai sini…?!!”

Drppp… drppp…! Dia berlari cepat ke arahku dan mau memelukku. Tapi dengan sigap kutepis dia, dan…

Plak!

Aku pun ditamparnya.

 
 
😯
 
 
 
 
 
 

 bersambung…

 
 
 

 

67 responses to “Karung 6

  1. noelapple

    26 Januari 2014 at 12:50

    Semoga melepas kangen.

     
  2. twilight

    26 Januari 2014 at 13:33

    Oh oh….
    Muncul karakter baru lagi ini.
    Leah, namanya mirip ama tokoh cewek serigala d Twilight.
    Hehehehe
    D tunggu y kak kelanjutanny

     
  3. rendy

    26 Januari 2014 at 15:18

    thanks untuk ceritanya mas noel,,, baca ini seperti baca kehidupan sendiri……………

     
  4. Nait

    26 Januari 2014 at 16:06

    Karakter baru…. Semakin pelik saja… 0,0

     
  5. Diyuna

    26 Januari 2014 at 21:07

    Leah ah ah.. Sapa tuuuuu… Jgn biarin dia lirik melirik ama ben hahaha

     
  6. opor94

    26 Januari 2014 at 21:28

    Dari dulu emang gak salah suka sama tulisannya mas noel. Dari zaman SMP nungguin CRA di forum, sampe sekarang udah kuliah, eh msh ada CRA 3. Salut dan maju terus mas!

     
  7. Ordinary Adi

    26 Januari 2014 at 23:16

    tokoh baru, teman denis dari medan yg kuliah di solo kah???atau siapa??? tunggu kelanjutannya,,

     
  8. alvian reimond

    26 Januari 2014 at 23:56

    waduh! Sopo neh iki to?
    Teko kok main kaplak-kaplak ngono?

    Weish mas, sampe jelantu’an aku nunggu update-tan sampean, tapi intian setiap kantong, keranjang, dan karung gak pernah nggae kecewa,
    lanjuuut

     
  9. sasadara

    27 Januari 2014 at 00:52

    waooww… leah???? jgn” dia alsan denis g jdian ma misha.. ehmm,,

     
  10. AditaKID

    27 Januari 2014 at 00:59

    akhirnya karung 6 hadir jg, udh ditunggu-tunggu, hhhaaa =D
    dan apa itu?
    ada cast baru?
    Leah?
    siapanya Denis itu?
    dri cara ngomongnya dia kayanya temen Denis dari Medan ya?
    tp ko dia nampar Denis?
    waduh bikin penasaran aja,,,
    jangan sampe gara2 si Leah itu Denis gak jd pergi ke Bali…
    duh, saya sudah kangen Dimas :3
    oke, lanjutkan…
    saya tunggu lanjutannya…
    Nice Story~
    I Like It.. ^^d

     
  11. suher_ndut

    27 Januari 2014 at 02:30

    waduh denis di gaplok sama cewe…

    wah dibikin penasaran lg di ending nih karung -_-

    bang noel minggu maren gak ngepost karung 6 knpe? sakit kah? atau sibuk kah? #khawatir 😦

    aye tungguin bang karung berikutnye minggu depan 😀

     
  12. masdabudd

    27 Januari 2014 at 10:11

    oalaahhh.. ternyata status fb nya itu spoiler update an cerita..

     
  13. diduluinoranglain

    27 Januari 2014 at 14:09

    siapa leah?

    Dan kenapa pas dimas ama ben ngobrol berasa ada hint yaoi nya ya.. Wkwk

     
  14. harry092

    27 Januari 2014 at 17:07

    sepertinya akan ada konflik antara tujuan denis dan kdatangan tokoh baru ini… mungkin di karung brikutnya akan di critakan kisah prcintaan denis…
    yah tunggu saja karung slanjutnya… penasaran bgt aku.

