RSS

HBR #6

 
 

DESAS-DESUS

 
 
 

Pada jam istirahat kedua di hari itu, empat orang gadis berkumpul di tempat kesukaan mereka. Geng Fujoshi. Nera, Vita, Nike dan Siska.

“Berita penting hari ini: ada murid baru!” Vita bersemangat membuka pertemuan. “Dia baru masuk hari ini!”

“Ihhh…! Harusnya aku yang ngasih pengumuman, dong! Dia ‘kan teman sekelasku, dan kamu tahunya juga dari aku, Vit!” Nike protes.

“Murid baru, baru masuk hari ini, kelas X-F, terus… apa istimewanya?” lontar Siska sedikit sinis.

“Dia cowok blasteran, ‘kan? Bule gitu, ‘kan?” Nera langsung menyahut. “Aku sudah lihat waktu di kantin tadi.”

“Kamu sudah lihat, Ra? Jadi gimana? Cakep, ‘kan?” Nike antusias meminta pendapat Nera.

Hmm, kalau buat aku sih biasa aja,” gumam Nera sambil menopang dagunya.

“Biasa? Kok bisaaa…?” Nike protes lagi dengan mimik tidak rela.

“Yah, gimana, ya? Aku penggemar cowok Asia. Jadi yang tampang bule gitu buat aku biasa aja. Jelek sih enggak, cuma kesannya nggak terlalu istimewa aja buat aku,” jelas Nera.

“Tapi tampang dia nggak terlalu bule juga, kok. Aku udah lihat juga tadi,” Vita gantian angkat pendapat. “Kulitnya sih bule, tapi roman mukanya masih ada kesan Asia, kok. Rambutnya aja coklat cenderung hitam. Lensa matanya juga hitam….”

“Coklat! Lensa matanya coklat. Coklat tua. Aku sempat lihat lumayan dekat, lho!” Nike menyanggah Vita.

“Iya, iya, dia teman sekelasmu!” balas Vita seraya menjewer pipi Nike.

“Berarti cuma aku yang belum lihat,” dengus Siska datar. “Tapi sama dengan Nera, sih. Aku nggak terlalu excited sama bule. Aku lebih suka yang kulitnya masih berwarna, masih ada unsur sawonya, gitu.”

“Pindahan dari mana sih dia?” lontar Nera.

“Aku dengar-dengar, katanya dari Jakarta. Tapi dulu dia juga sudah pernah tinggal di Solo. Soalnya keluarga ibunya asli dari Solo. Dia pindah ke Jakarta karena ayahnya dapat kerjaan baru di Jakarta, jadi pengajar di sekolah internasional gitu, katanya.” Nike mengurai penuh semangat, membeberkan yang dia ketahui perihal teman sekelasnya itu.

“Buseeet…! Cepat amat dapat infonya, Nik? Diam-diam kuping kamu peka juga dengerin obrolan orang, ya! Nggak mungkin ‘kan kamu sendiri yang ngobrol sama dia? Di antara kita berempat, kamu ‘kan paling pemalu buat deketin cowok!” cerocos Siska meledek Nike.

“Cieee…! Anak pemalu gini nggak mungkinlah langsung berani kenalan!” Vita ikut mencandai Nike sambil mencubit pipinya lagi. “Apalagi kalau kondisinya udah kesengsem gini!”

Siska tertawa terbahak. “Terus, gimana nasib idolamu yang mirip artis Jepang itu, Nik?” sindirnya.

“Iiiih…! Apaan, sih? Aku tetap suka sama Kento! Tapi si Dikta ini juga cakep! Kenapa? Kalau aku bilang ada cowok blasteran cakep, otomatis udah nggak suka cowok Asia, gitu? Sempit amat mikirnya!” seru Nike meluapkan kedongkolannya. Pipinya tampak memerah, tetapi sepertinya itu bukan semata-mata karena habis dicubit Vita. Merah merona.

“Ricky, bukan Kento!” sahut Vita mengoreksi.

“Oh, jadi namanya Dikta?” gumam Nera, datar-datar saja.

“Nah, namanya juga Indonesia banget, ‘kan?” cetus Vita.

“Lengkapnya siapa dulu? Nggak yakin kalau namanya pribumi seratus persen. Pasti buntutnya nama bule. Biasanya ‘kan ada nama keluarga gitu,” sergah Siska.

Nike lalu menyebut, “Nama lengkapnya: Dikta Febrian Tosca.”

“Nah! Nama belakangnya itu nggak terdengar kayak nama pribumi,” tuding Siska.

“Ah! Ngapain juga ribut soal nama? Orang asli Indonesia aja banyak yang pakai nama bule! Zaman sekarang tuh nggak usah ngeributin soal nama! Buat aku si Dikta itu cakep, udah! Ngapain berbelit-belit?” sentak Nike berapi-api.

Vita tersenyum simpul. “Iya, iya, dia cakep, kok,” ujarnya, menghibur Nike. “Tapi, tampang dia itu cenderung ke tipe melankolis gitu. Kayak terlalu lembut gitu untuk ukuran cowok. Agak kurang menantang aja, sih….”

Nike cemberut. Merasa tersudut karena cuma dia sendiri yang tertarik dengan murid baru itu. Kadang orang memang begitu, ia ingin apa yang disukainya juga disukai oleh orang lain, sebab itu akan menjadi semacam apresiasi, pengakuan, bahwa ia punya selera yang baik.

“Berarti, hasil kalkulasi di antara kita berempat, kesimpulannya si Ricky masih nomor satu di sekolah ini!” cetus Siska dengan senyum cerah, mengangkat telunjuknya tinggi-tinggi.

Nera yang dari tadi paling kalem, sekarang tiba-tiba tampak antusias menyinggung sesuatu. “Eh, tapi girls, hari ini aku merasa ada yang aneh sama Ricky….”

Vita, Siska dan Nike kompak menatap Nera, dengan raut serius.

“Dan ini kayaknya masih ada hubungannya dengan anak baru itu. Si Dikta itu!” sambung Nera.

“Hah?” ketiga teman Nera kompak tertegun.

“Yaaah, ini cuma firasatku saja, sih,” gumam Nera sedikit ragu. “Ceritanya, hari ini bisa dibilang mujur buat aku, soalnya tadi aku makan bareng sama Ricky di kantin!”

“Kamu makan sama Ricky?” Siska paling duluan menyahut—terbelalak seperti merasa kecolongan. “Berdua gitu?”

“Ya enggaklah, Sis! Namanya saja di kantin, ya pastinya ada banyak orang!” tukas Nera, memasang raut jengah sesaat. Lalu menyambung dengan antusias lagi, “Tapi memang kebetulan yang makan di meja itu cuma aku sama Ricky. Aku yang nyamperin dia duluan. Yah, akhirnya aku sama dia ngobrol-ngobrol gitu. Ternyata… dilihat makin dekat, dia itu makin so sweet…!”

Nera tertawa mendecit-decit manja, seraya memasang wajah sebungah-bungahnya demi memamerkan betapa senangnya dia di hadapan kawan-kawannya yang cuma bisa menahan iri.

“Terus, hubungannya sama Dikta apa?” desak Nike penasaran.

Nera berpikir sesaat, menyusun kembali ingatan tentang apa yang disaksikannya di kantin tadi. “Nah. Waktu Dikta muncul di kantin, tiba-tiba saja… Ricky diam terpaku gitu, menatap anak itu. Memandangi hampir tidak berkedip. Cukup lama! Ekspresinya itu seperti… entahlah…. Seolah-olah Ricky itu nggak asing sama Dikta.”

“Maksudmu, Ricky sudah kenal Dikta?” cecar Nike.

“Aku nggak bisa memastikan, selain sebatas tatapannya yang terlhat aneh itu,” tandas Nera. “Anehnya lagi, setelah memandangi Dikta seperti itu, Ricky langsung permisi pergi. Padahal makanannya juga belum habis! Anehlah pokoknya!”

Hmm…. Kalau dihubungkan dengan cerita Nike tadi, yang katanya si Dikta dulu sudah pernah tinggal di kota ini, ya bisa jadi si Ricky memang pernah kenal,” gumam Vita menganalisis.

“Tapi kenapa Ricky pilih pergi? Seolah-olah ingin menghindar?” sela Nera.

“Kemungkinannya, kalau memang Ricky pernah kenal sama Dikta, barangkali hubungan mereka dulu nggak baik. Mungkin musuhan, pernah berkelahi atau gimana…. Yah, minimal ‘kan udah ada bukti kalau si Ricky itu nggak segan-segan berkelahi,” sahut Siska, ikut mengemukakan pendapatnya.

“Masa, sih, Ricky sama Dikta berkelahi?!” gumam Nike dengan tampang kecut, seolah-olah ada yang tiba-tiba patah di dalam hatinya.

“Kalau itu betul, aku jagoin Ricky, deh!” seru Siska seraya mengangkat kepalan tangan.

“Siska, jangan gitu, dong!” Nike langsung ngambeg. “Masa kita adu domba cowok-cowok favorit kita, sih?!”