     
  15. teyo

    27 Januari 2014 at 20:04

    Tulisan mas noel gak pernah mengecewakan (y)

    Endingnya bikin gak sabar nunggu karung berikutnya 😀
    Semangat mas noel hehe 🙂

     
  16. Sam

    27 Januari 2014 at 22:30

    suka deh sama dialog di karung 6 ini, serius tapi tetep nyantai, particularly partnya denis-fandy.. berasa lagi ‘anak muda’ nya.. keep it up mas noel! 🙂

     
  17. arashi

    28 Januari 2014 at 03:31

    KereNnnnn

     
  18. arashi

    28 Januari 2014 at 03:40

    Mas NOEL, qu mau nanya ? nih kan ceritanya update tiap minggu, sebenar.a setiap kali mau buat cerita selanjut.a untuk minggu depan, itu udah ada konsep.a tinggal di posting ato di tulis, ato dalam waktu sminggu itu mas masih mikirin buat nulis kelanjutan.a buat part selanjut.a ?

     
    • noelapple

      28 Januari 2014 at 09:47

      Grand design sudah di kepala. Sebagian sdh menjadi script. Tapi tetap ada check dan editing tiap akan posting. Biar ‘sempurna’.

       
  19. eko

    28 Januari 2014 at 06:13

    aku pernah baca komentar kl erik cm nganter sampai sragen
    artinya denis jd ke bali
    benerkan bang noel..
    Hhee cm nebak krn penasaran 😦
    tetep semangat bang noel ditunggu karung karung berikutnya 🙂

     
    • noelapple

      28 Januari 2014 at 09:49

      Jangan gampang percaya pada omonganku. Aku suka sengaja membelokkan persepsi. Karena kalau aku jujur membocorkan cerita, tentu ceritanya jadi tidak surprise lagi. Termasuk komentarku ini, jangan mudah mempercayainya.

       
      • eko

        30 Januari 2014 at 14:15

        iya bang
        o ya kapan karungnya berlanjud
        jgn pake password ya bang hhee
        o ya chapternya erik _fandy kapan diposting lagi belum baca aku bang

         
  20. aditya shidqi

    28 Januari 2014 at 09:25

    Biar ga dibilang SR jd kudu komen.
    Pertama, jujur gw masih keseeeell krn terkecoh sama clue di karung 5. Padahal dikit lagi berhasiill…
    Kedua, bener2 memuaskan ceritanya. Kalo kata anak korban iklan mah Cha-emm..
    Dan semoga di karung 7 nanti di kasih sandi lagi.
    Serius seru bgt mecahin itu sandi dan harta karunnya ya ceritanya.
    Hahahaa…. Sekian.

     
    • noelapple

      28 Januari 2014 at 11:38

      kalau di-password nanti pada ngambeg lagi.

       
      • aditya shidqi

        28 Januari 2014 at 12:17

        Sengambek-ngambeknya mereka.
        Pasti bakalan tetep usaha buat nyari tau jawabannya.
        Soalnya berasa kaya main Detektif.
        Hahaha…

         
      • rendyyi

        28 Januari 2014 at 21:30

        jangaaaaannnn…..

         
      • masdabudd

        29 Januari 2014 at 03:26

        menurutku, password justru jadi ciri khas di blog ini. ada keasyikan tersendiri di balik kebingungan kita nyari jawaban. dan tentunya ada kepuasan kala kita bisa memasukkan password yg tepat -tapi tetep sebel sama password karung 5-. selain itu, kadang password yg diminta bisa menambah wawasan -secara tidak langsung- karena kita harus cari informasi dari berbagai sumber 😉

         
      • acil aga

        31 Januari 2014 at 01:08

        Hahaha..
        Terang aku sampe gak mampir kesini selama beberapa minggu, karena jawaban gak ketemu. (*’▽’*)♪

         
      • noelapple

        31 Januari 2014 at 11:49

        Puas sekarang?

         
      • acil aga

        3 Februari 2014 at 16:30

        Hahaha. Makasih yah Noel yang tampan, baik hati dan tidak sombong. Mari saya kirimkan pulsa buat kamu yah sebagai tanda terimakasih karena sudah gak pake password buat nikmati hasil karyamu yang luar biasa.. ╰(*´︶`*)╯ #seriusmaukirimpulsa

         
  21. sami

    29 Januari 2014 at 09:49

    Padahal udah siap-siap lho menyambut password..:P
    Suerr..
    Penuturan di karung 6 ini sangat cerdas!
    Dan sukses mengaduk emosi n energi..keiknya mas noel sengaja memberi sedikit ruang buat pembaca untuk sekedar “ambegan”..:P
    …”Baru aku berdiri, mau mengajak Ben masuk ke dalam… tapi langkahku tertahan. Aku terpana menatap seseorang yang muncul di depan pagar. Perempuan itu juga terpana menatapku. Rasanya kenal….”

     
  22. pramuda

    29 Januari 2014 at 20:48

    baru tau kalo dah di post karung 6 nya.
    😥

    seperti batu yang terkikis tetesan air, seolah seperti itulah hati ibu nya si kembar denis dimas.

    dari dulu yg buat aq salut sama mas noel, yg bisa menyatukan ato ad unsur kesinambungan cerita satu dg cerita lain.
    aq sempat berfikir kalo pilgrim itu akhir cerita nya dimas n fandi.
    tpi setelah dibaca lagi ternyata setting nya di thailand kan mas???
    bukan di bali?

     
    • noelapple

      29 Januari 2014 at 23:21

      Pilgrim adalah cerpen yg benar-benar terpisah, tak ada koneksi dengan cerita-cerita lain di blog ini. Beda dari Di Bawah Langit Bali, Cermin, dan Cinta Beda Jurusan yang punya koneksi dengan Cowok Rasa Apel.

       
      • pramuda

        30 Januari 2014 at 06:56

        cinta beda jurusan ad kesinambungan ya mas?
        wah perlu baca lagi nih…

        HBR juga punya kan mas?
        tpi lagi break ya…

        top markotop deh…
        (y)

         
      • noelapple

        30 Januari 2014 at 10:40

        ceritanya tidak, tapi tokohnya iya.

         
      • emyu

        30 Januari 2014 at 17:55

        tokohnya?

         
      • pramuda

        31 Januari 2014 at 00:42

        iya mas, maksudnya tokohnya…

        hehe…

         
  23. BAGUSTITO

    30 Januari 2014 at 13:14

    Mantap! Konflik makin alot, terus ada tokoh baru! Hueeheheh! Sepertinya perjalanan CRA 3 bakal panjang nih! *sorak soray* Hahahah! BTW, sempet ketawa pada perkataan, “Romantis lambe-mu”. Dan akhirnya ngeh kalau status Mas Noel d FB soal video game ada hubungannya sama bagian terakhir d part ini.

    Okey, tak tunggu terus lanjutane, Mas.

     
    • noelapple

      30 Januari 2014 at 19:31

      Kalau ditulis, “Romantis mulutmu!” nanti terasa aneh. 🙂

       
      • Azura Francois Yong

        6 Februari 2014 at 04:57

        o, jadi romantis lambe-mu itu artinya romantis mulutmu?
        hehehe… tadinya mau nyari di google.
        ceritanya berasa jawa sekali, jadi agak sulit untuk yang tidak bisa bahasa jawa seperti saya.

         
      • noelapple

        6 Februari 2014 at 10:01

        Kalaupun tak tahu tidaklah fatal, karena bukan hal yang penting.

         
    • hokage

      2 Februari 2014 at 22:53

      Iya mas bagustito, ceritax yg di blog sebelah tak tunggu jg lanjutanne…

       
  24. Boyes

    30 Januari 2014 at 15:47

    Mungkin Gak yah klo Leah ini masa lalunya Denis sewaktu masih tinggal sama tantenya di Medan??
    kita tunggu saja kelanjutannya

     
  25. emyu

    30 Januari 2014 at 17:57

    aku pikir ‘Leah’ itu tadi merupakan sebuah kata, taunya nama orang ._.

     
  26. INTAN!

    31 Januari 2014 at 16:25

    Baru selesai baca karung 6! Entah knp jatuh cinta bgt sm sosok Ben.
    Dia ‘ngenak’ bgt d hatiku kak noel >,< hehe :3

     
  27. pam

    2 Februari 2014 at 19:38

    Di part ini serasa perasaannya di mainin sama mas noel #ceilah
    Ntar terharu trus kaget trus senang trus terharu lagi trus kaget lagi. tapi seruuuu 😀
    Ngga banyak cerpen yang bisa nyentuh kayak gini.. (y)
    Jujur tadi aku nangis pas bagian Denis ngobrol sama papanya bener” nyentuh ;(

     
  28. Christian

    4 Februari 2014 at 10:12

    Mas kapan cerita ini berllanjut dan tamatt ???