“Iya. Betul kata Nike!” sahut Nera. “Biarpun aku nggak tertarik sama si Dikta itu, aku nggak suka kalau kita ngadu cowok-cowok yang belum tentu bermusuhan. Soal masa lalu Ricky sama Dikta, itu ‘kan baru spekulasi kita.”

“Iya. Kalaupun ternyata mereka memang punya hubungan yang nggak baik, kita nggak boleh memperkeruh urusan mereka!” cetus Vita, turut menentang Siska.

 “Dan kalaupun Ricky pernah berkelahi, itu karena melawan seniornya yang belagu! Sedangkan Dikta, dari tampangnya saja bisa dinilai kalau dia bukan anak yang suka bikin ulah. Dia anaknya sopan dan nggak belagu, kok. Aku nggak percaya Ricky pernah berantem sama Dikta,” tambah Nike berapi-api.

“Dan waktu aku makan sama Ricky tadi, aku bisa menilai kalau Ricky itu juga anak baik, kok. Waktu masih di SMP dulu pun setahuku dia nggak pernah bikin gara-gara,” sahut Nera.

“Ah, itu ‘kan juga baru spekulasi kalian saja!” balas Siska santai.

“Dan kamu juga cuma spekulasi, Sis! Tapi spekulasimu itu pakai negative thinking ke mereka! Kalau kamu nggak suka sama Dikta, jangan terus bashing dia gitu, dong!” tandas Nike.

“Aku bukannya nggak suka sama teman sekelasmu yang bule itu, Nike! Aku cuma nggak tertarik aja. Ngapain aku bashing dia?” kelit Siska.

“Ya udah, kalau gitu jangan pakai jagoin Ricky segala buat ngelawan Dikta! Ngomporin itu namanya!” tukas Nike sengit.

“Udah, udah! Makin lama malah kita yang berantem sendiri! Nyesel aku cerita soal Ricky!” sergah Nera jengkel.

“Sudah, Nik, mendingan ngalah kalau ngomong sama Siska,” ujar Vita, mengerem emosi Nike yang memang paling gampang terintimidasi.

“Oke, aku terima kekalahan kalian!” ucap Siska sambil tertawa dibuat-buat. “Sekarang ganti topik. Aku juga punya berita buat kalian!”

Nera, Vita dan Nike menyimak Siska dengan raut acuh tak acuh. Telanjur jengah.

“Tadi aku ketemu Jejen, teman sekelasku waktu SMP. Dia sekarang jadi Ketua Kelas X-A. Hari ini kelasnya membahas soal desain kaos olahraga,” cerita Siska penuh semangat.

“Kaos olahraga? Apa menariknya?” sela Vita apatis.

“Menariknya adalah: aku berhasil mempengaruhi si Jejen untuk memilih desain kaos buat kelasnya itu!”

“Aku masih belum menemukan sisi menariknya,” cibir Nera datar.

“Yakin nggak tertarik?” sentil Siska sambil melirik ketiga temannya bergantian, disertai senyum nakal. “Yakin, nggak tertarik melihat si Ricky pakai kaos tanpa lengan?”

Kali ini ketiga teman Siska tersentak bersamaan!

“Ya Tuhan! Ini soal bulu ketek lagi?” seru Nera terperanjat.

Siska berkacak pinggang tertawa terbahak-bahak di depan ketiga temannya.

“Ahhh…! Aneh, ah! Aku nggak mau ikut-ikut omongin ini lagi!” Vita langsung berdiri, lalu pilih meninggalkan tempat.

“Aku juga!” Nike ikut Vita.

“Udahan, udahan!” Nera menyusul.

“Eh, kenapa, sih? Natural kaleee…!” seloroh Siska keheranan saat tak satu pun teman sudi tinggal untuk menyimak beritanya. “Ahhh…! Nggak asyik kalian!”

Siska masih di tempat itu, di kebun belakang laboratorium. Sekarang sendirian. Wajah dongkolnya tidak bertahan lama-lama; dia sudah kembali tersenyum sekarang. Tersenyum-senyum sendiri sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

Jen, gmn soal kaos olah raga? Udh fix blm?

Siska mengirim pesan itu ke Zain.

Tak lama kemudian, balasan dari Zain diterimanya. Siska membukanya dengan penuh semangat! Balasan dari Zain cukup panjang.

U td bilang kelas u jg mau pakai yg tnp lngan kan? Kelas q akhrnya pilih polo-shirt yg pkai lngan aja, biar gk sama dgn kelas u. Jd bnr2 tampil beda. Thnx buat saran2nya. Muachh!

Senyum di bibir Siska lenyap seketika.

“Jejen asu!”

Nomor Jejen pun dihapusnya.

 
 
 
 

bersambung….

 
 
 
 

 

Tinggalkan komentar