     
    • noelapple

      6 Februari 2014 at 11:02

      Nunggu Jokowi jadi Presiden.

       
  29. ubee

    4 Februari 2014 at 23:22

    Komen apa ya?
    Masalah bahasany si leah. Si leah tu masi muda kan ya? Setau ak. Anak medan jarang pake ‘kau’, biasanya ‘ko’. Jadi, harusnya gini(kira-kira), “Denis? jadi benar rumah ko sekarang di sini?’
    #komen nggak penting. abaikan. bingung mo komen apa

     
    • noelapple

      6 Februari 2014 at 10:58

      ‘Ko’ adalah logat Batak dari ‘Kau’, seperti halnya ‘Lu’ bisa ditulis ‘Loe’, atau ‘Lo’. Di sini ditulis secara konvensional ‘kau’ supaya tidak perlu membanjiri tulisan dengan cetak-miring. Karena jika harus selalu menuruti logat atau bahasa tradisional, bisa-bisa saya juga harus konsisten memakai kata ‘kowe’ untuk pengganti ‘kamu’. Yang repot yang baca.

       
      • Azura Francois Yong

        9 Februari 2014 at 07:23

        betul mas, repot bacanya kalau harus pakai logat. kalau saya, maunya request logat papua.

         
  30. imt17

    5 Februari 2014 at 03:33

    Hahaha baru ngeh anak boyzforum pada nangkring di mari,
    Iya sikk mengingat boys story critanya uda banyak yang “kurang greget”. . .

    Over all disetiap update-an gw gak pernah berhenti bikin note sendiri di otak gw,tentunya dari potongan2 kata dari tokoh2 CRA,baik dari CRA 1 ampe yang ke 3 ini,n gw gak terlalu mempermasalahkan adanya password,
    Malah gw seneng,udah dikasi tantangan yang berwawasan trus di kasih lagi bacaan yang ber”isi” dan (garis bawah,cetak tebal) gratis lagi hahahaha 😀

    And satu lagi semua karakter tokoh yang ada di CRA semua hidup,maksudnya, kaya benar2 ada didunia nyata, kaya narasumber yang nyeritain langsung ke kita gitu,
    Belum lagi pov yang berbeda antar tokoh beeeuuuuhhh jago dah ramuin kata2 ampe gw geleng2 pala,nihh bang noel punya riset kali ya buat masing2 tokoh ampe segini identik nya,
    Kalu masalah latar cerita gak usah di ceritain kali ya,dari CRA 1 juga readers uda pada tau kali gimana bang noel bisa ampe detail jelasin ke kita tentang blusuk story nya buat dapetin tempat2 yang jadi latat dimana adegan per adegan di cerita ni jadi begitu klop buat dibaca hahahaha

    Sooo puas banget bisa jadi salah satu pembaca setianya CRA,
    N thanks juga buat bang noel yang gak pamrih untuk berbagi kekita sekali lagi (garis bawah,cetak tebal) gratiiiiis

     
    • noelapple

      6 Februari 2014 at 10:03

      Tentu saja saya punya pamrih: kepuasan batin. Terima kasih.

       
  31. ayuna03

    6 Februari 2014 at 23:24

    Kalo saya sih dari pembaca setia mulai CRA 1 ya ,, em ,, dinantikan aja deh , soalnya aku nggk bisa ngreview kalo cuma separu gini ,, daripada jadi silent reader kan ,, mending koment gini ,, dan aku juga nggk mau nebak nebak nanti mau dibawa kemana ceritanya ,, daripada aku ntar malah gantung diri gara gra perkiraanku sama ceritanya kak noel nggk sama ,, mending aku diem aja ,, nunggu gimana nanti ceritanya si master noel mau dibawa kemana ,, yang pasti ,, aku selalu menunggu karung 7.nya

     
  32. yanz

    9 Februari 2014 at 10:22

    kapann ya kelanjutanya ………… makin seru wae ….. trims mas noel

     
  33. Diyuna

    9 Februari 2014 at 21:06

    Jadi ingat waktu dimas pinjem hp denis tp g boleh, jgan ” ada rahasia tentang leah disana

     
  34. Alxenix

    10 Februari 2014 at 18:15

    Moga bang noel sehat slalu آمــــــــــــــــــين … Hehehhehee

    Si LEAH karakter baru, kenapa nama nya gak si butet bang biar ke batak2 an … Hahhahaahahaa. Kiding. Sebenar nya di medan make kata kamu itu ya KAU, kalo kata “KO” bahasa kamu nya org batam. “Bahhhh macam mana pula kau bisa mentiko kali sama ku ?? Kau jaga babah kau, sebelum ku tumbuk muncung kau”. Sama kayak kalimat naga bonar “bujang bujang, sudah nya aku bilang. Jangan bertempur, bertempur juga nya kauuu … Akhir nya dimakan cacing kau” eeeeeehhee maklum pan gw orang medan. And sekarang lg di batam. Bulan ini balik lagi gawe di jakarta.

    Jangan bilang leah nabok denis gara2 si leah di hamilin denis … Sinetron banget.
    Si fandi juga yakkk, kayak mau piknik atau touring aja pake ransel segala. Pake karung aja sekalian … Hahahhaaaaa

    Trus denis, emang denis udah pernah ketemu ya ama bang togar ??

    Buat dimas, sorry mas, hp lu gw ambil pas di caffee soalnya gw pen liat poto2 mesra lu ama si fandi trus hp lu di curi lagi, gk tau gw sekarang ama siapa … Hahahhahahahahhahahahahha #belajar gila

    Si misha kasian bgt perannya dikit dari CRA 1 ampe CRA 3. Dia kan katanya mau bantuin. Masa bantuin nya cuma pas dia ama erik datang ke rumah dimas … Kasian tuh misha gak di expose bang noel.

    Buat bg noel … sukses terus bang.

     
  35. cipongbob

    10 Februari 2014 at 20:47

    Makin penasaran,makin seru,, salam kenal aja buat mas noel.

     
  36. Fujoshi

    12 Februari 2014 at 22:43

    Mas noel, aku mau tanya dong… sebenernya yang seme itu siapa sih?? Dimas atau fandy?? aku ampe capek debat sama temenku :DDD

     
    • noelapple

      12 Februari 2014 at 23:25

      aku masih pingin kalian debat. 🙂

       
  37. fujoshi

    13 Februari 2014 at 09:43

    hyaaaaa~ mas noel jahat…. >.< kasih tau dong…. aku sih lebih ke dimas yang jadi seme…
    kalo fandy ciri2 fisiknya itdi imajinasiku kayak uke… tapi akhir2 ini banyak seme yang berbadan/? uke… TT bingung~

     
  38. dcb

    19 Agustus 2015 at 10:53

    sudah lama diposting baru nemu blog ini dua hari yg lalu…dan cerita CRA ini bagus bgt,ngalir gak ngebosenin,racikannya jg mantap berhasil bgt ngubek2 perasaan pembaca.dan dr CRA1-3 paling sedih di karung6 ini,pas adegan denis ngobrol sma mama nya.sedih,aq sampe gak sadar meneteskan air mata…(jiaaahh bahasanya)udah banyak novel yg saya baca tp bru nemu yg se real ini,jempol buat mas Noel.salut sma persahabatan mereka,suka sma karakter Denis.dan kebetulan seting ceritanya di Solo jd bsa membayangkan adegan demi adegannya berasa pulang kampung.jd kangen solo nih…cukup sekian dan terima kasih,salam dr Singapore.

     
  39. purie

    4 September 2015 at 01:45

    kenapa seh gw selalu ketawa baca CRA 3 pov nua denis seh,denis kan gila…setres lu tpi gw cintah *plakk

    legolasxcupid kan sarap sarap ahhh *malem2 gw cekikikan

    leah siapa??jgn2 pacarnya denis yh dimedan yg terabaikan lagi..ckckckck

     
  40. Boysside

    13 Oktober 2015 at 10:00

    ada yang tau Password Rumah Jahat gak?. atau minta clue nya… hiks… penasaran… >.<

     

Tinggalkan komentar